6 Alasan Mengapa Menolak Pidana Mati dan Kebiri?

Luviana- www.konde.co

Jakarta, Konde.co – Rabu, 12 Oktober 2016 lalu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang/ Perppu No.1/2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dilakukan melalui melalui voting rapat paripurna anggota DPR.

Komnas Perempuan menolak dimasukkannya konten tentang pidana mati dan pidana kebiri sebagai bentuk hukuman bagi pelaku kekerasan seksual dalam Perppu tersebut. Apa saja alasannya sehingga harus menolak konten kebiri dalam Perppu tersebut?

6 Alasan Menolak Pidana Mati dan Kebiri:

1.    Pidana mati dan pidana kebiri belum terbukti mampu mencegah terjadinya tindak kekerasan seksual, bahkan sejumlah negara di Eropa yang pernah menerapkan bentuk hukuman ini, kini tidak lagi memberlakukan (misalnya dalam hal ini Inggris, Jerman dan Denmark).

Dalam konteks Indonesia, pemberlakuan kedua bentuk pidana ini dikhawatirkan akan membuat pelaku kekerasan seksual menggunakan berbagaicara agar terhindar dari proses hukum,termasuk menyuburkan praktik jual beli hukuman, dan semakin menjauhkan korban dari akses keadilan dan pemulihan

2.    Pelaksanaan pidana mati dan pidana kebiri membutuhkan biaya yang cukup mahal. Untuk 1 kali kebiri kimiawi (penyuntikan hormon) membutuhkan biaya sekitar Rp 700.000,00 (tujuh ratus ribu rupiah), dengan masa efektif suntikan hanya selama 3 bulan. Jika kepada setiap terpidana akan dilakukan beberapa kali suntikan obat/hormon, misalnya dalam hal ini hingga 8 kali, maka negara harus menyediakan anggaran sejumlah Rp 5,6 juta untuk 1 orang terpidana kebiri.

Sementara hingga saat ini kita masih menghadapi kesulitan karena ketiadaan anggaran visum etre partum bagi korban kekerasan seksual pada instansi terkait. Selama ini pembiayaan visum di sebagian besar daerah di Indonesia, masih dibebankan kepada korban. Setiap korban membutuhkan sekitar Rp. 80 ribu – 500 ribu untuk biaya visum. Jika visum tersebut melibatkan dokter spesialis, maka akan membutuhkan sekitar Rp. 500 ribu–1 juta. Seharusnya biaya kebiri dapat dialihkan menjadi biaya visum, sebagai wujud perlindungan negara terhadap korban kekerasan seksual. Visum dibutuhkan korban agar perkaranya dapat berlanjut ke pengadilan

3.    Pidana kebiri jika tetap dipaksakan untuk diterapkan, maka terancam tidak dapat dilaksanakan karena, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang diharapkan akan melaksanakan pengebirian telah menyatakan menolak dilibatkan dalam pelaksanaan eksekusi pidana Penolakan tersebut karena pertimbangan melanggar Sumpah Dokter dan Kode Etik Kedokteran Indonesia, dan tindakan tersebut dipandang bertentangan dengan perikemanusiaan

4.    Pidana mati dan pidana kebiri merupakan pelanggaran atas hak hidup dan merupakan tindakan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Karenanya, kedua bentuk pidana ini dianggap melanggar hukum hak asasi manusia internasional.

Pidana mati mencabut hak hidup seseorang yang merupaka hak konstitusional yang telah dijamin pemenuhannya tanpa pembatasan apapun oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pidana kebiri dapat menyebabkan disfungsi seksual dan osteoporosis bagi terpidana.

Indonesia telah meratifikasi Konvenan Internasional tentang Hak Sipil Politik melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, dan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat(Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment),melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998. Sebagai negara yang sudah meratifikasi, Indonesia wajib tunduk kepada kedua instrument hak asasi manusia Penerapan pidana mati dan pidana kebiri bagi pelaku kekerasan seksual, merupakan tindakan yang tidak proporsional untuk kejahatannya sendiri dan langkah mundur Pemerintah Indonesia dalam penegakan hak asasi manusia;

5.    Aturan hukum yang telah ada bagi pelaku kekerasan seksual sejauh ini belum diterapkan secara maksimal. Masih ada sejumlah hambatan yang dialami korban dalam mengakses keadilan, terutama berkaitan dengan perspektif aparat penegak hukum yang masih bias gender dalam menangani kasus kekerasan seksual serta mekanisme pembuktian yang masih menyulitkan korban.

Kondisi ini berkelit kelindan dengan praktek mafia hukum yang menguatkan impunitas pelaku kekerasan seksual. Regulasi yang dibutuhkan saat ini adalah yang mampu menjawab persoalan tersebut, bukan menambah bentuk pidana baru;

6.    Penanganan yang luar biasa terhadap kejahatan yang luar biasa (misalnya dalam hal ini perkosaan), bisa dilakukan segera dengan mengoptimalkan penerapanhukum yang sudah ada (termasuk pidana seumur hidup) kepada pelaku, dan pada saat yang bersamaan memastikan seluruh kebijakan yang telah ada untuk pemulihan korban dapat berjalan secara cepat, tepat dan mudah diakses oleh korban kekerasan seksual maupun keluarganya, termasuk dalam hal ini menghilangkan hambatan-hambatan yang selama ini dialami korban dalam mengakses keadilan dan pemulihan.

Rekomendasi Komnas Perempuan

Berdasarkan pertimbangan tersebut, Ketua Komnas Perempuan, Azriana dalam pernyataan sikapnya meminta Sidang Paripurna DPR RI hari ini dapat memutuskan untuk Mencabut Perppu Nomor 1 Tahun 2016.

Selanjutnya memerintahkan Pemerintah untuk menyusun Undang-Undang pencabutan Perppu Nomor 1 Tahun 2016. Dan segera membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual melalui Pansus yang melibatkan Komisi III DPR RI, Komisi VIII DPR RI dan Komisi IX DPR RI, sebagai payung hukum yang dapat melindungi masyarakat dari kekerasan seksual, terutama perempuan dan anak, secara komprehensif dan berkeadilan.

(Sumber: pernyataan pers Komnas Perempuan atas alasan menolak Perppu Kebiri dan Hukuman mati)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!