Film KARTINI, Menolak Penundukan

Kartini (1879-1904) adalah perempuan, yang dengan berbagai cara kemudian melakukan perlawanan. Ia mencintai tradisi, namun ia juga melawan tradisi, ketika tradisi itu tak berpihak pada perempuan dan masyarakat kecil di lingkungan istana tempatnya tinggal, Jepara, Jawa Tengah. Dalam Edisi Khusus Kartini di bulan April 2017, Konde.co akan menuliskan Edisi Kartini selama sepekan, yaitu dari tanggal 16-22 April 2017. Sejumlah pemikiran akan kami letakkan dalam bingkai Kartini selama sepekan ini. Selamat membaca.

Melly Setyawati – www.konde.co

“Sanggup tho?”(bagaimana kamu
sanggup kah?)

Demikian pertanyaan Sosrodiningrat kepada Kartini dalamscene pembuka
film. Suasana percakapan itu sudah mengajak penonton untuk turut merasakan
kesedihan yang dirasakan oleh Kartini. Agar Kartini mau menerima pinangan
Jayadiningrat, seorang Bupati Rembang yang telah beristri. Dengan raut wajah
pilu Kartini pun mengatakan “sanggup”.

Panggil Aku Trinil

Trinil
adalah panggilan akrab Kartini. Bapaknya, Sosrodiningrat,  yang senang memanggilnya Trinil yakni seekor
burung mungil yang lincah.

Sosok
tentang Kartini telah muncul dalam film yang berjudul Kartini, sejak kemarin,
19 April. Penonton diajak dalam suasana Jepara pada abad ke 19. Peran Kartini dimainkan
oleh Dian Sastrowardoyo, seorang aktris papan atas yang juga mengagumi sosok
Kartini. Berkali – kali Dian Sastrowardoyo mengatakan pemikiran Kartini itu
luar biasa sebelum pemikiran feminis mendunia dan sudah menjadi keinginannya
untuk memerankan sosok beliau.

Sebelum
saya menyaksikan film Kartini, saya  masih menganggapnya seorang pahlawan nasional
perempuan yang terkenal dengan pemikiran emansipasi perempuan. Kebetulan beliau
tumbuh dalam lingkungan keluarga bangsawan sehingga cukup mudah baginya mengenyam
pendidikan bernuansa eropa. Iya hanya itu.

Buku
sejarah tidak pernah mengupas detail pergolakan batin Kartini sebagai manusia
biasa, perempuan bangsawan jawa dengan pemikiran berbeda dan harus berhadapan
lapisan – lapisan kultur yang membelenggu. Apalagi Kartini bukan perempuan jawa
bangsawan biasa. Beliau mempunyai pikiran yang berbeda tentang dirinya,
perempuan dan orang miskin. Tantangan
yang paling berat saat itu justru datang dari kalangannya sendiri, kelas
bangsawan.

Ini
ditunjukkan oleh Slamet, kakak tertua Kartini, yang melarang Kartini pergi
bersama Kardinah dan Roekmini ke rumah sobat Belandanya.

Bahkan
tekanan keluarga dari adik dan kakak Sosrodiningrat juga luar biasa, mereka
menganggap Kartini perusak tatanan yang bisa menyebabkan orang – orang miskin
merebut kekuasaan dan perempuan yang sekolah tinggi bisa menjadi bupati.

Peran Dua Orang
Laki – Laki Paling Berpengaruh

Dalam
konsep transformasi gender, memang membutuhkan peran laki – laki dalam upaya
perubahan untuk mencapai keadilan gender. Sebelum konsep ini ada, sosok laki –
laki peduli telah ada dalam kehidupan Kartini yakni Sosrodiningrat dan
Sosrokartono.

Sosrodiningrat
memiliki pengalaman pahit di dalam keluarganya, yang telah mendesak dirinya
untuk menikah lagi. Saat itu Sosrodiningrat telah memperistri Ngasirah, ibunya
Kartini, tetapi  bukan keturunan
bangsawan padahal Sosrodiningrat mencintai Ngasirah. Agar Sosrodiningrat bisa
menjadi Bupati Jepara maka dirinya harus menikahi seorang puteri bangsawan Raja
Madura bernama RA Woerjan. Demikian aturan pemerintah kolonial yang
mengharuskan bupati beristrikan bangsawan.

