Masyarakat yang Kecanduan Agama

Poedjiati Tan – konde.co.

Pagi ini saya membaca status facebook seorang teman, Made Supriatna yang
menarik. Made Supriatna dalam tulisannya di Facebook menulis mengenai: mobilisasi kebencian.

Dalam statusnya yang saya kutip, ia bercerita tentang: Salman Taseer yang adalah bekas
gubenur propinsi Punjab di Pakistan. Dia diangkat menjadi gubernur tahun 2008 dan
kemudian dibunuh di tahun 2011. Penyebab pembunuhan ini adalah karena ia menentang hukum penodaan
agama yang amat keras di Pakistan. Penentangan itu dia ucapkan dalam satu
talk-show di TV lokal di Pakistan.

Dalam sejarahnya, kasus penodaaan agama ini bermula dari kehidupan manusia
sehari-hari. Adalah sekelompok perempuan desa sedang memanen bersama. Salah
satu dari perempuan itu adalah Aasiya Noreen atau yang lebih dikenal dengan
nama Asia Bibi. Kebetulan pula perempuan yang bekerja sebagai buruh tani dan
suaminya yang bekerja sebagai buruh pembuat batu bata ini, beragama Kristen. Sebagaimana
umumnya kaum Kristen di Pakistan dan Asia Selatan, mereka kebanyakan berasal dari kelas atau kasta terendah.

Kasus yang menimpa Bibi ini berawal dari sesuatu yang sangat sepele.
Bibi minum dari gelas yang sama dengan perempuan-perempuan lain yang Muslim. Kemudian terjadilah
percekcokan karena mereka yang Muslim menganggap Bibi yang bukan Muslim itu
kotor sehingga tidak boleh minum dari gelas yang sama dengan mereka. 

Dari peristiwa inilah percekcokan itu berubah menjadi percecokan agama karena berbasis pada agama mereka yang berbeda. Dalam adu mulut tersebut Bibi
dituduh mengatakan sesuatu yang menghina Nabi. Otomatis, persoalan ini menjadi persoalan
penghinaan agama diantara keduanya. Di Pakistan hal yang demikian juga berarti akan memancing kerusuhan dan kematian. Atau dalam bahasa Pakistan artinya: surat kematian
yang sudah ditandatangani.

Kasus ini memancing kemarahan yang meluas di
masyarakat Pakistan. Provokasi terjadi dimana-mana. Mereka yang merasa saleh
merasa terhina kesalehannya. Mereka yang taat pada Tuhan yang menganjurkan
jangan membunuh, justru merasa perlu untuk membunuh. Demi membela Tuhan!

Bibi pun diadili. Seperti kehendak masyarakat luas,
pengadilan pun menghukum mati dirinya karena melakukan penodaan agama.

Kekerasan pun meledak dimana-mana. Seorang menteri
Kristen, Shahbaz Bhatti, dibunuh. Demikian juga Salman Taseer, yang mengajukan
petisi agar Asia Bibi dibebaskan.

Itu adalah cerita Asia Bibi.Cerita ini kemudian tak jauh dari cerita kematian Taseer. Taseer dibunuh ketika dalam perjalanan keluar makan
siang bersama temannya. Pembunuhnya adalah pengawalnya sendiri, Malik Mumtaz
Qadri, yang menghujani dia dengan 27 kali tembakan memakai AK-47.

Proses pengadilan terhadap Malik Mumtaz Qadri pun berbelit. Dia
lama tidak ditahan. Namun akhirnya pengadilan memutuskan agar dia dihukum mati. Pada
tanggal 29 Februari 2016 kemarin, Malik Mumtaz Qadri akhirnya menjalani hukuman
mati.

Reaksi publik Pakistan sangat mengejutkan. Ratusan
ribu orang turun ke jalan untuk mengiringi pemakaman Malik Mumtaz Qadri.

