Wajah Perempuan Adat To Karunsi’e Dongi.

*Ikha Kanna – www.konde.co

Luwu adalah sebuah daerah di dekat Palopo, Sulawesi Selatan.
Disana tinggal masyarakat adat Tana Luwu. Rumah mereka berada diantara lapangan
golf  yang dibangun oleh
perusahaan-perusahaan besar. Bagaimanakah kisah hidup para  perempuan adat di wilayah tersebut?  
Ikha Kanna, perempuan yang sehari
hari aktif di Aliansi Masyarakat Adat Wilayah Tana Luwu ( AMAN Tana Luwu) akan
menuliskan dalam beberapa bagian tulisan, tentang bagaimana kondisi perempuan
adat dan apa yang mereka lakukan untuk memperjuangkan hak perempuan adat disana
melalui perjalanan yang dilakukannya pada tahun 2013 silam. (Bagian 1)

“Perempuan adalah Ibu Manusia. Dari rahim perempuanlah lahir
manusia laki-laki dan perempuan. Betapa peran dan posisi perempuan dalam
perkembangan sebuah peradaban manusia di muka bumi ini begitu penting.”

Perjalanan dan Cerita Keluarga

Kisah
ini adalah cerita perjalanan saya ketika menempuh perjalanan ke suatu tempat di
bagian timur Tana Luwu, Palopo, Sulawesi Selatan pada 5 Juli 2013 lalu.
Perjalanan kali itu dalam rangka memenuhi agenda kegiatan di suatu kampung.
Pada saat itu kami ingin mempersiapkan suatu perencanaan kampung melalui suatu
pertemuan bersama dengan masyarakat di kampung itu.  Dari perjalanan ini saya kemudian mempunyai
sejumlah catatan tentang apa yang terjadi pada perempuan adat di Tana Luwu kala
itu:

Dongi,
adalah nama kampung itu. Orang-orang mengenal kampung ini sebagai masyarakat
dari suku To Karonsi’e. Ini adalah perjalanan pertama saya mengunjungi daerah
yang paling timur dari kota Palopo. Dari kota Palopo perjalanan ke kampung
Dongi menghabiskan 4 jam perjalanan dengan jarak tempuh kurang lebih 100 km .
Kampung Dongi adalah suatu kampung tua.

Dalam
perjalanan, sekilas terbersit di ingatan akan cerita tante, bagaimana om Yuli,
suami dari adik ibuku, berpenghasilan bersih sekitar 5 juta perbulan, upah yang
dibayarkan perusahaan PT INCO,  tambang
nikel terbesar di Indonesia kepada karyawan yang dikategorikan karyawan biasa
atau tenaga kontrak.

Om
Yuli bercerita banyak tentang upah yang dia rasa melebihi dari cukup untuk
menunjang kehidupan keluarganya. Dan bagaimana kondisi sosial masyarakat Sorowako
yang penduduknya kebanyakan bukan penduduk asli yang ada disana. mereka
kebanyakan adalah pendatang yang mencari nafkah dengan kerja di tambang.

“ Disana
itu kita di gaji 5 juta  perbulan bersih,
itu tidak termasuk tunjangan nak, belum lagi bonus-bonus yang biasa kita dapat
kalau mau tahun baru, pokoknya alhamdulillah untuk kasih sekolah adik-adik mu.“

Tante
Enhi yang merupakan istri dari om Yuli, adik dari ibuku lalu ikut menimpali.

“Kalau
untuk bisnis di Sorowako bagus nak, soalnya orang Sorowako itu rata-rata banyak
uangnya.” 

Pernyataan
ini seolah menegaskan jika kesejahteraan ekonomi masyarakat Sorowako, Kabupaten
Luwu timur sangat baik.

Dalam
perjalanan panjang kurang lebih 4 jam dari kota tempat tinggalku, seolah
pernyataan-pernyataan dari om Yuli berbanding terbalik dengan kondisi
masyarakat adat Karunsi’e Kampung Dongi.

Menurut
cerita teman-teman di AMAN Tana Luwu yang merupakan salah satu lembaga yang mendampingi
masyarakat adat To karunsi’e Dongi,

“ Disana
itu rumahnya orang di bangun dari limbah kayu 
perusahaan, belum lagi kalau kita mau mandi, pintu kamar mandinya pakai
terpal “.

