Potehi Budaya Klasik yang Tergerus Jaman

Poedjiati Tan – www.konde.co

Dulu ketika masih sering menemani kakek saya ke klenteng Kampung Dukuh,
saya paling suka duduk menonton pertunjukan wayang potehi. Saya selalu
mengagumi permainan mereka khususnya ketika wayang itu sedang bertarung
menggunakan pedang atau tombak. Permainan mereka begitu hidup dan nyata. Dan
setelah 35 tahun berlalu baru sekarang saya berkesempatan menengok dibalik
bilik panggung pertunjukan dan mengobrol dengan para operator pertunjukan
wayang potehi.

Di bilik tonil yang berukuran 3×2 meter itu saya bertemu dengan empat orang
, Edi Sutrisno sebagai pendongeng, Willy dan Alwi sebagai pengiring musik disebut
au tay dan Ryan sebagai dalang atau
disebut se hu. Disini Edi Sutrisno
yang paling senior diantara semuanya. Pertama kali dia belajar ketika masih SD,
rumah dia yang memang di sekitar Klenteng membuat dia sering melihat
pertunjukan potehi dan kadang bermain di dalam bilik untuk melihat langsung
dari dalam. Lalu dia diajak untuk belajar, pertama dia belajar main musiknya
terlebih dahulu sebelum belajar mendalang.

“Dulu yang jadi dalang dan pemain musik itu encik-encik dan pake bahasa China,
lalu senior saya yang orang jawa menulis ulang ceritanya dengan bahasa
Indonesia”Ceritanya. “Sejak itu cerita wayang potehi menggunakan bahasa
Indonesia dan saya mulai belajar menghafal jalan cerita dan dialognya. Ada 15
cerita dari jaman Tiongkok kuno yang dia kuasai. Satu cerita habis dalam satu
minggu bila sehari tampil dua kali. “Yang sering lupa itu nama tempat-tempat
dalam cerita itu!Lanjutnya.

Wayang potehi di Klenteng HONG TEK HIAN yang terletak di jalan kampung
dukuh ini sudah ada sejak tahun 1960an. Pertunjukan wayang potehi ini dipercaya
sebagai salah satu ritual sakral untuk menyenangkan para Dewa. “Dan kadang ada
yang nanggap untuk memenuhi nazar umat klenteng.” Ujar Edi. Bila dia bisa
mementaskan dengan baik selalu ada kebahagian tersendiri, katanya.

Ryan sang Dalang

Edi adalah generasi keempat yang mewarisi kesenian wayang potehi dari
Tiongkok ini. Sekarang ini para operatornya orang jawa semua dan agamanya bukan
Tri Dharma, tetapi mereka masih melakukan ritual sebelum pementasan yaitu
membakar kim choa (kertas merah bertulis huruf Tionghoa).  “Ini doa
agar setan jahat pergi selamapertunjukkan
dan pementasan
lancar,”kataEdi.Dia mencintai potehi sejak dari kecil, karena
banyak pesan-pesan filosofi di dalamnya yang membuat dia banyak belajar dan
menjadi mengerti tentang makna kehidupan,

Wayang Potehi di Klenteng Kampung Dukuh ini tampil dua kali setiap harinya,
yaitu pagi jam 9.00-11.00 dan sore 18.00-20.00. Kalau ada perayaan di Klenteng
biasanya ramai penontonnya. Tak jarang mereka juga dapat job tampil di luar Klenteng
seperti di Klenteng lain atau di mall, kalau ada perayaan tahun baru imlek. “Dulu
kita tidak bisa pentas di luar Klenteng, minta ijinnya bisa harus kemana-mana dan
ribetnya nggak ketulungan!Kata Edi. “Tapi sejak reformasi kita jadi bisa
menerima

Eddy, Willy dan Alwi

panggilan manggung di luar klenteng! Bahkan tahun 2007 pernah main
untuk TV swasta dan waktu itu banyak yang ingin belajar. Kita sampai punya 30
orang anggota!Ceritanya sambil menerawang dan menghisap rokoknya mengingat
kejayaan wayang potehi.

Edi yang sudah 35 tahun menjalani profesinya sebagai bagian dari
pertunjukan wayang potehi ini, tidak tahu apakah akan ada generasi penerusnya
atau tidak. “Sebab anak sekarang lebih suka main PS dan HP daripada main wayang
potehi!Ujarnya.  “Sekrang ini susah
mencari kader pengganti karena anak-anak tidak ada yang berminat untuk belajar
menjadi se hu”Lanjutnya. Yang termuda dalam kelompok mereka adalah Ryan 28
tahun dan dia sudah terampil memainkan adegan-adegan dalam Wayang Potehi.
“Semoga akan ada generasi pengganti dan bisa melestarikan budaya klasik
Tiongkok ini!Katanya.

Kecintaan akan seni dan budaya memang tidak melihat suku, ras atau agama.
Karena seni itu mengalir dalam jiwa seseorang dan mampu mengubah seseorang.
Seperti kata Pablo Picasso The purpose of
art is washing the dust life off our souls
.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!