Bagaimana Perempuan Ditampilkan dalam Film?

Poedjiati Tan – www.konde.co

Tanggal 30 maret
adalah hari film Nasional. Banyak film Indonesia yang sudah diproduksi,
misalnya film film yang menggambarkan tentang kondisi situasi sosial politik,
kehidupan perempuan, anak muda, kisah dan cerita anak-anak. Film-film ini
banyak bermunculan. Namun tak sedikit yang masih bercerita tentang percintaan,
horor, religi dan komedi.

Namun dari film-film ini, masih sedikit film Indonesia yang membuat cerita
perempuan sebagai tokoh hero atau pahlawan yang mampu membuat perubahan atau
sebagai role model bagi perempuan lain.

Dari sejumlah
pemikiran feminis misalnya, masih banyak film dan juga sinetron/ drama yang
menempatkan perempuan hanya sebagai pelengkap atau pajangan saja, dan tidak
jarang sebagai objek seksualitas. Banyak pihak, utamanya para feminis yang
menginginkan sebuah film yang memuat nilai-nilai feminisme seperti perempuan
yang juga dapat berperan di ranah publik,menjadi pemimpin, dan lain lain.

Feminisme dalam film merupakan sebuah upaya yang mencoba untuk membongkar
tradisi yang didominasi nilai-nilai patriaki baik yang digambarkan secara
terang-terangan maupun tersamar. Tujuan dari upaya tersebut untuk
memperlihatkan bagaimana hegemoni dari nilai patrirkhi tersebut yang selalu
menempatkan perempuan berada pada posisi marginal, dieksploitasi dan diobjekkan
oleh laki-laki.Beberapa perilaku perempuan dalam film direpresentasikan agar lebih
sesuai untuk dikonstruksikan secara normatif oleh masyarakat daripada perilaku
lainnya.

Perilaku-perilaku ini sangat terkait dengan peran perempuan ketika perempuan
memainkan peran dalam melakukan aktivitas domestik atau mengurus pekerjaan
rumah tangga. Gagasan tentang feminitas perempuan selalu dieskpresikan sebagai
orang yang emosional, definisi yang terkait dengan laki-laki memposisikan
perempuan dibelakang  serombongan laki-laki. (Burton, 2007 : 300).

Lalu perempuan yang ditempatkan sebagai obyek seks, yang ternyata berakar pada
keadaan dimana apparatus sinema amat tergantung pada konsep yang muncul dari
cara pandang laki- laki dalam melihat perempuan.

Sejumlah buku karya Rosen, Popcorn Venus: Women, Movies, and the American Dream
(1973), dan Molly Haskell, From Reverence to Rape: the Treatment of Women in Movies
(1974), memaparkan tentang bagaimana perempuan dipotret dalam sebuah film.
Kajian di atas terhubung pada konteks historis yang luas dan potret stereotype
tentang perempuan yang ditampilkan sebagai subjek atau objek, dan jumlah durasi
yang diberikan untuk penampilan perempuan

Sebuah film kemudian bisa dibedakan menjadi film feminis dan antifeminis.
Teresa de Lauretis di dalam “Rethinking Women’s Cinema: Aesthetic and Feminist
Theory” menyebut film feminis berupaya untuk mengetengahkan tentang perempuan.

Menyapa
penontonnya sebagai perempuan, apa pun gender si penonton…mendefinisikan
semua titik identifikasi (dengan karakter, citra, kamera) sebagai perempuan
(female), feminin, atau feminis.”

Sementara menurut definisi Sharon Smith, film feminis adalah film yang
didalamnya terdapat tokoh perempuan yang diberikan peran yang berbeda dari
stereotype di “dunia nyata”. Di sini film feminis diharapkan dapat menjadi
perangkat untuk melakukan pemikiran serta penilaian ulang atas stereotype peran
tradisional berdasarkan jenis kelamin.

Di perfilman Indonesia masih sedikit film yang berani mendobrak tradisi atau
yang bisa menjadi panutan sebagai perempuan yang kuat, mandiri dan bisa
menyelamatkan diri sendiri dan orang lain. Meskipun masih sedikit, namun ada beberapa
film yang  menggambarkan tentang perempuan dengan sangat baik atau disebut
sebagai film feminis, seperti film: Berbagi Suami (2006) Perempuan Punya Cerita
(2008) Pertaruhan (2009) Perempuan Berkalung Sorban ( 2010) Skola Rimba (2013)
Pendekar Tongkat Emas ( 2014) Siti (2015).

Di Indonesia, film yang bertema percintaan, horor atau religi memang lebih
menjual dibandingkan film yang bertema feminisme. Hal ini mungkin karena para
penggiat perfilman di Indonesia didominasi oleh laki-laki, sehingga wajah
perfilman kita cenderung masih stereotype dan patriarkal.

Padahal ketika film itu ditonton, maka tontonan itu tidak hanya sekedar menjadi
hiburan, namun terjadi pula proses konstruksi sosial oleh pembuat film terhadap
penonton yang dapat mempengaruhi realitas sosial. Film juga bisa menjadi media
propaganda tanpa perspektif untuk melanggengkan hegemoni patriarkhi dan tidak
adanya kesetaraan gender.

Referensi:

Smelik, Anneke, Feminist film
theory – the cinema book, 2001

Hein, Hilde, The Role of
Feminist Aesthetics in Feminist Theory Author(s): Source: The Journal of Aesthetics and Art Criticism, Vol. 48, No. 4, Feminism and Traditional
Aesthetics (Autumn, 1990), pp. 281-291

  Burton, Graeme (2007).
Membincangkan Televisi, Sebuah Pengantar Kepada Studi Televisi. Yogyakarta
& Bandung. Jalasutra

Foto : Kaskus

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!