Pernyataan Pastoral Tentang LGBT

Poedjiati Tan – www.konde.co

Setelah duka menyelimuti dunia LGBT dengan peristiwa penembakan di Orlando akibat
kebencian seorang manusia, kini ada setitik terang yang membawa kasih pada
teman-teman LGBT. Persekutuan Gereja-gereja Indonesia telah menunjukan sikap
dengan menyebarkan kasih menerima LGBT dan memperjuangkan hak-haknya untuk
tidak disikriminasi.

Seperti yang dirilis dalam website PGI, (klik disini tautannya) pada tanggal 17 Juni 2016
Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) mengeluarkan pernyataan sikap
terkait LGBT. Dalam pengantarnya Majelis Pekerja Harian (MPH)-PGI mengatakan, setelah
melalui studi dan pendalaman yang komprehensif, Sidang MPH-PGI pada 26-28 Mei
2016 sampai pada beberapa pertimbangan. Disadari bahwa sikap dan ajaran gereja
mengenai LGBT sangat beragam, dan pertimbangan-pertimbangan ini tidaklah
dimaksudkan untuk menyeragamkannya. Menurut MPH-PGI pertimbangan-pertimbangan
ini justru sebuah ajakan kepada gereja-gereja untuk mendalami masalah ini lebih
lanjut.

Pernyataan sikap ini ditandatangani oleh Ketua Umum Pdt. Dr. Henriette T. H
– Lebang dan Sekretaris Umum Pdt. Gomar Gultom.

Pernyataan Pastoral PGI tentang LGBT


Menyikapi kontroversi yang muncul dan berkembang di kalangan gereja-gereja
dan di tengah masyarakat menyangkut keberadaan LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan
Transgender), Majelis Pekerja Harian PGI menyampaikan beberapa pertimbangan
sebagaimana tertera di bawah. Disadari bahwa sikap dan ajaran gereja mengenai
hal ini sangat beragam, dan pertimbangan-pertimbangan ini tidaklah dimaksudkan
untuk menyeragamkannya. Pertimbangan-pertimbangan ini justru sebuah ajakan
kepada gereja-gereja untuk mendalami masalah ini lebih lanjut. MPH-PGI akan
sangat berterima kasih jika dari hasil pendalaman itu, gereja-gereja dapat
memberikan pokok-pokok pikiran sebagai umpan balik kepada MPH-PGI untuk
menyempurnakan Sikap dan Pandangan PGI mengenai masalah ini.

Pengantar 

1.     
Manusia adalah gambar dan citra Allah yang sempurna. Sebagai citra Allah
yang sempurna, manusia memiliki harkat dan martabat yang harus dihormati dan
dijunjung tinggi. 

2.     
Allah menciptakan manusia, makhluk dan segala ciptaan yang beranekaragam
dan berbeda-beda satu sama lain. Kita hidup dalam keanekaragaman ras, etnik,
gender, orientasi seksual dan agama. Keanekaragaman ini adalah sebuah realitas
yang Allah berikan kepada kita, yang seharusnya bisa kita terima dengan sikap
positif dan realistis. 

3.     
Bersikap positif dan realistis dalam keanekaragaman berarti kita harus
saling menerima, saling mengasihi, saling menghargai dan saling menghormati
satu sama lain. Bersikap positif dan realistis terhadap keanekaragaman yang
Allah berikan berarti kita berupaya memahami dan menerima dalam kasih segala
perbedaan yang ada. Bersikap positif dan realistis terhadap kenekaragaman
berarti kita melawan segala bentuk kebencian, ketidakadilan, diskriminasi,
eksploitasi dan penindasan terhadap sesama manusia, segala makhluk dan segenap
ciptaan Allah. Sebaliknya kita berupaya mendialogkan segala perbedaan itu tanpa
prasangka negatif. Bersikap positif dan realistis berarti kita menjaga dan
memelihara persekutuan manusia yang beranekaragam ini agar mendatangkan
kebaikan bagi umat manusia, bagi segala makhluk dan bagi bumi ini. 

Titik Tolak

4.     
Membicarakan kaum LGBT adalah membicarakan manusia yang merupakan ciptaan
Allah yang sangat dikasihi-Nya. 

5.     
Keberadaan manusia dengan kecenderungan LGBT merupakan sebuah fenomena yang
ada sejak masa lalu. LGBT bukan produk kebudayan modern; bukan juga produk
kebudayaan Barat. Fenomena LGBT ini ada dalam masyarakat kita dan secara
sosio-antropologis LGBT ini sudah sejak dulu diakomodasikan dalam budaya
beberapa suku di dalam masyarakat kita. 

