Prioritaskan Pekerjaan, Untuk Hasil Yang Lebih Baik

Sica Harum- www.Konde.co

Saya bukan
orang yang disiplin. Cenderung berantakan. Slordeh. Dan tipikal pemuja
deadline. Kalau belum dekat deadline, rasanya otak belum bisa diajak kerja,
masih main-main mencari distraksi lainnya.

Saya juga
bukan orang yang persisten. Cita-cita banyak, tapi sering kandas karena kurang
tekun saat eksekusi. Banyak kesempatan yang saya buat. Sangat banyak. Buat
saya, lebih mudah menciptakan kesempatan ketimbang mewujudkannya dalam hasil
yang nyata.

Tapi, jika
kesempatan itu berhubungan dengan pihak lain, kita tidak bisa sekadar
melupakannya ketika eksekusi di lapangan mengalami kendala.

Somehow,
 I feel … lost.

Bingung
menentukan prioritas karena semua TERASA PENTING.

Meski jangan-jangan, ya enggak penting-penting amat.

Salah satu
kebiasaan buruk yang saya punya: overthinking, dan too much in to detil.  Oh,
satu lagi: susah bilang “No” karena enggak enakan. 

Now, I
should simplifies life.

Salah satu
review buku yang dibagi oleh pebisnis perempuan dan kolumnis Amerika, Arianna
Huffington melalui jejaring LinkedIn yang saya baca, berjudul  “Rest: Why You Get More Done When You Work Less”.  
Terbit Desember 2016 dan saat ini baru tersedia versi Hard Copy. Resensi itu
sendiri,  merupakan artikel  Arianna untuk New York Times.

Ada sejumlah
kutipan yang menarik di buku ini:

“Work and
rest aren’t opposites like black and white or good and evil,” Pang writes.
“They’re more like different points on life’s wave.”

Pertanyaannya,
bisakah semua pekerjaan yang segunung itu bisa diselesaikan jika kita
mengurangi waktu untuk mengerjakannya?

Tulisan
Arianna dan sejumlah buku lain yang saya baca bisa menjadi tips dalam kita bekerja:

Pareto
20:80 

Buat daftar
semua yang harus dikerjakan. Pilih mana yang mendatangkan hasil dan impact
paling banyak. Eliminasi yang tidak membawa banyak impact. Atau, jika
tidak bisa dibuang, delegasikan.

Konsep ini
juga bisa diterapkan juga untuk memilih mana barang yang tidak perlu lagi kita
simpan. Bahkan, mungkin, bisa diterapkan juga untuk bagaimana kita memutuskan
untuk membuang kenangan yang tak perlu. 

30 Menit: 30
Hari: 30 Minggu

Saya lupa
membaca konsep 30:30:30 ini di buku siapa. Yang jelas, saya ingat ini metode
untuk memutuskan apakah sesuatu layak dikerjakan atau bisa ditunda.  Untuk
setiap hal yang membutuhkan keputusan, pikirkan efek dan impactnya selama 30
menit ke depan, 30 hari ke depan, dan 30 minggu ke depan.

Ada yang
sifatnya sangat urgen, dan jika tidak dilakukan bisa merugikan dalam waktu 30
menit.

Dan
menariknya, saat menerapkan konsep ini, banyak hal yang kita kira penting
ternyata tidak segitu pentingnya.

Jadi, jika
kita punya sekitar 100 “things to do”, maka dengan menerapkan konsep Pareto,
kita bisa memilih 20 hal saja. Dari 20 itu, kita bisa menyusun skala prioritas
dengan konsep 30:30:30.

Kerangka
Waktu 

Tetapkan
waktu dan tenggat untuk menyelesaikan apa yang sudah menjadi komitmen prioritas
kita. Kadang-kadang, ada pekerjaan yang beres dalam waktu lima menit tapi bisa
tertunda sekian lama, hanya karena kita menunda…kemudian lupa.

Ada ide
tentang bekerja 4 hari dalam seminggu, masing-masing 10 jam kerja per hari
dengan jeda break 3 kali. Total waktu bekerja tetap 40 jam per minggu.
 Dan cara ini (dengan detail yang berbeda) sudah diterapkan di beberapa
perusahaan besar, seperti Google dan Amazon.

Ada banyak
faktor yang dibutuhkan agar cara itu berhasil. Tapi, jika kebanyakan cara dan
proses bisnis kita masih bersifat manual, rasanya membatasi waktu kerja menjadi
4 hari seminggu mungkin berdampak pada konsekuensi bisnis.

Saya sendiri
tertarik mencoba 4 hari kerja seminggu,  plus Friday Creative Session.
 Jadi, inginnya Jumat khusus untuk meet up, dan seharusnya bisa untuk
brainstorm ide baru, atau chit chat bahas analisis seminggu.

Mengurangi
Distraksi 

Teknologi
seharusnya mempersingkat waktu kerja kita. Namun yang lebih sering terjadi,
teknologi membawa distraksi yang tak berkesudahan.  Tak ada cara lain,
selain disiplin menjauhkan diri dari ponsel, dan internet, saat harus bekerja.

Apalagi,
kalau kita menjalankan prosesnya dengan betul, maka email-email yang sifatnya
insidensial semestinya tidak akan terjadi.  Tidak perlu ada krisis yang
harus diselesaikan segera.

Cara
Scrum 

Scrum
umumnya diterapkan untuk pembuatan software. Kerjakan satu per satu. Jika ada
lima project, maka bereskan satu per satu, bukan kelimanya dalam satu waktu.

Apakah bisa
diterapkan untuk sebuah proyek kerja jasa? Well, agak chalenging, tapi
layak dicoba. Sebab biasanya, kita enggak bisa dengan mudah mengatur waktu
klien untuk kick off program. Bisa saja semua menumpuk di satu waktu dan
deadline berdekatan.

Ciri khas
Scrum ialah cara kerja per tahapan kecil, dan bersifat iteratif. Scrum juga
menerapkan tiga hal dalam monitoring: transparan, inspeksi, adaptasi.

Di pabrik
Toyota, setiap orang punya hak untuk menghentikan mesin kapan saja ketika
melihat ada yang tidak beres. Lalu ada perbaikan saat itu juga, dan mesin
kembali berjalan.

Dari sisi
tim,  metode Scrum membutuhkan tiga pihak. Yaitu product owner,
development team, dan scrum master. Product Owner mendesain. Development Team
yang membuat. Keduanya bertanggungjawab pada hasil/produk. Sedangkan Scrum
Master bertanggungjawab atas proses. Ia yang memastikan proses berjalan sesuai
tahapan, dan membantu agar tim bekerja efisien dan agile.

Lebih
lengkapnya, suatu saat saya akan posting tentang bagaimana kami melakukan cara
ini ke sebuah project.

So, apakah
semua yang ditulis di atas bisa diterapkan untuk bekerja lebih singkat namun
memberi hasil lebih banyak? 

Silakan
dicoba. 

(Foto: Ariannahuffington.com dan wikipedia.com)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!