Negara Masih Belum Serius Melindungi Buruh Migran

Estu Fanani – www.konde.co

konde.co, Jakarta – Kekerasan dan pelanggaran hak buruh migran Indonesia, khususnya buruh migran perempuan masih terus terjadi.
Banyaknya kasus yang muncul membuktikan bahwa pemerintah masih abai dan belum serius menempatkan perlindungan Perempuan Buruh Migran sebagai prioritas utama yang harus dilakukan.

Nissaa Yura – Koordinator Program Solidaritas Perempuan dalam konferensi pers (17/03/2016) menyatakan bahwa Indonesia seringkali tidak mampu membela warga negaranya yang dikriminalisasi atau menghadapi ancaman hukuman mati. Sebaliknya ketika warga Negara Indonesia yang mengalami kekerasan bahkan hingga kematian, pemerintah tidak berdaya untuk menuntut keadilan. 

Nissa Yura memberikan contoh yang dialami War seorang buruh migran perempuan asal Karawang dan Sum seorang buruh migran perempuan asal Sumbawa, yang kasusnya ditangani oleh Solidaritas Perempuan. Mereka berdua bekerja di Arab Saudi melalui sebuah agen penempatan TKI dan pada 2011 mendapatkan ancaman hukuman mati. 

Keduanya lalu dikriminalisasi dengan tuduhan sihir yang menyebabkan anak
majikan jatuh sakit. Faktanya, War dan Sum dipaksa mengaku di bawah ancaman pisau di leher dan pistol yang mengarah kekepalanya. 

Ketika pemeriksaan pun War
dan Sum mengalami penyiksaan seperti disetrika, tubuh mereka ditanam di gurun pasir hingga batas leher lalu
mereka ditempatkan dalam ruangan sempit dengan kaki dirantai.

“Kami mendampingi keluarga mereka dan bersama-sama mendesak Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Luar Negeri dan Satgas Hukuman Mati TKI. Sehingga pada 20 Desember 2011, akhirnya
War dan Sum terlepas dari hukuman mati. Namun mereka tetap harus menghadapi
hukuman berupa 10 tahun penjara dengan hukum cambuk sebanyak 1000 kali
,” ujar Nissaa Yura. 

Hingga
hari ini Solidaritas Perempuan masih terus mendesak pemerintah untuk berupaya agar War dan Sum
mendapat pengurangan masa hukuman dan segera dipulangkan mengingat tuduhan yang
dikenakan tidak terbukti selama proses persidangan.

Solidaritas Perempuan juga mendapatkan pengaduan keluarga Nan seorang buruh migran perempuan yang dibunuh oleh majikannya pada 2010. Namun keadilan masih jauh bagi korban dan keluarganya.

Berdasarkan informasi dari Kementerian Luar Negeri di sini Desember 2015 lalu, Mahkamah
Arab Saudi telah memutus bebas pelaku karena terbukti memiliki penyakit
kejiwaan atau gila. 

Hukum di Arab Saudi menyatakan bahwa jika seseorang yang melakukan tindak kejahatan diketahui mempunyai penyakit kejiwaan, maka dia terbebas dari hukuman fisik maupun diyat atau uang permintaan maaf. Jadi, dalam hal ini korban dan keluarga korban tidak mendapatkan keadilan seperti yang diharapkan. 

Solidaritas Perempuan menyayangkan pemerintah
Indonesia melalui Kemenlu dan perwakilannya yang seakan-akan tidak cepat tanggap untuk
mengambil langkah banding atas putusan tersebut demi memperjuangkan hak-hak
warga negaranya yang harus kehilangan nyawa ketika bekerja.

“Kami sekeluarga mencoba untuk merelakan kepergian Nani. Namun apa yang
kami lakukan saat ini hanyalah menuntut keadilan untuk almarhumah,”
ungkap
Amin.

Selain mendapatkan kekerasan dan penyiksaan, banyak buruh migran Indonesia yang mengalami pelanggaran terkait hak-haknya sebagai pekerja, seperti gaji yang ditahan tidak dibayarkan sekian bulan atau bahkan tahun. 

Bahkan ketika dipulangkan paksa, banyak yang tidak mendapatkan asuransi dan sisa gaji selama mereka bekerja, Namun pemerintah, dalam hal ini
BNP2TKI dan Kemnaker seolah melempar tanggungjawab kepada PPTKIS yang terbukti
lari dan tidak bisa dilacak keberadaannya hingga hari ini.

“Indonesia
seringkali tidak mampu membela warga negaranya yang dikriminalisasi atau
menghadapi ancaman hukuman mati. Sebaliknya ketika warga Negara Indonesia yang
mengalami kekerasan bahkan hingga kematian, pemerintah tidak berdaya untuk
menuntut keadilan,” ujar Nissaa Yura.

Solidaritas Perempuan bersama perempuan buruh migran dan
keluarganya terus mendesak pemerintah untuk segera melakukan langkah-langkah
konkret penyelesaian kasus sebagai salah satu wujud perlindungan menyeluruh bagi
perempuan buruh migran. 

Pemerintah harus menjamin dan memfasilitasi kebutuhan korban
dan keluarga korban untuk terpenuhinya hak-hak yang terlanggar serta keadilan
bagi perempuan buruh migran dan keluarganya. Misalnya 
dengan mewujudkannya melalui kebijakan dan peraturan hukum yang berorientasi pada
perlindungan perempuan buruh migran dan keluarganya, baik selama proses migrasi sejak
pra-pemberangkatan, di tempat kerja, hingga kepulangan, dan menggunakan prinsip hak asasi manusia sebagaimana dalam konvensi-konvensi internasional yang diratifikasi Indonesia. 

“Kelemahan terbesar Negara dalam
perlindungan perempuan buruh migran dan keluarganya adalah buruknya sistem
hukum dan kebijakan terkait buruh migran di Indonesia. Karenanya, Negara harus
mewujudkan tanggung jawabnya dengan mewujudkan Kebijakan perlindungan yang
komprehensif bagi perempuan buruh migran dan keluarganya,”
pungkas Nisaa.

(Foto: FPRsatumei.wordpress.com)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!