LGBT, Seksualitas dan Keluarga

Poedjiati Tan – www.konde.co

LGBT di Indonesia kembali harus menghadapi cobaan di tahun 2016 ini.
Beberapa saat yang lalu, LGBT mengalami tekanan dan serangkaian kebencian yang
dilakukan oleh masyarakat,  pejabat
pemerintah maupun media. Sekarang kembali LGBT terancam kebebasannya dan
terampas hak-haknya sebagai warga negara.

Gugatan AILA

Aliansi Cinta Keluarga (AILA) mengajukan gugatan materi dan mendaftarkan
uji materi Pasal 284, Pasal 285 dan Pasal 292 KUHP ke Mahkamah Konstitusi pada
bulan Mei 2016. Sebagai informasi, Pasal 284 terkait dengan indak pidana
perzinahan (overspell) dimana salah satu atau kedua belah pihak dalam
perkawinan, Pasal 285 terkait dengan tindak pidana perkosaan terhadap perempuan
di luar perkawinan, dan Pasal 292 terkait tindak pidana pencabulan sesama jenis
oleh orang dewasa kepada anak. Permohonan uji materi ini antara lain menuntut
tindak pidana perzinahan juga berlaku pada pasangan di luar perkawinan (yang
tidak menikah). Begitu pula dengan tindak pidana perkosaan tidak hanya kepada
perempuan namun pada setiap orang di luar perkawinan. Sedangkan untuk tindak
pidana pencabulan sesama jenis tidak hanya kepada anak, namun juga orang
dewasa.

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga yudikatif yang mempunyai
kewenangan menafsirkan konstitusi negara Republik Indonesia. Selama ini MK
menjadi tempat untuk menguji secara hukum bilamana hak-hak kobstituso warga
negara terlanggar. Namun, MK yang seharusnya menjadi lembaga tempat berlindung
atau melindungi warga negara atas hak konstitusinya, kini dijadikan alat untuk
mengkriminalkan warga negara karena orientasi seksualnya yang berbeda.
Hipocrates pernah mengatakan “science
is the father of knowledge, but opinion breeds ignorance”.
Para
pemohon uji materi adalah para cerdik pandai dengan gelar kesarjanaan yang
tinggi, begitu pula para saksi ahli dari pihak pemohon. Tetapi sayang, berdasar
bacaan penulis terhadap pemohonan dan bagaimana proses sidang berlangsung,
mereka sepertinya hanya percaya dengan apa yang ingin mereka percaya dan yakini
tanpa melakukan kajian komprehensif terkait latar belakang maupun tujuan dari
pengaturan tersebut.

Seperti halnya yang dilakukan oleh Dr.Fidiansjah, SpKJ yang menjadi
narasumber di sebuah acara salah satu stasiun televisi beberapa waktu lalu,
dengan sengaja tidak mengutip Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
(PPDGJ) III dengan benar. Dia mengatakan bahwa perilaku lesbian, homoseksual,
biseksual, dan transgender (LGBT) merupakan gangguan jiwa. Padahal apabila
dibaca dengan lengkap, di bagian tersebut tertulis “Orientasi seksual sendiri
jangan dianggap sebagai suatu gangguan”.

Tidak hanya Fidiansjah dan para pemohon dari AILA yang melakukan pembelokan
terhadap Ilmu pengetahuan. Mereka juga tidak bisa membedakan mana yang
pedophilia dan mana yang gay. Mereka melihat LGBT sebagai kegiatan seksual
semata dan menganggap itu sebagai kejahatan. Mereka beranggapan LGBT adalah
sekumpulan orang-orang sesat, tidak beragama suka mengajak orang menjadi LGBT,
suka melakukan hubungan seksual dan hanya seks saja tujuan mereka.

Konsep Perlindungan Anak. Benarkah?

Saya tidak tahu dari mana dasar pemikiran mereka, ataukah ini hanya
imajinasi liar mereka tentang LGBT. Mereka berargumen bahwa apa yang mereka
lakukan adalah untuk melindungi anak-anak dan masa depan mereka. Anak-anak yang
mana? Bagaimana dengan anak-anak yang merasa dirinya berbeda? Bagaimana dengan
anak-anak yang merasa tubuh dan gendernya tidak sama? Anak laki-laki yang
terperangkap di tubuh perempuan atau anak perempuan yang terperangkap di tubuh
laki-laki. Apakah mereka juga harus dihukum dan dipenjarakan? Apakah mereka
harus dibutakan dari pengetahuan terkait dengan kondisi dirinya?