Kartini-pun
mengijinkan Sosrodiningrat untuk menggunakan tulisan Kartini sebagai tulisannya
agar termuat dalam surat kabar buatan Belanda .Sebab pihak kolonial Belanda
menginginkan hal itu. Bagi Kartini yang terpenting adalah tersebarluaskan
pikiran – pikirannya.

Dawuh (perintah) Kartini adalah Dawuh saya” ucap Sosrodiningrat di depan
warga desa Wukirsari. Yang awalnya enggan menuruti permintaan Kartini untuk
memahat wayang di kayu. Kartini berpikiran kalau desain ukiran Kardinah itu
bisa membantu meningkatkan pendapatan pengrajin ukiran di desa Wukirsari.
Inipun terbukti bangsa eropa yang mulai menyukainya, perlahan warga desapun
mulai beranjak sejahtera.

Sesekali
Sosrodiningrat masih mengajak Kartini, Kardinah dan Rukmini keluar pendopo
untuk bertemu dengan kolega Belanda dan warga desa. “iya masih pingitan tapi
saya kasih kelonggaran” kata Sosrodiningrat

Kartini dan Sosrokartono

Namun
sebenarnya sosok laki – laki yang paling berpengaruh adalah Sosrokartono.

Dia
memberikan kunci lemari yang berisi buku – buku terbitan Belanda, “ini kunci
yang akan membuatmu keluar dari pingitan”.
Kartini riang sekali, dia bisa membaca novel fiksi Hilda Van Suylenburg karya dari Cecile De Jong, sebuah cerita
tentang perempuan yang menjadi pengacaranya perempuan miskin dalam persidangan.

Sosrokartono
sangat mendukung Kartini dengan buku – buku dan petuah – petuahnya “meskipun
tubuhmu berkalang tanah tetapi pikiran masih tetap ada”. Petuah itu yang
mendorong Kartini terus membaca dalam masa pingitannya.

Kartini Menolak Tunduk

Kartini
mengalami banyak kekerasan bahkan berlapis – lapis. Ini yang membuat saya tidak
berhenti menangis selama  durasi dua jam
karena ikut merasakan tekanan – tekanan batin Kartini.

Adalah
keberhasilan Hanung Bramantyo, sang sutradara, yang bisa merangkai pergolakan
batin Kartini menjadi visual bermakna. Iya, visual yang menunjukkan kesedihan
Kartini saat menyaksikan Kardinah harus menikah dengan laki – laki beristri,
dengan Bupati Tegal,

Kartini
tetap gelisah sebab dia masih memegang teguh petuah Sosrokartono “kamu harus
berbagi karena perubahan tidak
bisa berjalan sendirian”. Dia mendirikan sekolah perempuan untuk membaca huruf londo karena menurutnya ilmu bisa
mengubah keadaan.

Dia membuka
jaringan korespondensi, yang menghantarkan dia bertemu imajiner dengan StellaZeehandelar.
Pemikiran Kartini pun semakin berkembang dan luas.

“Saya mendapatkan kebebasan” jawaban Kartini ketika Ngasirah
bertanya apa yang didapatkan oleh Kartini belajar huruf londo. Saya memaknainya kebebasan yang dimaksud oleh Kartini adalah
kebebasan berpikir.

Latri sedang membasuh kaki suaminya

Kartini pun menginisiasi adanya perjanjian pra nikah dengan syarat – syarat untuk menentang
penundukan sebagai istri. Sebab Bupati Rembang, yang bernama Jayadiningrat,
telah beristri

Syarat – syarat tersebut yakni (1)Kartini tidak mau mencuci kaki suami
pada saat proses di pelaminan; (2) Kartini tidak mau dibebankan dengan aturan tata krama, (3) Kartini ingin suami juga
ikut membantu mendirikan sekolah buat perempuan dan orang miskin; dan (4) Kartini
menginginkan Yu Ngasirah mendapatkan
tempat tinggal yang layak di depan dan berubah panggilan Yu menjadi Mas Ajeng (ibu).

Mata saya
masih sembab saat film sudah berakhir sebab saya masih khawatir masa pingitan Kartini akan berlaku lagi
dengan istilah harem.



(Sumber foto: Film KARTINI)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!