Internet dan Perempuan

Luviana – www.konde.co

                                                                       

                                         Foto: ictwatch.com        

Konde.co, Jakarta – Dunia kini
tengah berubah. Jika dulu orang membaca koran sebagai salah satu teman sarapan
pagi, kini kita tinggal melakukan “Click” di Internet, maka kita sudah
terhubung dengan seluruh masyarakat dunia. 

Iniah
ramalan Marshall Mc Luhan tentang Global
Village
. Orang mengklick internet untuk membalas dan menyapa di facebook, twitter Blackberry Group, Whats
App Group,
dll. Banyak analis komunikasi menyatakan, ini adalah masa booming internet dan matinya teori media
cetak Guttenberg. Ini adalah abad new media teknologi, dan meninggalkan masa-masa
tradisional media.

Dalam dunia
periklanan dan Public Relations, internet juga menjadi alat untuk berkampanye.
Dengan internet kita juga akan terhubung dengan masyarakat dunia untuk
membicarakan soal fashion, bisnis, membincangkan secara dekat isu terkini dan
merubah kebijakan dan mengapresiasi kebijakan. Sehingga kebutuhan akan media
baru (new media) seperti internet
semakin besar.

Pertanyaannya
adalah, apakah kehadiran internet sudah membuka ruang bagi perempuan dan
masyarakat marjinal?

Sebuah
Manifesto Cyborg Feminis menjadi jawaban yang melegakan setelah datang berbagai
pertanyaan: apakah teknologi sebenarnya membebaskan perempuan atau justru
menjerat perempuan?.  Donna Haraway,
seorang feminis kemudian menuliskan bahwa tekonologi seharusnya membebaskan
perempuan, menyongsong masa depan dan memberikan akses kepada perempuan dan
kaum marjinal untuk membebaskan kehidupannya.

Kontroversi
mengenal cyberspace dan cyborg sesungguhnya selalu mengemuka ketika ada
pertanyaan apakah tekonologi merupakan sesuatu yang netral gender ataukah
teknologi selalu dipenuhi dengan banyak kepentingan?.

Sejumlah
pihak kemudian membuktikan bahwa teknologi ternyata dapat menciptakan “monopoli
pengetahuan”. Monopoli pengetahuan ini kemudian dilakukan oleh kelompok
dominan. Kelompok itu bisa saja perusahaan-perusahaan, atau negara/ pemerintah.

Kelompok
dominan ini kemudian mendominasi informasi dan komunikasi, mengucilkan
kelompok-kelompok marjinal yang tidak mempunyai akses teknologi, misalnya pada
perempuan, orang-orang yang tinggal di pedalaman dan daerah konflik. Konspirasi
semacam ini sangat terbuka lebar pada teknologi tinggi (high teknology) seperti teknologi informasi .

Pertanyaan
mendasarnya adalah: apakah teknologi informasi melalui sejumlah media mampu
memberikan ruang khusus bagi kaum marjinal?. Lalu mengapa content marjinal ini
menjadi penting untuk masuk ke media? Apakah media mempunyai fungsi untuk
memasukkan content marjinal ini?

Diskusi
tentang pentingnya memasukkan content marjinal di dalam media di Indonesia begitu
mengemuka ketika munculnya oligopoli kepemilikan media di Indonesia. Oligopoli
kepemilikan media TV misalnya sangat rentan keberadaannya, karena media hanya
akan melayani kepentingan golongan/ kelompok tertentu/ terbatas.  Hal inilah yang mencemaskan banyak pihak,
sehingga banyak kepentingan pemilik media di Indonesia yang kemudian memasukkan
content sesuai dengan keinginan mereka.

Padahal
media seharusnya berfungsi sebagai ruang informasi yang bisa diakses publik.
Apalagi khusus untuk Televisi dan radio, frekuensi adalah milik publik, bukan
milik para pengusaha media. Alasan lainnya, tak cukup tersedianya pilihan
informasi bagi publik dapat dianggap sebagai bentuk pembodohan atau bentuk
sensor yang represif.

Maka penting
bagi kita untuk memperjuangkan keberagaman content/ isi dan keberagaman
kepemilikan. Di masa kini, keberagaman content harus diperjuangkan mengingat
sejumlah catatan buruk tentang kebebasan berekspresi dan berpendapat yang
terjadi di Indonesia akhir—akhir ini. Pemblokiran situs-situs di internet,
pelarangan tayangan di media penyiaran,  juga pelarangan bentuk-bentuk aksi massa.

Yang kedua,
perjuangan untuk keberagaman kepemilikan. Jika pemilik medianya seragam, maka
content atau isi medianyapun akan seragam.

Media baru
(internet) seharusnya bisa menjadi alternatif untuk menyelesaikan persoalan
ini, sehingga membuka ruang seluas-luasnya bagi publik. Media baru seharusnya
tak lagi dikuasai kelompok dominan di negeri ini dan membuka akses bagi
kelompok marjinal untuk melakukan komunikasi politik.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!