Setiap orang mempunyai ketertarikan (preference) yang berbeda-beda. Ada
laki-laki yang menyukai perempuan dan adapula yang menyukai laki-laki.
Begitupula dengan perempuan, ada perempuan yang menyukai laki-laki adapula yang
menyukai perempuan. Namun apakah laki-laki yang menyukai perempuan akan
menyukai semua perempuan dan ingin mengajaknya berhubungan seksual? Kalau
jawabannya tidak, begitu pula dengan laki-laki yang menyukai laki-laki, mereka
juga mempunyai preference siapa dan bagaimana dia akan jatuh cinta dan suka,
bukan asal manusia yang berjenis kelamin laki-laki saja langsung mereka akan
suka dan ingin melakukan hubungan seks. Sekali lagi bahwa ketertarikan tidak
harus melulu urusan seks dan syahwat.

Saya tidak bisa membayangkan bila menjadi LGBT akan mendapatkan hukuman
penjara, maka akan banyak anak-anak LGBT di Indonesia yang akan mengalami
depresi, kekerasan di sekolah, diskriminasi dan kekerasan karena ekspresinya
yang berbeda, dan tidak mungkin akan banyak terjadi kasus bunuh diri yang
meningkat karena tekanan yang diterima oleh LGBT muda.

Semua argumen yang diajukan oleh AILA dan para saksi ahlinya yang tidak
pada dasar keilmuan dan hanya berbasis pada tafsir agama yang sesuai dengan
persepsi mereka. Argumentasi yang dibangun untuk mendapatkan dukungan
masyarakat yang kecanduan akan agama, menggunakan kesesatan penalaran Argumentum ad populum. Argumentum ad populum
adalah ditujukan pada massa untuk menggugah perasaan agar menyetujui pendapat.
Argumentasi dibangun hanya untuk mendapat dukungan, dan tidak memperhatikan
masalah benar – salah secara ilmu pengetahuan. Meskipun telah banyak penelitian
yang membuktikan bahwa homoseksual bukanlah suatu penyimpangan, tetapi mereka
tetap beranggapan bahwa LGBT adalah penyimpangan.

Bagaimana Nasib Ank-anak dengan Orientasi
Berbeda?

ALIA sebagai lembaga yang mengatakan dirinya lembaga yang peduli dan cinta
keluarga harusnya juga memikirkan bagaimana dengan anak-anak yang LGBT. Apakah
mereka harus disingkirkan dan tidak mendapatkan cinta kasih? Dimana letak cinta
terhadap keluarga bila melihat manusia hanya dari seksualnya saja tanpa pernah
memikirkan yang namanya cinta. Bagaimana seandainya keluarga mereka, anak
mereka, keponakan, cucu mereka atau keluarga mereka terjauh atau keluarga yang
mereka cintai ternyata seorang LGBT? Apakah mereka akan tetap ingin
memenjarakan? LGBT juga mempunyai orang tua, saudara, sepupu, anak, keponakan
atau bagian dari keluarga seseorang, LGBT juga mempunyai keluarga. Bagaimana
perasaan keluarga LGBT ketika karena jatuh cinta dengan LGBT mereka harus masuk
penjara.  Apakah itu yang dinamakan cinta
keluarga? 

Bukan hanya LGBT saja yang terkena dampak dari gugatan di MK ini. Gugatan
ini juga akan mengkontrol seksualitas masyarakat secara umum. Membungkam dan
menganggap Seksualitas sebagai sesuatu yang berbahaya dan harus dibungkam.
Urursan seksualitas akan menjadi urusan negara dan aparat akan menjadi polisi
moral memantau, memeriksa dengan siapa seseorang berhubungan seks, dan ini  berpotensi akan mejadi kekerasan di
masyarakat. Setiap orang yang berdua-duaan di sebuah kamar atau ruang akan
dicurigai melakukan hubungan seks tidak peduli jenis kelaminnya sama atau
berbeda. Setiap orang yang ekspresinya berbeda dari standar mereka akan
dicurigai sebagai LGBT. Akhirnya semua orang akan sibuk mengurusi seksualitas
orang lain, mencurigai orang lain, berprasangka dan melupakan kebaikan, cinta
kasih, saling menghargai dan keberagamaan yang ada di masyarakat.   

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!