Seksualitas dan Perempuan

Poedjiati Tan – www.konde.co

Dalam sebuah diskusi di group facebook, ada seorang laki-laki mengatakan
bahwa perempuan itu tidak mengutamakan seks dalam relasinya. Berbeda dengan
laki-laki yang mengutamakan seks dalam berelasi.

Saya jadi ingat sebuah film
yang pernah saya tonton judulnya Hysteria
dibuat tahun 2011 dengan setting di Inggris tahun 1880, yang menceritakan kebanyakanperempuandi Inggris memiliki Hysteria. dr. Darlymple meyakini bahwa untuk menyembuhkan penyakit itu,perempuanharus diberikan ‘rangsangan
halus’ di daerah kewanitaannya sampai mereka bisa merasakan orgasme. 

Kesimpulandari film ini adalah bahwa Penyakit ‘Hysteria’ 
merupakan salah satu efek pengekangan perempuan dalam urusan domestik (rumah
tangga), perempuan digambarkan tidak mendapatkan kebahagiaan utuh dalam ‘urusan
ranjang’mereka
tidak pernah merasakan orgasme karena keegosian pria, sehingga dia membutuhkan terapi yang dilakukan
oleh dr. Darlymple.



Risih Membicarakan Seksualitas Perempuan

Seperti halnya perempuan di Indonesia yang selalu malu, risih dan merasa
tidak pantas membicarakan seks apalagi berbicara mengenai kenikmatan seks
secara terbuka. Perempuan  Indonesia yang
telah menikah seringkali menerima dan pasrah ketika dalam berhubungan seks
dengan suaminya meskipun tidak pernah merasakan orgasme.

Ketertindasan
perempuan dalam hubungan seksual terlihat 
ketika istri harus melayani suami meskipun dia belum mengalami
lubrikasi. Ini menunjukkan bahwa suami tidak peduli dengan kondisi istri dan
ini mengakibatkan penderitaan fisik bagi istri.

Hubungan seksual yang diakhiri tanpa memberikan kesempatan bagi istri untuk
merasakan orgasme juga sering terjadi. Selain itu sering pula seorang istri
harus melayani suami padahal dia sedang haid atau mengalami keputihan yang
akibatnya membahayakan jiwa perempuan karena organ perempuan rentan infeksi. 

Tidak sedikit seorang istri yang harus
melayani suami selagi menopause dengan sindroma menopause tanpa menggunakan
pelicin. Bahkan mereka tidak dapat menolak ketika suaminya mengingkan hubungan
seks meskipun dia sendiri sedang tidak menginginkannya.

Penderitaan yang dialami perempuan dalam melakukan hubungan seks jarang
sekali terungkap kepermukaan. Karena para perempuan malu kalau harus
mengungkapkan hubungan seksualnya dengan orang lain. Ajaran yang telah
diajarkan turun menurun dari para orangtua ke anak perempuannya adalah tugas
perempuan adalah melayani dan menyenangkan suami.

Para orangtua tidak pernah
mengajarkan bagaimana melakukan hubungan seks yang nikmat kepada anak
perempuannya atau bagaimana menikmati hubungan seksual yang menyenangkan.
Mereka merasa malu atau risih untuk mengajarkan itu semua.

Atau mereka terutama orangtua perempuan (ibu) sendiri
mungkin tidak pernah mengalami bagaimana rasanya orgasme, dimana letak
kenikmatan berhubungan seksual. Sehingga mereka tidak bisa mengajarkan
bagaimana seksual yang nikmat itu.

Kita tidak pernah membicarakan secara baik dan benar tentang kenikmatan seks pada perempuan dan bagaimana caranya agar perempuan dapat menikmatinya. Pelajaran tentang seksualitas dibicarakan
dengan malu-malu dan seakan-akan tabu untuk dibicarakan.

Perempuan yang belum
menikah seperti pantang membicarakan seksualitas, yang telah menikah mereka
hanya diajarkan bagaimana menggunakan kontrasepsi atau KB apa yang cocok buat
mereka, tanpa pernah membicarakan bagaimana perempuan juga berhak untuk merasakan
kenikmatan seksual dan bisa merasakan kenikmatan seksual. Sehingga menimbulkan
mitos bahwa perempuan tidak menyukai seks atau mementingkan seks.