6.     
Ketika kita menghadapi persoalan moral, salah satu masalah terbesar muncul
dari cara kita melakukan interpretasi terhadap teks Kitab Suci. Penafsiran
terhadap teks Kitab Suci yang tidak mempertimbangkan maksud dan tujuan dari
teks yang ditulis oleh para penulis Kitab Suci berpotensi menghasilkan
interpretasi yang sama sekali berbeda dari tujuan teks itu ditulis. Berkenaan
dengan LGBT, Alkitab memang menyinggung fenomena LGBT, tetapi Alkitab tidak
memberikan penilaian moral-etik terhadap keberadaan atau eksistensi mereka.
Alkitab tidak mengeritisi orientasi seksual seseorang. Apa yang Alkitab kritisi
adalah perilaku seksual yang jahat dan eksploitatif yang dilakukan oleh siapa
pun, termasuk yang dilakukan kaum heteroseksual, atau yang selama ini dianggap
‘normal’. Pesan utama ceritera penciptaan Adam dan Hawa (Kejadian 1:26-28;
2:18, 21-24), misalnya, adalah tentang cikal bakal terjadinya institusi
keluarga dan bahwa manusia diberi tanggungjawab untuk memenuhi dan memelihara
bumi. Ceritera ini sama sekali tidak ditujukan untuk menolak keberadaan kaum
LGBT. 

7.     
Ada beberapa teks lain dalam Alkitab yang diinterpretasikan secara kurang
tepat sehingga ayat-ayat itu seolah menghakimi kaum LGBT. Padahal melalui
interpretasi yang lebih akurat, kritikan Alkitab dalam ayat-ayat tersebut
justru ditujukan pada obyek lain. Contohnya: Alkitab mengeritisi dengan sangat
keras ibadah agama kesuburan (menyembah Baal dan Asyera, Hakim-hakim 3:7;
2Raja-raja 23:4) oleh bangsa-bangsa tetangga Israel pada masa itu, yang
mempraktekkan semburit bakti yaitu perilaku seksual sesama jenis sebagai bagian
dari ibadah agama Baal itu (Ulangan 23:17-18); demikian juga terhadap
penyembahan berhala Romawi di zaman Perjanjian Baru (Roma 1:23-32). Alkitab
juga mengeritisi sikap xenofobia masyarakat Sodom terhadap orang asing dengan
cara mempraktekkan eksploitasi seksual terhadap mereka yang sesama jenis.
Tujuannya adalah mempermalukan mereka (Kejadian 19: 5-11 dan Hakim-hakim
19:1-30). Oleh karena itu bagian-bagian Alkitab ini tidak ditujukan untuk
menyerang, menolak atau mendiskriminasi keberadaan kaum LGBT. Teks-teks Alkitab
lainnya, yang sering dipakai menghakimi kaum LGBT adalah Imamat 18:22; 20:13;
1Kor 6:9-10; 1Tim 1:10). Apa yang ditolak dalam teks-teks Alkitab itu adalah
segala jenis perilaku seksual yang jahat dan eksploitatif, yang dilakukan oleh
siapa pun, atas dasar apa pun, termasuk atas dasar agama, dan ditujukan
terhadap siapa pun, termasuk terhadap perempuan, laki-laki dan anak-anak. 


Rekomendasi 

8.     
PGI mengingatkan agar kita semua mempertimbangkan hasil-hasil penelitian
mutakhir dalam bidang kedokteran dan psikiatri yang tidak lagi memasukkan
orientasi seksual LGBT sebagai penyakit, sebagai penyimpangan mental (mental
disorder) atau sebagai sebuah bentuk kejahatan. Pernyataan dari badan kesehatan
dunia, WHO, Human Rights International yang berdasarkan kemajuan penelitian
ilmu kedokteran mampu memahami keberadaan LGBT dan ikut berjuang dalam
menegakkan hak-hak mereka sebagai sesama manusia. Perhimpunan Dokter Spesialis
Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) mengacu pada Pedoman Penggolongan dan
Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi II tahun 1983 (PPDGJ II) dan PPDGJ
III (1993) bahwa LGBT bukanlah penyakit kejiwaan. LGBT juga bukan sebuah
penyakit spiritual. Dalam banyak kasus, kecenderungan LGBT dialami sebagai
sesuatu yang natural yang sudah diterima sejak seseorang dilahirkan; juga ada
kasus-kasus kecenderungan LGBT terjadi sebagai akibat pengaruh sosial. Sulit
membedakan mana yang natural dan mana yang nurture oleh karena pengaruh sosial.
Meskipun demikian, bagi banyak pelaku, kecenderungan LGBT bukanlah merupakan
pilihan, tetapi sesuatu yang terterima (given). Oleh karena itu, menjadi LGBT,
apalagi yang sudah diterima sejak lahir, bukanlah suatu dosa, karena itu kita
tidak boleh memaksa mereka bertobat. Kita juga tidak boleh memaksa mereka untuk
berubah, melainkan sebaliknya, kita harus menolong agar mereka bisa menerima
dirinya sendiri sebagai pemberian Allah.

