Pahlawan Pendidik Perempuan, Cita-Citamu Dulu

Edisi Khusus Refleksi Kemerdekaan Perempuan: untuk edisi Kemerdekaan Agustus 2016 kali ini, www.konde.co akan menampilkan edisi khusus: “Refleksi Kemerdekaan Perempuan”. Refleksi kemerdekaan perempuan ini berisi kritik sekaligus evaluasi dari individu dan sejumlah kelompok tentang pentingnya kemerdekaan perempuan, ide soal kemerdekaan perempuan dan bagaimana refleksi mereka tentang kemerdekaan perempuan di Indonesia. Edisi khusus ini akan kami tampilkan dari tanggal 15-18 Agustus 2016. (Redaksi)

Poedjiati Tan – www.konde.co

Saya
membayangkan ada sebuah program besar, kurikulum besar pendidikan yang
berperspektif perempuan. Diajarkan di sekolah-sekolah, didiskusikan di
universitas-universitas. Sebagai dosen, tak salah jika saya memimpikan ini
menjelang hari kemerdekaan Indonesia. Karena sejumlah tokoh pendidikan
perempuan nyata-nyata telah berjuang jauh sebelum Indonesia merdeka:

Pahlawan Pendidik Perempuan

Kartini adalah
salah satu pendidik yang mengajar anak-anak buruh di belakang rumahnya. Hidup
di dalam keraton tak pernah membuatnya lupa pada anak-anak buruh yang tak
mendapat pendidikan baik.

Selain itu ada
Dewi Sartika. Dewi Sartika, adalah pahlawan perempuan penggagas dan pendiri
Sakola Istri (Sekolah Perempuan). Ini merupakan sekolah perempuan yang berdiri
di tahun 1904. Tenaga pengajarnya 3 orang : Dewi Sartika dibantu 2 saudara
sepupunya:Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid.

Pada tahun-tahun
berikutnya di beberapa wilayah Sunda bermunculan beberapa Sakola Istri,
terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita
yang sama dengan Dewi Sartika. Dewi Sartika begitu mempengaruhi pendidikan bagi
para perempuan di Indonesia kala itu.

Perempuan
berikutnya yang menggagas sekolah perempuan adalah Roehana Koeddoes. Roehana,
perempuan asal Sumatera Barat adalah seorang perempuan yang mempunyai komitmen
yang kuat pada pendidikan perempuan. Di zamannya Roehana termasuk salah satu
dari segelintir perempuan yang percaya bahwa diskriminasi terhadap perempuan,
termasuk kesempatan untuk mendapat pendidikan adalah tindakan semena-semena dan
harus dilawan. Lalu ia mendirikan sekolah Amai Setia, sekolah khusus untuk
perempuan.

Roehana
mendirikan sekolah keterampilan khusus perempuan tersebut pada tanggal 11
Februari 1911. Di sekolah ini diajarkan berbagai keterampilan untuk perempuan,
keterampilan mengelola keuangan, membaca dan menulis, pendidikan budi pekerti,
pendidikan agama dan Bahasa Belanda.

Jatuh bangun
memperjuangkan nasib kaum perempuan penuh dengan benturan sosial menghadapi
pemuka adat dan kebiasaan masyarakat Koto Gadang di lakoni, bahkan fitnahan
yang tak kunjung menderanya seiring dengan keinginannnya untuk memajukan kaum
perempuan. Namun gejolak sosial yang dihadapinya justru membuatnya tegar dan
semakin yakin dengan apa yang diperjuangkannya

Setelah itu ada
banyak perempuan Indonesia lain yang memberikan pendidikan non formal diluar
sekolah, mengajak para perempuan untuk sekolah, mengenyam pendidikan sekaligus
berorganisasi. Hal ini sebagai tanda bahwa sudah banyak sekali perempuan
meletakkan dasar pendidikan untuk perempuan di Indonesia di masa sebelum
Indonesia merdeka.

Bagaimana di Masa Kini?

Apa yang salah,
ketika kita lihat bahwa hingga sekarang, diskriminasi pendidikan bagi perempuan
masih terasa. Jangankan mewujudkan pendidikan berperspektif gender, hingga
sekarang saja, masih banyak perempuan Indonesia yang buta huruf. Anak-anak
perempuan harus putus sekolah.

Meskipun kita
telah merdeka 71 tahun, tapi Pendidikan di Indonesia belum merata di seluruh
pelosok Indonesia. Banyak anak yang putus sekolah karena faktor ekonomi. Mereka
diminta orang tuanya membantu di ladang, di sawah, di kebun atau membantu
mencari uang.

Ada soal
pendidikan, dan selanjutnya adalah soal ekonomi. Meskipun ada program sekolah
gratis di beberapa tempat, tapi banyak anak perempuan yang tetap saja harus
meninggalkan bangku sekolah untuk membantu orang tua.

Dalam konteks
terkini, apalagi bila sekolah harus berbayar seperti yang disampaikan Mendikbud
belum lama ini?. Mendikbud Muhadjir Effendy mengatakan akan meninjau ulang
sekolah gratis yang dianggap sering kali menghambat partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan lembaga pendidikan. (seperti dilansir dalam antara.news 8
agustus 2016)

Bila sekolah
tidak lagi gratis maka dampak yang paling terkena adalah anak perempuan. ketika
sekolah gratis, banyak anak perempuan yang harus putus sekolah karena
dinikahkan atau dianggap tidak perlu sekolah tingi-tinggi. Apalagi kalau
sekolah harus berbayar, tentu orang tua akan mengutamakan anak laki-laki karena
dianggap mereka lebih perlu daripada anak perempuan.

Saya dan
sejumlah kawan kemudian merenungi, ada banyak pahlawan perempuan telah lahir,
berjuang dan meletakkan dasar pendidikan untuk perempuan di Indonesia. Namun,
71 tahun berlalu, masih banyak perempuan Indonesia yang belum mendapat
pendidikan yang layak hingga kini.

Referensi :

Fitriyanti, Roehana Koeddoes, Perempuan Sumatera Barat, Jurnal Perempuan, 2001. 

gambar :

www.berdikarionline.com

log.viva.co.id

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!