Cukup Sudah, Hentikan Praktik Perkawinan Anak di Indonesia

Estu Fanani,www.konde.co 

Jakarta, Konde.co-  Salah satu
bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah perkawinan anak. Tingginya
angka perkawinan anak dan dampak yang menyertainya menjadi kepedulian dari
banyak pihak sejak lama.

Berdasarkan
data dari World Fertility Policies UN, pada tahun 2011, Indonesia saat ini
berada di urutan 37 dari 73 negara pada kasus kawin pertama dalam usia muda,
dan menempati peringkat tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja. Data ini
menunjukkan bahwa rentannya kehidupan perempuan saat ni karena kekerasan itu bisa
terjadi di mana saja dan siapapun bisa menjadi korban atau pelaku.

Kepercayaan
dan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat serta ekonomi menjadi beberapa
alasan yang mendasari perkawinan anak masih terjadi. Selain itu, peraturan atau
hukum nasional di Indonesia masih belum harmonis, artinya, peraturan yang satu
belum sesuai dengan peraturan lainnya. Salah satunya terkait umur minimum kawin
bagi perempuan, di Pasal 7 UU No.1/1974 bahwa batas minimum usia kawin bagi
perempuan adalah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. 

Padahal di UU No.35/2014
Pasal 1 menyebutkan bahwa anak adalah setia orang yang berusia di bawah 18
tahun dan di Pasal 26 menyebutkan bahwa orang tua wajib mencegah terjadinya
perkawinan di usia anak. Hal ini disampaikan oleh para narasumber dalam Dialog
Publik Penghapusan Praktik Perkawinan Anak di Indonesia sekaligus launching
duta stop perkawinan anak Melati Putri dan pengumuman pemenang poster yang
dilaksanakan oleh Kalyanamitra di Jakarta (28/11).

Dari Penyadaran Masyarakat Hingga Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi

Upaya
masyarakat sipil dalam rangka menghapuskan perkawinan anak sudah dilakukan
sejak tahun 1980an, namun penurunan angka perkawinan anak belum terjadi secara
signifikan. Kajian hukum peraturan perundang-undangan yang berlaku termasuk
usulan perubahan UU No.1/1974 tentang Perkawinan, penyadaran masyarakat akan
dampak perkawinan di usia anak pada kesehatan reproduksi seksual dan termasuk
pada perkembangan jiwa anak terus dilakukan.

Zumrotin,
ketua Yayasan Kesehatan Perempuan menyampaikan bahwa respon dari pemerintah
sangat lamban terhadap usulan perubahan UU Perkawinan, termasuk ketika
dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Kementerian Agama yang
menjadi leading sector bagi UU Perkawinan tidak meresponnya. Dalam hal ini,
sangat dibutuhkan kemauan politik (political will) dari Pemerintah dan DPR
untuk mengubah UU Perkawinan.

Namun
inisiatif daerah mulai bermunculan untuk mencegah perkawinan anak diwilayahnya,
seperti yang terjadi di Bondowoso, Gunungkidul, Situbondo. Zumrotin menambahkan
bahwa apa yang muncul di kabupaten/kota adalah karena niat baik dan keberanian
dari pimpinan kabupaten/kota karena melihat kondisi riil di masyarakatnya.
Sehingga, kemudian lahirlah peraturan daerah, peraturan gubernur hingga peraturan
desa guna mencegah perkawinan anak.

Keterbukaan Sekolah terhadap Pendidikan Seksual dan Kesehatan Reproduksi

Anak
mempunyai beberapa lingkungan yang mempengaruhi secara positif maupun negatif,
yakni keluarga, masyarakat dan sekolah. Terkait dengan penghapusan perkawinan
anak, sekolah menjadi salah satu pihak yang penting untuk dirangkul dan
dilibatkan.

Apa yang
dilakukan oleh SMP 139 Jakarta Timur bisa menjadi contoh bagi sekolah lain.
Dengan membuka diri pada perlunya pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi
bagi murid atau anak didiknya, SMP 139 
ini berhasil mengubah perilaku anak muridnya yang sedang dalam masa
perkembangan psikologis dan seksual yang diwujudkan dengan rasa ingin tahu yang
besar terhadap banyak hal terutama seksual. Pihak sekolah kemudian memasukkan
materi pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi ke dalam mata pelajaran
Narkoba dan Pergaulan Bebas.