Aatish Taseer, putra salman Taseer hari ini menulis
sebuah esai di New York Times tentang pemakaman pembunuh ayahnya. Ini adalah
salah satu prosesi kematian paling besar di Pakistan setelah prosesi kematian Benazir Bhutto dan
si Bapak Pakistan, Muhammad Ali Jinah. Sekaligus ini mungkin adalah prosesi kematian terbesar
untuk seorang pembunuh. Orang-orang ini, demikian keluh Aatish Taseer,
“terdorong bukan oleh cinta mereka kepada yang mati namun kebencian mereka
kepada yang dibunuh.”

Kita melihat kasus unik ini dimana negara berusaha
tegak dengan akal sehatnya, yakni menghukum mati dia yang membunuh. Namun,
masyarakat memiliki normanya sendiri: hukum harus mendukung kebencian mereka.
Inilah yang mereka pertunjukkan dengan mobilasasi kebencian besar-besaran.
Dalam hal ini, pemuka-pemuka agama dan politisi yang mengeksploitasi agama
agar bersatu mengorganisasi kebencian ini.

Bagaimana dengan Indonesia? Mungkin kita sedang menuju ke arah sana. Lihat
saja bagaimana kebencian berdasarkan agama dan ras mulai digulirkan kepada
Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau AHOK menjelang PILKADA DKI. Mereka bahkan dengan sengaja memutarbalikan fakta
dan membuat berita palsu, tentang foto-foto dukungan teman-teman muslim yang
menunjukan dukungannya kepada Ahok, 
diganti danmengatakan bahwa orang-orang dalam foto itu adalah orang yang
beragama Kristen yang berpura-pura menjadi muslim dan lain-lain. Berita ini diikuti dan disebarluaskan oleh media-media yang radikal dan
penuh kebencian.

Kebencian berbasis agama di Indonesia semakin lama semakin menguat. Tidak
hanya pertentangan antara Islam dan Kristen, tidak hanya mengenai pembubaran
gereja atau pelarangan pembangunan gereja saja. Tetapi juga kebencian terhadap
Syiah, Ahmadiyah. Bahkan kebencian terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) dan keturunannya karena
dianggap tidak beragama.

Kesadaraan akan menguatnya kebencian berbasis
agama ini juga mendorong masyarakat sipil dan beberapa Non Goverment Organisation (NGO) untuk melakukan
gerakan ataupun advokasi terhadap kasus-kasus berbasis kebencian agama.   

Latar belakang manusia bersedia memeluk dan menghayati agama adalah
disebabkan oleh enam faktor pendorong, yaitu:  pertama, untuk memperoleh rasa aman.  Kedua, untuk mencari perlindungan.  Ketiga, untuk mencari penjelasan esensial
tentang dunia dan kehidupan di dalamnya.  Keempat, untuk memperoleh pembenaran yang
memuaskan tentang praktik kehidupan yang semestinya. Kelima, untuk meneguhkan
tata nilai yang telah mengakar dalam masyarakat.  Keenam, untuk memuaskan kerinduan pada
kehidupan.

Sedangkan motivasi yang mendorong orang berperilaku agama, yaitu  pertama
agama dapat dipakai untuk mengatasi frustasi karena alam, sosial, moral,
dan kematian.  Kedua, agama dapat dipakai untuk menjaga kesusilaan
dan tata tertib masyarakat. Ketiga, agama dapat dipakai untuk
memuaskan intelek karena dorongan keingintahuanmanusia.  Keempat,
agama dapat dipakai untuk mengatasi rasa takut

Seseorang tidak begitu saja secara spontan bergabung dalam kelompok dan
bersama-sama melakukan kekerasan terhadap kelompok lain.  “Kewajaran” dalam menghabisi orang atau kelompok
lain kebanyakan terjadi karena individu-individu melihat kekerasan mereka sebagai
tindakan yang mempunyai nilai dan patut untuk diperjuangkan. Seseorang akan
menghabisi atau membunuh yang lain tanpa merasa bersalah jika tindakannya tersebut
dipandang sebagai realisasi suatu nilai yang dihayati.

