Media Berperan untuk Berpihak pada Kelompok Minoritas

Foto : Eko Cahyono

Melly Setyawati – www.konde.co

Konde.co, Jakarta – “Jurnalis tidak sekedar menjadi pelapor peristiwa,”  demikian kata Darmawan Triwibowo, Direktur
Eksekutif Yayasan Tifa.

Darmawan menyatakan media juga berperan dalam menuntut peran tanggungjawab negara. ia mencontohkan bagaimana negara sering mengabaikan hak kelompok minoritas
pasca konflik.

 “Misalnya pada kasus konflik Syiah Sampang, Ahmadiyah atau
Gafatar bagaimana aset-aset mereka, siapa kemudian yang menguasai, dan bagaimana
peran negara untuk melindungi”. 

Ia meyayangkan bahwa masih banyak media yang menjadi pengamat, memberitakan ketika awal peristiwa. Padahal media punya
legitimasi untuk menuntut pertanggungjawaban atas kelalaian negara.

Hal tersebut diungkapkan Darmawan dalam diskusi berjudul “Peran Media dalam Mempengaruhi
Wacana Publik atas Diskriminasi dan Pelanggaran Hak-Hak Kelompok Minoritas”
yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Yayasan
TIFA di Jakarta, Minggu (13/3/2016) kemarin.

Dalam diskusi ini dipaparkan pula hasil riset yang dilakukan AJI Indonesia dalam mengukur daya tahan media
mengawal konflik yang melibatkan kelompok minoritas. Riset mengambil sampel kasus konflik Syiah Sampang dan Gafatar pada 2
media online lokal dan 2 media online nasional.

Hasil riset menunjukkan bahwa media intensif
memberitakan saat peristiwa konflik terjadi namun sesudah itu mengalami penurunan jumlah pemberitaan yang drastis.

“Pemberitaan terbanyak terjadi pada 3
hari hingga seminggu pertama pasca konflik terjadi. Dalam pemberitaan banyak memunculkan air mata dan
darah,” kata Y. Hesthi Murthi, Ketua Bidang Perempuan dan Kelompok Marjinal AJI
Indonesia.

Hasil riset tersebut juga menunjukkan bahwa pemberitaan didominasi
oleh peristiwa, namun jumlahnya lalu menurun pada sebulan pertama. Kemudian pada
bulan kedua pemberitaan menurun drastis. 

Contohnya pada isu Syiah Sampang, seperti yang dilakukan www.surabaya.tribunnews.com. Pada bulan pertama pasca penyerangan yaitu
tanggal 27 Agustus-27 September 2012, menurunkan sebanyak 145 berita. Namun kemudian pada bulan
kedua yaitu 28 September-27 Oktober hanya menurunkan 1 berita.

Sementara itu media online nasional www.tempo.co, pada
isu dan kurun waktu yang sama  menurunkan
168 berita pada bulan pertama dan selanjutnya pada bulan kedua pasca penyerangan
hanya menurunkan 11 berita. 

“Penurunan ini terjadi cukup drastis meskipun kasus belum ada penyelesaiannya,”
kata Hesthi Murthi.

Fajar Nursahid dari United Nation Development Program (UNDP) mengemukakan mengenai gambaran
kelompok minoritas melalui Indeks Demokrasi Indonesia dengan menggunakan pemberitaan
media sebagai kajian. Dalam indeks selama periode 2009 hingga 2014 dipaparkan
bahwa hambatan dan diskriminasi atas dasar agama dan keyakinan lebih kuat
dibandingkan dengan diskriminasi atas gender, etnis, atau kelompok rentan.

Sedangkan Direktur
Sajogyo Institute (SAINS),  Eko Cahyono menyatakan meluasnya
isu SARA dengan konflik perebutan sumber daya alam (SDA) karena kerap tersembunyi
atau disembunyikan informasinya. Bahkan konflik sumber daya alam sering dicampurkan dengan isu SARA sebagai
pengalihan penguasaan sumber daya alam (SDA).

Konflik kelompok minoritas khususnya
kelompok masyarakat adat  berkaitan erat dengan
upaya penguasaan sumber daya alam. Contohnya dalam kasus Paniai berdarah yang terjadi di Nabire-Papua,
Kasepuhan Cisitu  di Lebak Banten, Cek Bocek di Sumbawa dan Malind  di Merauke.

Berdasarkan hasil riset SAINS menunjukkan korporasi menggunakan beragam cara untuk
memuluskan tujuan penguasaan sumber daya alam yang berada di wilayah-wilayah
kelompok minoritas adat.

Ketua AJI Indonesia, Suwarjono menegaskan
tentang pentingnya media untuk menginvestigasi latar belakang di balik konflik kelompok
minoritas, khususnya yang menggunakan isu SARA. 

Selain itu media juga berperan memberikan
suara dan sikap bagi kelompok minoritas untuk memperjuangkan haknya. 

“Media
juga menghadapi tantangan yakni perbenturan antara kondisi di lapangan dan di
ruang redaksi yang lebih memperhatikan klik atauratting,” kata Suwarjono.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!