Komunikasi yang Efektif

Sica Harum – www.konde.co

Banyak masalah muncul hanya karena komunikasi yang enggak nyambung. Maksud kita begini. Maksud mereka begitu. Akibatnya, butuh lebih banyak waktu dan energi untuk kembali ke titik ‘netral’.

Setiap hari kita berkomunikasi. Tatap muka. Bicara via telpon. Kirim teks via messenger. Kirim jempol buat status Facebook. Atau sekadar menunjukkan mimik muka dan gestur tubuh lewat emoticon. Jika tersampaikan dengan baik, maka semua urusan lancar. Jika tidak, maka muncul hal-hal yang seharusnya bukan masalah.

Saya pernah lihat anak saya yang kala itu masih berumur 3 tahun, ia seperti sedang mengeksplorasi cara komunikasi dengan marah-marah. Ia sedang belajar mendapatkan apa yang dia mau dengan cara ‘marah’.  Tentu saja, ia tak selalu mendapatkan apa yang ia mau dengan marah-marah.

Dengan simbahnya, ia bisa dapat apa yang dia mau dengan cara semanipulatif itu. Tapi dengan saya, no way. I better to walk out. Kalau sudah begitu ia akan ‘ngedumel’ lalu jeda beberapa saat dan ia mengubah caranya meminta sesuatu. Kadang-kadang terkabulkan jika memang bisa dikabulkan. Kadang-kadang tidak, karena kondisinya memang tidak memungkinkan.

Ya, kita tahu. Kadang-kadang, kita tak mendapatkan sesuatu yang kita mau hanya karena caranya tak tepat.

Dalam sebuah obrolan dengan teman, kami membahas komunikasi dengan generasi yang lebih muda, terutama Gen Y a.k.a para millennial. Si teman, seorang aristotelian yang berlatarbelakang ilmu psikologi dan memposisikan diri sebagai ‘friend of millennial’ banyak memberi masukan tentang komunikasi. Terutama pilihan kata yang digunakan saat berbicara dengan mereka. Misalnya, ketimbang bicara “tugas”, gunakanlah “project”.

Buat saya, menarik sekali untuk mengeksplorasi cara komunikasi dengan millennials; yang banyak disebut sebagai generasi narsis tapi juga punya kemampuan kolaborasi yang super (The Me Me Me Generation -TIME).  Butuh ego yang mesti dikesampingkan untuk bisa mendengar ‘bagaimana gen Y ini berkomunikasi. Tapi untuk sebuah hasil yang lebih besar, semua upaya itu bakal terbayar.

That’s a power of listening. And it’s part of effective communication.

Tentu saja, tahu semua teori komunikasi tak selalu berarti bisa mengimplementasikannya ke dalam rutinitas kehidupan sehari-hari. Faktor lelah, kondisi yang tengah chaos, dan waktu terbatas, kadang-kadang membuat kita tak bisa berkomunikasi dengan efeisien. Kadang-kadang, sampai membuat kita tak mampu mengoptimalkan emoji pada messenger.

Apalagi sebagai perempuan, apa saja harus kita lakukan, kerjaan di rumah, diluar, di kantor, harus nengok saudara, menjemput anak tepat waktu, belanja. Bisa kita bayangkan. Akibatnya, maksud yang sesungguhnya jadi tak tersampaikan dan lawan bicara sudah kadung salah paham, sebab teks adalah teks. Sounds familiar, yes?

Saya punya contoh. Untuk kesekian kalinya, minggu ini, ada kesalahpahaman akibat perbincangan melalui messenger. Di satu sisi, enggak masalah. It’s a part of business process. Di sisi lain, saya semakin tertarik untuk memperbaiki cara berkomunikasi. Lha wong sudah hidup dari menulis, tapi kok ya masih salah sambung saja saat nulis teks via messenger. Sungguh aneh dan ironis.

Lesson learned:

  • Beri jeda sebelum merespons. Menurut seorang teman, ada CEO portal berita lumayan besar di Indonesia menetapkan SOP bagi dirinya sendiri. Yaitu merespons apapun (pertanyaan, komentar untuk dirinya via medium apapun) tidak lebih dari 3 jam. Respons yang cepat (dan tepat) memang bagian dari komunikasi yang efektif. Cepatnya sih bisa. Tapi untuk memberi respons tepat yang cepat, perlu latihan dan jam terbang.
  • Bapak Manajemen Peter F Drucker mengajari untuk belajar mendengarkan hal-hal yang tak terucap. It’s me actually. Suka mengobservasi dan menganalisis data. Tapi jeleknya buat saya, memiliki data yang kaya itu justru bikin jadi over criticize. Tambah parah jika dikomunikasikan dengan pilihan kata-kata yang gak enak banget. Jadi lebih baik diam.
  • Jangan bernafsu untuk menjadi orang yang menutup argumentasi. Hohoho. Berat kalau buat saya mah. Rasanya enggak puas kalo enggak jadi orang terakhir yang nutup perdebatan. Tapi ya emang, enggak penting banget. Haha. Jadilah saya belajar banget buat “ya udah lah ya’ dan membuang menyimpan semua bahan argumentasi itu. Bisa dipakai lagi kapan-kapan. #loh. #eh.
  • Jangan tergoda membuat ‘drama’. Detil bagi kita, bisa berarti berlebihan buat orang lain, terutama bagi mereka yang biasa berpikir dalam ruang lingkup ‘besar’.

Dan berkomunikasi dengan pasangan, itu penting, agar mereka tahu apa yang sudah kita kerjakan dan tentu membaginya. Jika semua harus kita yang mengerjakan, enggak ah, ini saatnya mengerjakan pekerjaan rumah yang dibagi-bagi.

Well, seperti halnya menulis, kemampuan berkomunikasi dengan baik juga bisa dipejari. It’s skill, not a gift. So I will learn.

(Foto: https://pixabay.com/en/woman-face-head-question-mark-1446557/)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!