Pada dasarnya manusia
mempunyai kecenderungan takut akan kematian, ketakutan akan menghadapi after
Life. Untuk mengatasi ketakutan akan kematian tersebut manusia memeluk
nilai-nilai yang ditawarkan oleh berbagai institusi, salah satunya agama yang
menawarkan hidup sudah mati.

Nilai tersebut berfungsi mengatasi rasa panik akan
kematian dalam diri manusia. Rasa panik akan muncul ketika manusia mengalami
krisis makna dalam lingkungan sosial. Orang menjadi rindu akan kepastian datangnya
makna. Hal ini menjadi pendorong timbulnya fanatisme, radikalisme, atau
ekstremisme. Ideologi-ideologi tersebut sebagai upaya untuk lari dari rasa
ketidakpastian yang sedang dialami.

Itu sebabnya kelompok-kelompok agama radikal selalu menawarkan dan mengajak
melakukan kekerasan yang dibungkus dengan dalil agama. Mereka menjanjikan surga
dan akan dijemput tujuh bidadari yang cantik bila mereka meninggal dalam
menjalankan aksinya.  Karena rasa takut
akan kehidupan sesudah kematian dianggap sebagai pemenuhan
kebutuhan rasa aman dan anggapan telah ikut menjaga kesusilaan dan tata tertib
masyarakat.

Seperti kata Alexander Philip Sitinjak “Agama bukanlah candu bagi
masyarakat, Agama itu pembenaran akan keyakinan yang telah menjadi tradisi dan
budaya. Ketika pembenaran itu bertemu dengan pembenaran yang lain, distorsi
bisa saja terjadi yang acapkali menjadikan kaum minoritas menjadi korban dari pembenaran
atas keyakinan itu sendiri, yang belum tentu apakah kenyakinan tersebut bisa
dipertanggungjawabkan atau tidak.”

Apakah masyarakat kita sedang kecanduan akan agama sehingga menghilangkan
rasa kemanusiaannya? Dan selanjutnya mengharuskan orang lain mengikuti apa yang dianggap
benar dan diyakini dengan segenap jiwa dan raga? Dimana ajaran kedamaian dan
cinta kasih yang selalu diajarkan setiap agama?.

Kecanduan agama bukan hanya
terjadi pada salah satu agama saja, tapi juga pada agama-agama lainnya. Seperti negara-negara Eropa timur yang
begitu fanatik terhadap agama Kristen.

Akhir-akhir ini kecanduan akan agama Islam di
Indonesia cenderung meningkat. Mereka jadi menutup mata akan adanya budaya lokal. Lupa
bahwa negara ini terdiri dari berbagai macam suku, adat, agama dan kepercayaan.
Lupa kalau semboyan kita adalah Bhineka Tunggal Ika.  

Sumber :

        
AM. Hardjana, Penghayatan Agama  yang
otentik dan Tidak otentik (Yogyakarta Kanisius, 1993)

        
Nico Syukur Dister OFM., Pengalaman dan Motivasi beragama (Yogyakarta
Kanisius, 1988)

        
http://www.kompasiana.com/alexanderphilip/kekerasan-atas-nama agama.

        
McGuire, Meredith, Religion. The Social Context, 2002, Waveland Press,
Illionis, hlm. 197

        
Hardiman, Budi, Memahami Negativitas. Diskursus tentang Massa, Teror, dan
Trauma, 2005, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hlm. 65

        
https://www.facebook.com/m.supriatma/posts/10153658145768533?fref=nf&pnref=story

        
http://www.nytimes.com/2016/03/13/opinion/sunday/my-fathers-killers-funeral.html?action=click&pgtype=Homepage&clickSource=story-heading&module=opinion-c-col-right-region&region=opinion-c-col-right-region&WT.nav=opinion-c-col-right-region&_r=0

–     Foto : www.christopherteh.com

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!