Perempuan-Perempuan yang Terjerat Kasus Internet

Luviana- www.Konde.co

Perempuan kerap kali terjerat pasal-pasal represif UU ITE Nomor 11/2008 dan kriminalisasi terhadap para perempuan ini seringkali merugikan kebebasan ekspresi perempuan.

Dari survei tahun 2016 yang dirilis oleh Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah pengguna Internet di Indonesia tahun 2016 mencapai 132,7 juta pengguna, dimana 47,5% atau sebanyak 63 juta lebih pengguna adalah para perempuan.

Survei tersebut juga menyebutkan  bahwa Ibu rumah tangga adalah pengguna kedua terbesar di Indonesia yakni sebanyak 22 juta pengguna. Hal tersebut menandakan kehadiran perempuan dalam internet di Indonesia cukup signifikan dan karenanya memiliki kerentanan untuk dijerat dengan pasal-pasal represif dalam UU ITE.


Perempuan, Internet dan Kasus Hukum

Dalam catatan SAFEnet sejak 2008 sampai Mei 2017 tercatat paling tidak ada 37 pengaduan (19,37% dari total 191 pengaduan) yang menyeret perempuan ke ranah hukum dengan pasal-pasal represif di dalam UU ITE.  Damar Juniarto, Regional Coordinator SAFEnet menyatakan bahwa kasus-kasus yang menerpa perempuan ini kebanyakan melukai asas keadilan.

“Kasus terakhir yang cukup menyentak kita adalah kasus Ibu Yusniar, seorang ibu rumah tangga biasa yang diseret ke pengadilan oleh anggota DPRD Jeneponto Sudirman Sijaya dengan pasal pencemaran nama. Sekalipun tidak ada namanya disebut dalam postingan yang dibuat ibu Yusniar dan ibu Yusniar akhirnya menang di pengadilan PN Makassar, ia sempat ditahan selama 30 hari untuk ekspresi kekesalannya atas tindakan perusakan rumah orang tuanya di media sosial. Tekanan psikologis selama di penjara dan stigma sosial yang melekat pada ibu Yusniar sebagai orang yang pernah dipenjara merupakan beban tersendiri yang harus ditanggungnya,” ujar Damar Juniarto.

Ibu Yusniar jelas bukan yang pertama, karena sebelumnya ada kasus Prita Mulyasari, Ira Simatupang, Ervani Emy Handayani, ibu Wisni Yetti dan lainnya. Mereka semua merasakan betapa hukum dan keadilan begitu tidak berpihak pada perempuan, apalagi yang melaporkan mereka adalah orang-orang yang berkuasa.

kasus yang menimpa Ervani Emi Handayani,ibu rumah tangga asal Dusun
Gedongan, Desa Bangunjiwo, Kecataman Kasihan, Bantul, yang ditahan
karena komentarnya di Facebook. Ia kemudian dilaporkan oleh salah satu
pegawai di perusahaan yang telah memecat suaminya.

Lalu kasus yang menimpa Imeda Syahrul Wahab yang membuat meme tentang
polisi di Ponorogo, kasus Faike seorang perawat di Jember, juga kasus
yang menimpa Mantan dokter RSUD Tangerang, Dokter Ira Simatupang.

Ibu Nuril, Korban Pelecehan Seksual

Kasus yang dialami Ibu Yusniar juga bukan yang terakhir karena baru-baru ini di Mataram, Nusa Tenggara Barat terjadi pengadilan atas ibu Nuril, mantan pegawai honorer bagian Tata Usaha yang diseret ke pengadilan dengan sangkaan pasal 27 ayat 1 UU ITE atau menyebarkan materi asusila oleh H Muslim mantan atasannya di SMAN 7 Mataram.