Bahkan ketika saya mencoba melihat buku-buku mengenai seks di toko buku,
saya tidak mendapat sesuatu yang baru. Semua buku seks mengajarkan sesuatu yang
sesuai dengan agama atau norma yang berlaku di masyarakat. Kenikmatan seksual
seorang perempuan hanya bisa dicapai apabila mereka melakukan dengan seorang
laki-laki dalam sebuah perkawinan. Bahkan ada sebuah buku yang tidak
menyinggung sama sekali tentang kenikmatan seorang perempuan, yang dikatakan
mengenai hubungan seks adalah bahwa perempuan itu ibarat ladang yang harus
ditanami oleh laki-laki.

Dalam semua buku tentang seksualitas dan kenikmatan yang saya baca tidak
satupun yang menyebutkan bahwa kenikmatan seksualitas perempuan juga bisa
dicapai tanpa bantuan laki-laki. Tidak ada yang menyebutkan bahwa mereka bisa
menggunakan alat bantu seperti dildo atau lainnya.

Dan juga tidak ada yang
menyebutkan bahwa kenikmatan bisa dicapai dengan perempuan lain, baik itu
lesbian atau perempuan yang melakukan hubungan seks dengan perempuan atau
melakukan sendiri (masturbasi) tanpa bantuan orang lain.  Buku-buku itu tidak mengajarkan tentang cara
atau posisi yang nikmat untuk seorang perempuan, tentang hak seksualitas perempuan karena takut dianggap
pornografi.

Seperti kata Gayle Rubin (1993: 14) :...seksualitas yang dianggap “baik”,
“normal”, dan “natural” secara ideal adalah yang heteroseksual, marital,
monogami, reproduktif dan non-komersial. Ditambah lagi, ia juga harus
berpasangan, relasional, dari satu generasi yang sama dan terjadi dalam rumah.
Ia tidak melibatkan pornografi, objek fetish, alat bantu seks apapun, atau
terdiri dari laki-laki dan perempuan. Seks apapun yang melanggar peraturan ini
dianggap “buruk”, “abnormal” atau “tidak natural.”

Seksualitas Perempuan

Kenikmatan seksualitas perempuan selalu identik dengan kekuasaan
laki-laki.  Seakan-akan perempuan tidak
bisa dan tidak boleh menikmati seksualitas. Perempuan sering dimitoskan tidak
boleh menikmati seksual karena itu akan berbahaya tetapi secara budaya mereka
diharuskan memiliki suami.

Perempuan yang memilih tidak menikah, lesbian, atau
hidup bersama dianggap tidak baik, menyalahi aturan dan perkawinan adalah
tempat yang paling tepat dan aman buat perempuan. Perempuan ditabukan untuk
berbicara kenikmatan apalagi menuntut kenikmatannya. Ini semua juga diperparah
oleh sikap masyarakat yang tidak mau keluar dari sistem tersebut.

Jika seorang perempuan melakukan hubungan seksual itu karena dia
menginginkannya bukan karena pakasaan, kewajiban, keharusan, bukan karena
agama, ekonomi, politik atau lainnya. Tetapi dia melakukannya karena ingin
menikmati seksual itu.

Dan apabila perempuan itu tidak ingin melakukan hubungan
seksual kita harus menghargainya, tidak memaksanya demi apapun.

Perempuan
berhak mengatur hidupnya, tubuhnya, pikirannya, fantasinya, hasratnya dan
berhak menikmati kehidupan seksualnya. Jadi yang harus dilakukan adalah
memberikan pendidikan tentang seksualitas, kesehatan reproduksi dan hak-hak
seksualitas perempuan.  

Foto: amar-mramar.blogspot.com

Referensi : Poedjiati Tan, (2009), Seksualitas Perempuan : Kenikmatan dan Resiko, Materi Kursus Gender dan Seksualitas IV.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!