Malam Solidaritas untuk Korban Kekerasan Seksual

Malam solidaritas korban #SOS Save Our Sisters

Poedjiati Tan – www.konde.co

Jakarta, Konde.co – Jumat, 12 Mei 2016 kemarin, aksi malam solidaritas
korban kekerasan seksual dilakukan oleh sejumlah aktivis perempuan yang tergabung dalam Save Our Sisters. Acara ini juga bertepatan dengan 40 hari wafatnya YY,
korban kekerasan seksual di Bengkulu. Beberapa hari ini kita seperti dibangunkan
dari kesunyian tentang tingginya kasus kekerasan seksual yang menjadi fakta dan
realita di tengah-tengah masyarakat kita melalui kekerasan seksual yang dialami
oleh YY dan duka keluarganya.

Kasus Kekerasan Seksual di Indonesia

YY tidak sendiri, ditempat lain, ada balita 2.5 tahun ditemukan tewas di
Bogor pada 5 Mei setelah diperkosa oleh pelaku yang berusia 25 tahun. V gadis usia 19 tahun linglung setelah menjadi korban perkosaan massal pada Januari 2016 lalu.
Berita menyayat lain adalah MN, 10 tahun  dari
Lampung korban perkosaan massal hingga tewas. Sering kali perempuan lesbian dan
biseksual diperkosa dengan alasan “mengoreksi dan mengembalikan” orientasi seksual
menjadi heteroseksual.  

Dalam pernyataan sikap yang diriSave Our Sisters, belum bisa kita lupakan kasus perkosaan massal yang dialami oleh
perempuan etnis Tionghoa pada Mei 1998. Kita juga tidak boleh lupa pada
pembunuhan dan perkosaan pada buruh perempuan, Marsinah 23 tahun lalu.
Sementara negara masih saja bungkam dan tidak ada upaya serius dalam penuntasan
kasus-kasus tersebut. Aksi ini kami dedikasikan untuk mereka dan untuk semua korban
serta penyintas kekerasan seksual.

Komisi Nasional anti Kekerasan terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan) pada tahun 2015 mencatat kekerasan seksual adalah
jenis kekerasan ke-2 paling tinggi setelah Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT).
Angka ini meningkat dibanding tahun sebelumnya. Bentuk kekerasan seksual
tertinggi adalah perkosaan 72% atau 2.399 kasus, pencabulan 18% atau 601 kasus,
dan pelecehan seksual 5% atau 166 kasus. Yang perlu dicatat bahwa angka-angka tersebut merujuk pada kasus-kasus yang
terlaporkan. Seperti halnya kekerasan terhadap perempuan terutama kekerasan
seksual dimana juga, angka-angka tersebut merupakan fenomena gunung es.
Kasus-kasus yang tidak terlaporkan lebih banyak dari yang terlaporkan.

Apa Penyebab Kekerasan Seksual Meningkat?

Tingginya tingkat kasus perkosaan dan kekerasan seksual  serta peristiwa keji yang menimpa YY dan korban lainnya, menunjukkan pada kita bahwa kekerasan seksual bisa menimpa siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Termasuk kita sendiri. Bukan karena minuman beralkohol, bukan karena pakaian yang dikenakan oleh korban, bukan karena jalanan yang sepi, bukan masalah etika dan moral. Terus meningkatnya jumlah kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak serta kelompok disabilitas menunjukkan pemerintah gagal memberikan perlindungan terhadap ketiga kelompok tersebut. Lebih jauh, pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan yang kerap lolos dari jerat hukum atau mendapatkan hukuman yang minim menunjukkan bahwa pemerintah tidak benar-benar serius berpihak pada perempuan, anak dan disabilitas terutama mereka yang telah menjadi korban.

Terdapat hal mendasar yang turut mendukung
meningkatnya kasus kekerasan seksual, dan juga penyebab dari enggannya korban
untuk melaporkan kekerasan yang dihadapi. Diantaranya seperti yang tertulis dalam pernyataan pers Save Our Sisters, peraturan tentang
kekerasan seksual yang sangat minim belum mengakomodir pencegahan dan perlindungan
korban termasuk pemulihan korban secara komperhensif. Sistem peradilan yang
belum ramah dan peka terhadap kebutuhan dan hak korban, mulai dari kepolisian,
kejaksaan hingga persidangan maupun putusan dan eksekusi putusan.

Hal tersebut
sama sekali belum mampu memberikan efek jera pada para pelaku kekerasan seksual
dan masyarakat. Namun kami juga menolak dengan tegas adanya gagasansistem penghukuman yang memasukkan unsur kekerasan
dan balas dendam seperti pidana kebiri dan juga hukuman mati terhadap para
pelaku. Hukuman kebiri dan hukumanmati yang sarat unsur kekerasan, justru berpotensi memperbesar intimidasi
terhadap korban dan keluarganya. Akhirnya, kasus-kasus kekerasan seksual
semakin sunyi dan takterlaporkan. Kekerasan Seksual adalah
kejahatan sistemik yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan penghukuman
semata, kekerasan tidak akan dapat diselesaikan dengan bentuk kekerasan lain.