Rudy Lombok dari SAFEnet Lombok menyatakan, jika merujuk pada kronologi yang disampaikan ibu Nuril, materi asusila tersebut adalah rekaman perkataan H Muslim atas perbuatan asusilanya sendiri dengan perempuan selain istrinya yang disampaikan ke Ibu Nuril dan rekaman tersebut bukan disebarkan oleh Ibu Nuril melainkan disalin oleh orang lain yang meminjam HP miliknya.

“Karena rekaman tersebut kemudian beredar luas, H Muslim kemudian dimutasi dari jabatannya sebagai kepala sekolah SMAN 7 Mataram. Karena dendam dimutasi itulah, H Muslim berupaya mengkriminalisasi Ibu Nuril dengan memakai pasal 27 ayat 1 di dalam UU ITE,” ujar Rudy Lombok.

Atas proses kriminalisasi tersebut Ibu Nuril kini sedang menghadapi persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Mataram dan sejak 24 Maret 2017 ia sudah mendekam di tahanan sampai sekarang. Hal itu terjadi karena ancaman hukuman terhadap dirinya adalah 6 tahun penjara dan denda maksimal Rp 1 milyar apabila terbukti bersalah. Tekanan psikologis sudah dirasakan oleh Ibu Nuril selama hampir 2 bulan di penjara.

Selain itu, dampak negatif dari penahanan Ibu Nuril adalah kesulitan keluarganya yakni suami dan 3 anaknya yang kini dilanda kesulitan keuangan karena suaminya yang tadinya bisa bekerja di Pulau Gili Air, terpaksa harus meninggalkan pekerjaannya untuk mengurus ketiga anaknya yang masih kecil-kecil di Mataram dan sampai sekarang masih kesulitan menemukan pekerjaan baru.

SAFEnet juga mencatat belakangan ini jumlah pengaduan dengan UU ITE di Provinsi Nusa Tenggara Barat melonjak sangat tinggi dan kebanyakan tidak memenuhi unsur pemidanaan sebagaimana yang diatur dalam penjelasan UU ITE. Menurut pemberitaan di media https://kicknews.today/2017/01/16/23803/ pada tahun 2016 di Polda NTB tercatat ada 86 kasus yang terjadi. Itu menandakan Provinsi Nusa Tenggara Barat merupakan juara kasus pelanggaran ITE se-Indonesia.

Kasus Kriminalisasi Perempuan

Oleh karena itu, SAFEnet dan Paguyuban Korban UU ITE mengecam keras kriminalisasi dan ketidakadilan yang terjadi atas ibu Nuril dan kami mendesak kepada pengadilan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat untuk mengabulkan penangguhan tahanan kepada Ibu Nuril atas dasar kemanusiaan dan jaminan akan mematuhi hukum, mengadili dengan bijak dan memberikan kebebasan bagi Ibu Nuril yang jelas-jelas merupakan korban dan bukan merupakan pelaku kejahatan dalam kasus yang dihadapinya.

Selain itu Ervani Emy Handayani dari Paguyuban Korban UU ITE atau PAKU ITE,  juga meminta Komnas Perempuan dan jaringan aktivis perempuan untuk memberikan perhatian dan advokasi pada kasus ibu Nuril ini yang di dalamnya nyata jelas terjadi kekerasan berbasis gender (gender-based violence) berupa pemaksaan kehendak atasn ke bawahan, pengkriminalisasian atas diri Ibu Nuril.

“Selanjutnya mendesak Gubernur dan DPRD Provinsi Nusa Tenggara Barat untuk mengawasi secara ketat aparat penegak hukum dalam menerapkan pasal-pasal UU ITE yang kerap kali mengesampingkan asas keadilan dan aturan hukum yang berlaku,” ujar Ervani Emy Handayani.

Dan Menkominfo dan Komisi I DPR RI untuk sekali lagi merevisi UU ITE dan mencabut pasal-pasal karet yang meresahkan dan telah begitu sering dipelintir oleh banyak pihak untuk kepentingan yang melanggar hukum daripada memenuhi asas keadilan yang bisa melindungi pengguna internet di Indonesia.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!