Berhenti Mengatai Perempuan Sebagai Penakut

*Trias Yuliana Dewi- www.Konde.co

Orang harus mulai berhenti berkata:

“Pengecut lu! Pake rok sana!”

“Ah cemen, kayak perempuan. Pake lipstik aja gih”

“Masa gitu aja gak berani? Lu cowok apa bukan sih?”

Permasalahannya bukan mengenai rok atau lipstik. Tapi benda-benda itu disebutkan karena berasosiasi dengan perempuan.

Laki-laki yang tidak cukup berani masuk rumah hantu, atau melakukan panjat tebing, atau tidak main bola; dipanggil sebagai: perempuan. Seolah-olah tidak ada satupun perempuan yang berani masuk dengan tertawa-tawa ke rumah hantu. Atau memanjat tebing atau menendang bola dengan profesional.

Parahnya, ucapan-ucapan yang mengejek laki-laki yang dianggap pengecut dan bukan pemberani, tidak memenuhi harapan publik terhadap ukuran lelaki sejati seharusnya; sering pula diucapkan keras-keras.

Ada juga laki-laki menangis. Dikatai.

“Ha ha ha ha he crying like a little girl”

Memangnya little boy tidak menangis??

Orang-orang juga harus berhenti mengatakan:

“Hahaha cemen. Bencong lu!”

Kalau yang semua orang pernah ucapkan sebagai bencong adalah laki-laki yang bertutur sengau ‘keperempuanan’, berdandan seperti perempuan, memakai gincu dan pupur, memakai rambut dan bulu mata palsu, dan stilleto– kita salah. Mereka bukan pecundang. Berapa banyak laki-laki dan perempuan tersiksa berpura-pura. Karena tidak cukup berani mengakui orientasi dan mengenali tubuhnya sendiri, yang berani yang para bencong lakukan?

Orang-orang harus berhenti berpikir bahwa perempuan dan bencong adalah selalu dianggap sebagai simbol kelemahan laki-laki. Mereka berdiri sendiri-sendiri. Bukan menegasi satu sama lain. Berdirinya sendiri-sendiri adalah seharusnya selalu sebuah afirmasi.

Mengapa perempuan selalu diasosiasikan sebagai sebuah kata sifat dan kata keterangan. Yang menjadi lawan kata yang serba laki-laki. Yang bernyali, yang gagah, yang sportif, yang menantang. Yang pemberani, yang mahir?

Guru dari Fanny Mendelssohn seorang pianis perempuan yang menciptakan sonata terkenal Easter Sonata; pernah berkirim surat dengan Goethe menceritakan soal kepandaian Fanny berpiano,

“She plays like a man”

Orang-orang harus berhenti mengatakan bahwa perempuan adalah selalu sisi tidak berani. Tidak tangguh. Tidak mahir. Tidak sepatutnya, dari laki-laki.

Bahwa ada laki-laki yang pengecut. Ada yang penakut. Ada yang takut hantu. Ada yang gelagapan atas ketinggian. Ada yang tidak bisa menyetir tapi pandai memasak. Ada yang tidak merokok dan tidak berkelahi.

Orang-orang harus mulai berhenti menunjuk bagian yang dianggap cacat dan tidak diharapkan dari laki-laki sebagai perempuan. Sebagai bencong. Sebagai pemakai rok atau gincu.

Orang-orang harus mulai menerima dengan kepala sadar. Gender hanya kelompok besar manusia. Dan manusia secara sendiri-sendiri memiliki hak menjadi dirinya. Meski tidak gagah berkelahi, memanjat tebing, atau berani bertemu hantu.

Ukuran society ini dan anu soal bagaimana seharusnya seseorang toh, mensyaratkan pembanding. Banding yang dibandingkan lebih buruk, yang lebih tidak patut. Dalam hal ini, ukuran laki-laki yang katanya seharusnya, diperbandingkan dengan perempuan dan bencong, kalau-kalau seorang laki-laki tidak cukup memenuhi syarat menjadi laki-laki yang seharusnya.

Orang-orang bahkan harus mulai belajar hanya untuk mengumpat. Bagaimana mengumpat dengan pantas.

Mulai sekarang, jika ingin marah, cukup:

“Pengecut lu!!”

Sudah titik. Tidak perlu ada penambahan ‘seperti perempuan, seperti bencong, pakai rok sana, pakai lipstik sana, pakai kutang, tumbuhkan toket atau apa atau apa’

Berhenti mengasosiasikan perempuan dan bencong dan atributnya dengan kepecundangan.

Sepertinya saya hampir tidak pernah mendengar ada yang berkata pada perempuan:

“Pengecut lu, seperti laki-laki”

Perempuan justru dihakimi jika memakai atribut ke-laki-lakian.

“Kok perempuan rambutnya cepak? Kok perempuan naik motor besar? Kok perempuan manjat-manjat tebing? Kok perempuan main bola?”

Orang-orang harus berhenti mendefinisikan perbedaan laku sifat. Orang-orang harus belajar tidak menunjuk pihak lain untuk menyalahkan hal yang dia anggap tidak benar dalam dirinya.

Orang-orang harus belajar membungkam mulutnya untuk tidak mengatai orang lain dengan banyak ‘kok, kok, kok, kok’

Orang-orang harus belajar menerima ada laki-laki yang takut hantu, takut ketinggian, dan membenci bola. Dan mereka bukan pecundang.

Orang harus berhenti berkata supaya tidak makin meramaikan definisi bahwa pengecut, penakut, dan pecundang itu memakai rok, memakai gincu. Perempuan. Juga bencong.

*Trias Yuliana Dewi, seorang perempuan yang sudut pandangnya banyak membelok, oleh karenanya ia menulis.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!