Penjeraan pelaku dengan penghukuman seperti itu tidak menyelesaikan akar persoalan
kekerasan seksual secara khusus dan kekerasan terhadap perempuan dan anak
secara umum, karena kekerasan seksual dimulai dengan cara pandang masyarakat
terhadap perempuan yang hanya sebagai obyek seksual, pemuas nafsu birahi. Kekerasan
seksual hendaknya ditafsirkan tidak hanya dengan penetrasi penis ke vagina,
namun juga dilakukan dengan anggota tubuh atau alat bantu lain yang diarahkan
untuk memuaskan seksual pelaku ataupun yang lainnya.

Perbaikan menyeluruh terhadap sistem peradilan pidana untuk kekerasan
berbasis gender yang dimulai dari pencegahan, penegakan hukum, pemulihan dan
restitusi bagi korban serta rehabilitasi pelaku menjadi tanggung jawab seluruh
instansi pemerintah. Pengarusutamaan sensitifitas gender, korban serta
disabilitas menjadi hal penting dan utama di dalam perbaikan tersebut.

Acara yang didukung oleh 150 organisasi dan ratusan individu ini berjalan
dengan damai. Selain itu juga dihadiri oleh Anies Baswedan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan, Yohana Yembise Menteri  Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak, Irjen. Pol. Drs. Boy Rafli Amar  Kadivhumas Polri, Yuni Chuzaifah Komnas
Perempuan,  Lukman Hakim Menteri Agama,
Eva Sundari kakus perempuan parlemen dan para aktivis serta simpatisan yang
mendukung dihentikannya kekerasa seksual di Indonesia.   

Tolak Hukuman Kebiri dan Hukuman Mati


Dalam Acara tersebut Jaringan Solidaritas untuk Korban Kekerasan Seksual yang
tergabung dalam Aksi Save Our Sisters: Malam Solidaritas untuk Korban Kekerasan
Seksual menyatakan Indonesia darurat kekerasan seksual dan menuntut: agar pemerintah dan kepolisian daerah Bengkulu
untuk bersikap tegas dalam menangani kasus perkosaan dan pembunuhan YY
dengan serius dan menghukum pelaku dengan hukuman maksimal sesuai dengan
aturan hukum yang berlaku. Tuntutan kedua yaitu pemerintah secara serius menangani kasus
kekerasan seksual dengan melakukan upaya pencegahan, pembenahan paturan hukum
dan menciptakan sistem peradilan yang  berpihak pada korban.

Tuntutan ketiga yaitu, Pemerintah dan semua lembaga penegakan hukum
di Indonesia untuk menyelenggarakan pelatihan-pelatihan penangan kasus
kekerasan terhadap perempuan & anak menggunakan perspektif perempuan
atau korban kepada personil di jajarannya. Selanjutnya, pemerintah dan DPR RI segera bahas dan sahkan
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,menolak hukuman Kebiri & hukuman mati
karena memperpanjang rantai kekerasan.

Negara juga harus memusatkan perhatian dan kerja pada upaya pemulihan,
rehabilitasi dan penghapusan stigma terhadap korban daripada menghabiskan
banyak sumber daya untuk hukuman yang tidak manusiawi dan tidak terbukti
efektif serta tidak sesuai prinsip pemidanaan dan juga pemerintah segera mendorong Kurikulum
Pendidikan Seksual Komperhensif dalam institusi pendidikan mulai dari
tingkat rendah hingga perguruan tinggi.

Menolak Stigmatisasi Terhadap Korban di Media

    Mereka juga meminta kepada media untuk lebih berhati-hati dan sensitif serta memegang tinggi kode etik jurnalisme dalam melaporkan pemberitaan kasus-kasus kekerasan seksual, seperti menjaga kerahasiaan dan keamanan korban dan/atau keluarga dengan tidak menyebutkan nama korban dan informasi-informasi lain yang bisa mengarah kepada pengungkapan identitas korban untuk menghindarkan reviktimisasi dalam bentuk stigma masyarakat terhadap korban.

    Selain itu tidak menyebutkan nama korban dan/atau nama keluarga korban meskipun korban meninggal untuk menghindarkan keluarga korban dari stigma dan/atau tekanan yang terlalu berlebih dari masyarakat yang bisa menyebabkan trauma tambahan, tidak mengeksploitasi informasi detil terkait korban yang tidak relevan dengan kasus kekerasan seksual termasuk menghadirkan korban dan atau keluarga korban di dalam tayangan televisi dengan pertanyaan yang tidak sensitif korban untuk menghindarkan korban dari penghakiman-penghakiman sosial yang tidak adil dan menggunakan perspektif yang adil gender dan mengedepankan kepentingan terbaik korban dalam setiap pemberitaan

      (Foto : Lini Zurlia dan Evie Permata Sari)

      Tim Konde.co

      Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
      Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

      Creative Commons License

      1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

      2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

      Let's share!