 Dari
pernyataan ini saya sudah bisa membayangkan bagaimana kehidupan yang sangat
jauh dari yang namanya kehidupan yang layak bagi masyarakat Karunsi’e Dongi.

“Disana
itu mereka tidak berani membangun kamar mandi atau WC, karena orang dongi
bilang jangan sampai kami buat, besok bisa-bisa dibongkar petugas,” K
ata teman lain menimpali.

Ini
sangat intimidatif dimana penegak hukum yang harusnya bisa melindungi dan
mengayomi masyarakat siapapun itu.  Dalam
hati saya berkata, jika ada kasus penggusuran di wilayah Tana Luwu, maka ini
adalah kasus pertama sepanjang sejarah di Tana Luwu.

Saya
tidak bisa membayangkan bagaimana perlakuan-perlakuan seperti ini bisa terjadi
di wilayah yang bisa dibilang masih tidak padat penduduk seperti gambaran-gambaran
kota besar di Indonesia dimana lahan untuk bermukim sudah sangat sempit karena
bangunan-bangunan tinggi dibangun berdasar tuntutan laju perkembangan kehidupan
modern.

Menginjakkan
Kaki di Tana Luwu

Sepanjang jalan memasuki kawasan luwu
timur, saya disuguhkan pemandangan dengan gunung tinggi bak menyentuh langit
dengan keindahan sungai Karebbe’ yang menyejukkan mata.

Di pinggiran sungai tersebut saya
melihat ujung jalan raya yang seperti tenggelam. Menurut cerita masyarakat
setempat, jalan raya itu dulunya adalah jalan Poros Luwu Timur, hanya saja sungai
Karebbe sengaja dibendung untuk bangunan pembangkit listrik tenaga air
kebutuhan perusahaan hingga jalan tersebut tenggelam. Kemudian berkata supir
mobil angkutan umum yang membawa kami.

 “ Daerah Luwu Timur ini dulunya dingin
sekali, sekarang sudah tidak dingin lagi, karena pohon-pohon ditebang di ganti
dengan kelapa sawit .”

Waktu
menunjukkan pukul 17.30 petang, moment dimana untuk pertama kalinya saya menginjakkan
kaki di wilayah adat To Karunsi’e Dongi.

Wilayah
adat menurut bayangan saya adalah wilayah dimana pohon-pohon besar menjulang
tinggi, pemukiman mereka terisolasi dari dunia luar, rumah-rumah khas yang
mencerminkan karakter atau identitas masyarakat adat tersebut dengan sejumlah
aturan aturan atau ritual adat tertentu sebelum memasuki wilayah adat sangat
berbanding terbalik dengan apa yang saya lihat waktu itu.

Saya
langsung di suguhi lapangan golf, ada tempat perkemahan yang disebut BUMI
PERKEMAHAN, dan rumah-rumah penduduk yang jauh dari kata sederhana membuat saya
harus membelalakkan mata, rumah yang seperti dibangun dengan seadanya. baru
kemudian rombongan kami disambut di sebuah rumah yang jauh dari kata LAYAK HUNI, hanya berjarak kurang lebih
100 meter dari lapangan golf yang dibangun perusahaan.

Kata
Kak Mery seorang perempuan adat dongi, ”Itu
lapangan golf dibangun untuk manjakan karyawan-karyawannya INCO. Sebentar kalo
dorang main golf, bolanya biasa kena atap rumahnya oma, karena rumahnya oma
paling dekat dari lapangan”.

Rumah
ini jauh dari kehidupan yang layak. Rumah sederhana ini adalah rumah seorang
ibu bernama Werima Masi Mananta. Beliau
adalah ketua adat Masyarakat adat To Karunsi’e Dongi. (Bersambung)

(Foto/Ilustrasi: Pixabay.com)

*
Ikha Kanna, perempuan yang sehari hari aktif di Aliansi Masyarakat Adat Wilayah
Tana Luwu ( AMAN Tana Luwu), Sulawesi Selatan.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!