9.     
Gereja, sebagai sebuah persekutuan yang inklusif dan sebagai keluarga
Allah, harus belajar menerima kaum LGBT sebagai bagian yang utuh dari
persekutuan kita sebagai “Tubuh Kristus”. Kita harus memberikan kesempatan agar
mereka bisa bertumbuh sebagai manusia yang utuh secara fisik, mental, sosial
dan secara spiritual. 

10. 
PGI menghimbau gereja-gereja agar mempersiapkan dan melakukan bimbingan
pastoral kepada keluarga agar mereka mampu menerima dan merangkul serta
mencintai keluarga mereka yang berkecenderungan LGBT. Penolakan keluarga
terhadap anggota keluarga mereka yang LGBT berpotensi menciptakan gangguan
kejiwaan, menciptakan penolakan terhadap diri sendiri (self-rejection) yang
berakibat pada makin meningkatnya potensi bunuh diri di kalangan LGBT. 

11. 
Selama ini kaum LGBT mengalami penderitaan fisik, mental-psikologis,
sosial, dan spiritual karena stigamatisasi agama dan perilaku kekerasan yang
dilakukan oleh sebagian masyarakat. Mereka menjadi kelompok yang direndahkan,
dikucilkan dan didiskiriminasi bahkan juga oleh negara. Gereja harus mengambil
sikap berbeda. Gereja bukan saja harus menerima mereka, tetapi bahkan harus
berjuang agar kaum LGBT bisa diterima dan diakui hak-haknya oleh masyarakat dan
negara, terutama hak-hak untuk tidak didiskriminasi atau dikucilkan,
perlindungan terhadap kekerasan, hak-hak untuk memperoleh pekerjaan, dan
sebagainya. Para pemangku negara ini harus menjamin agar hak-hak asasi dan
martabat kaum LGBT dihormati! Kaum LGBT harus diberikan kesempatan hidup dalam
keadilan dan perdamaian. 

12. 
PGI menghimbau agar gereja-gereja, masyarakat dan negara menerima dan
bahkan memperjuangkan hak-hak dan martabat kaum LGBT. Kebesaran kita sebagai
sebuah bangsa yang beradab terlihat dari kemampuan kita menerima dan menolong
mereka yang justru sedang mengalami diskriminasi dan ketidakadilan. Meskipun
demikian, PGI sadar bahwa gereja dan masyarakat Indonesia belum bisa menerima
pernikahan sesama jenis. PGI bersama dengan warga gereja dan segenap warga
masyarakat masih memerlukan dialog dan percakapan teologis yang mendalam
menyangkut soal ini.

Penutup 

13. 
LGBT pada dirinya sendiri bukanlah sebuah persoalan. LGBT menjadi persoalan
karena kitalah yang mempersoalkannya. Kitalah yang memberinya stigma negatif.
Oleh karena itu dibutuhkan sikap yang matang, rendah hati, rasional serta
kemampuan bersikap adil dalam menyikapi kasus ini. Kita harus menjauhkan diri
dari kecenderungan menghakimi atau menyesatkan siapa pun. Sebaliknya, kita
harus belajar membangun persekutuan bangsa dan persekutuan umat manusia yang
didasarkan pada kesetaraan dan keadilan. 

14.  Demikianlah pernyataan pastoral ini kami sampaikan pertama-tama kepada
gereja-gereja di Indonesia, dan juga kepada masyarakat Indonesia seluruhnya.
Kiranya gereja-gereja terus mengarahkan diri pada tuntunan Roh Kudus untuk
memperdalam pemahaman dan memperkuat komitmen iman menyangkut penerimaan kaum
LGBT.

Jakarta, 28 Mei 2016

a.n Majelis Pekerja Harian PGI

sumber : http://pgi.or.id/pernyataan-pastoral-tentang-lgbt/

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!