Wulan, guru
BK SMP 139 menjelaskan bahwa pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi ini
penting diberikan sebelum SMP. Jika materi tersebut diberikan di SMP, agak
terlambat karena anak SMP biasanya sudah sangat besar rasa ingin tahunya dan
jika terjadi sesuatu dalam pergaulan mereka akan berdampak jangka panjang.
Awalnya materi pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi di SMP 139 diberikan
di kelas 8, namun kemudian berubah dan diberikan di kelas 7. Semakin muda usia
anak diperikan pemahaman tentang seksual dan kesehatan reproduksi, maka dia
akan semakin hati-hati karena mengetahui akan ada resiko yang diterimanya jika
melakukan pergaulan bebas.

Keberanian Eva dan Anak Perempuan Lain dalam Menolak Perkawinan Anak

Banyak
sudah  anak-anak yang terenggut masa
bermain dan belajarnya karena perkawinan. Perkawinan anak ini berbanding lurus
dengan angka kematian ibu dan juga gizi buruk. Berdasarkan Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, angka kematian ibu di Indonesia sebesar
359 per 100.000 kelahiran hidup, di mana 82 persennya terjadi pada persalinan
ibu berusia muda yakni 14-20 tahun.

Perkawinan
anak juga mempengaruhi kesempatan menikmati pendidikan semakin kecil. Berdasar
data penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia di
tahun 2015, Indonesia peringkat kedua teratas di Asia Tenggara. Sekitar 2 juta
dari 7,3 juta perempuan Indonesia berusia di bawah 15 tahun sudah menikah dan
putus sekolah. Dan diperkirakan naik menjadi 3 juta orang pada 2030.

Dari data
tersebut di atas, perkawinan anak merupakan persoalan lintas sektor dan perlu
penanganan bersama secara komprehensif melibatkan semua pihak termasuk anak dan
keluarga.

Hal tersebut terangkum dalam Dialog
Publik yang diadakan Kalyanamitra pada Senin, 28 November 2016 lalu. Salah satu narasumber yakni Antarini Pratiwi menceritakan
kisah seorang anak perempuan bernama Eva yang berasal dari salah satu dusun di
Situbondo. Di dusun tersebut, dari sekian jumlah anak perempuan, hanya Eva
seorang yang melanjutkan sekolahnya ke SMP. Sedangkan teman-temannya tidak
melanjutkan sekolah karena alasan ekonomi atau karena kemudian dinikahkan oleh
orang tuanya. Eva mempunyai kemauan yang kuat untuk bisa menempuh pendidikan
dan menularkan pengetahuan yang didapatnya di SMP kepada teman-temannya. 

Dari
sekitar 15 anak yang belajar bersama dengan Eva, kemudian jauh berkurang
menjadi hanya tinggal 7 orang karena alasan mengurus anak, bekerja di rumah dan
lain sebagainya. Mengapa Eva bisa meneruskan sekolahnya? Karena orang tua Eva
menginginkan anaknya bisa sekolah dan tidak mengulangi kesalahan atau bernasib
sama dengan orang tuanya. Dan Eva sendiri berkeinginan untuk maju dan mempunyai
pengetahuan, sehingga ia bisa mandiri dan maju dengan pengetahuan dan kemampuan
yang ia miliki tersebut.

Anak Sebagai Aktor Perubahan



Nayla,
seorang siswi SMP yang menjadi salah satu narasumber dalam dialog publik
tersebut mengungkapkan bahwa dukungan sekolah dan keluarga sangat dibutuhkan
oleh anak-anak dalam menghadapi perkawinan anak. Apalagi jika melihat dampak
yang luas dari perkawinan anak tersebut. Remaja sebaiknya bisa membedakan mana
yang baik dan buruk bagi dirinya. Remaja bisa membela haknya untuk bisa terus
bermimpi tanpa ketakutan menghadapi perkawinan anak, karena masa depan anak ada
di tangan anak, bukan yang lain.

Antarini
menambahkan bahwa ia berkeyakinan kalau anak dapat menjadi aktor untuk mengubah
hidupnya sendiri. Sehingga dalam upaya penghapusan perkawinan anak ini, perlu
pelibatan dan partisipasi aktif dari anak sesuai dengan kemampuannya. Dukungan
dari orang tua juga penting bagi penurunan angka perkawinan anak. Sehingga para
orang tua hendaknya berjuang bersama anak perempuannya untuk menolak perkawinan
anak.

(Seminar Penghapusan Perkawinan Anak di Indonesia yang diadakan Kalyanamitra pada Senin, 28 November 2016 di Jakarta/ Foto: Estu Fanani)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!