Sica Harum –www.Konde.co
Berapa kali dalam
sebulan, kita boleh menikmati pagi yang melankoli?
Pagi selalu
diartikan ibuku sebagai saat terbaik untuk produktif. Bangun pagi. Cepat berdoa.
Cepat mandi pagi. Beberes kamar. Karena jika tak bergegas di pagi hari, maka
seharian nanti kau tak akan produktif.Tapi saat kamar
ibuku tak lagi di sebelah kamarku, dan jarak tempat tinggal kami melebar 600
kilometer, konsep pagi yang produktif itu tak selalu aku jalani.
Ada pagi yang
kubiarkan berjalan tanpa berdoa, tanpa beberes kamar dan bersegera mandi. Dan
aku baik-baik saja sampai hari berganti. Tapi ada juga pagi yang kubiarkan
berjalan tanpa aktivitas produktif, dan kemudian hari itu memang benar-benar
menjadi sebuah mimpi buruk yang berlanjut seminggu.
Namun,
bagaimanapun juga, dalam sebulan, aku harus membuat kuota yang pas untuk pagi
tak produktif. Pagi tak produktif berarti bangun perlahan, lalu menyeduh kopi
dan melamun memandangi uap yang wangi.
Pagi yang
melankoli.
Seperti rasa yang
kau dapat pada lagu-lagu Adele saat ia patah hati. Mungkin pagi yang terlihat
tak bahagia. Mungkin pagi yang aku ijinkan menjadi pagi yang sedih dan murung,
sambil memikirkan hal-hal yang tak genap kucapai.
Sebab
kadang-kadang, pada pagi yang tak produktif itu, aku merasa menjadi manusia.
Yang boleh terpuruk dan kecewa, yang tak percaya pada hasil instan suntikan
para motivator kelas dunia.
Dan dengan
mendalami keterpurukan dan kekecewaan, aku bisa tak lantas menyamaratakan semua
orang dengan penderitaan mereka masing-masing. Aku jadi bisa lebih memahami
orang lain.
Besok, tiba
waktunya pagi yang melankoli. Aku sudah punya rencana. Besok pagi, aku
cuma ingin membaca lagi surat-suratmu, ketika kau terbangun dari stroke sebelum
kemudian kehidupan itu direnggut kembali darimu. Sulitnya merasakan akan
kehilangan seseorang. Harus merawatnya hari demi hari sampai kehilangan itu
datang sendiri.
Lalu mungkin
menonton Awakenings, dan tersedu saat Lowe Leonard terbangun dari kondisi
membatu pasca radang otak dan memeluk ibunya. Lalu, saat hari beranjak siang,
aku hanya akan membuka jendela kamar lebar-lebar dan memandangi bunga matahari
yang selalu dibanggakan induk semang.
Bolehkah aku
tetap merasakan semangatmu?
Itu rencanaku
untuk sebuah pagi yang melankoli.