Masih Sulit Perempuan Menjadi Pemimpin

Arvenda Denada Randy Saputra* – www.konde.co. 

Ini bukan tulisan tentang Tsamara Amany saja tetapi tentang perempuan pemimpin yang tersudutkan karena keperempuanannya. 

Saya laki – laki, yang bekerja sebagai buruh di
Sukoharjo.

Saya melihat Tsamara Amany di media pemberitaan, saya kagum dengan
keberaniannya mendukung KPK di tengah hiruk pikuk hak angket. Namun keberaniannya masih dianggap nyinyir oleh beberapa kalangan. 

Sebuah tweet  dari @plato_id menyudutkan Tsamara Amany sebagai
perempuan panggilan, atau PSK.

Masih ingatkah ketika Ibu Susi Pudjiastuti terpilih menjadi
perikanan dan kelautan? Banyak media memberitakan tentang gambar tatto di kaki
ibu Susi Pudjiastuti dan gaya merokoknya.

Iya, perempuan yang lantang masih dianggap bukan
perempuan baik – baik. Bukan substansi pemikirannya atau kemampuannya yang
menjadi sorotan.

Apa yang dialami oleh Tsamara Amany dan Ibu Susi
Pudjiastuti itu terjadi pula pada teman perempuan saya.

Sebut saja namanya Tira, 
baru berusia 21tahun,
saat inimasihtercatat sebagai mahasiswidi sebuah perguruan tinggi di kota Solo. Tira sangat aktif di lembaga
kegiatan kemahasiswaan, terutama diPersekutuan Mahasiswa Kristen tingkat fakultas dan Himpunan Mahasiswa. 

Desember 2016 lalu, Tira mencalonkan diri menjadi ketua
Himpunan Mahasiswa. Tira berhadapan dengan calon lain yang bernama Ari, yang
berjenis kelamin laki-laki. Lalu Tira mulai menyusun strategi kemenangan dengan
pembentukan tim sukses di kampusnya.

Pencalonan Tira sebagai Ketua di kampusnya, merupakan
fenomena yang langka. Sebab 10 tahun tidak pernah ada calon ketua dari
perempuan. Ini hal yang membanggakan bagi kalangan pegiat kampus.

Tidak ada masalah dalam proses pencalonan karena panitia
seleksi menerima Tira sebagai salah satu calon ketua.

Proses pemilihan-pun berjalan. Tira menyampaikan visi
misi dan program kerjanya begitu juga Ari. 
Tira penuh percaya diri akan kemenangannya karena dirinya sudah menyusun
program dengan serius dan strategi kemenangan yang taktis.

Sayangnya, hasil pemilihan tidak memberikan kemenangan
pada Tira. Sebab pemilih masih beranggapan bahwa pemimpin yang baik adalah laki
– laki. Tira kalah 10 suara dari Ari yang memperoleh 57 suara. Saya tidak menyebut bahwa diskriminasi gender
adalah faktor utama dari kekalahan Tiratetapi kenyataannya, Tira kehilangan suaranya karena
dirinya perempuan.

Ternyata budaya patriarki itu masihmengakarkuat di masyarakat bahkandi kampus sekalipun.Saya mengetahui bahwa kampus itu tempat dimana ide dan gagasan bebas untuk dibahas
dandiwujudkan,tanpa adanya diskriminasi gender.Lalu bagaimana bisa mengandalkan
kampus sebagai wadah perubahan di masyarakat? Apabila kondisinya sama dengan
masyarakat.

Pandangan nyinyir terhadap
perempuan yang lantang menyuarakan kebenaran dan perempuan yang menjadi
pemimpin harus dihapuskan. Sebabperempuandanlaki-lakimempunyai hak yang sama.

Sekarang, kita bisa melihat sosok-sosok pemimpin
perempuan yang bisa menjadi teladan. Seperti Ibu Sri Mulyani yang dinobatkansebagai Menteri keuangan terbaik menurut
majalah keuangan Finance Asia yang berbasis di Hongkong.Ibu Sri Mulyanimampu memperbaiki sistem perpajakan
Indonesia lewat program pengampunan pajak atau tax amnesty. Program tersebut diklaim menjadi tax amnesty tersukses dengan deklarasi dana mencapai Rp.4.590
Triliun. Hebat bukan ? Semua itu tak lepas dari tangan dingin Ibu Sri Mulyani.

Demikian pula,
Ibu Susi Pudjiastuti dengan aksi nyatanya. Lewat kebijakan-kebijakan pelarangan illegal fishing di perairan Indonesiadenganmenghancurkan kapal penangkap ikan illegal di lautan Indonesia. Hingga akhirnyabulan Mei lalu mendapatkan penghargaanPeter
Benchley Ocean Award
.

Ini menunjukkn bahwakemampuan perempuan dalam hal memimpin tidak kalah
dengan laki-laki, bahkan lebih baik.

Menurut saya, memang
perempuan dan laki-laki adalah ciptaan yang berbedatetapi tidak bisa dijadikan
pembedaan.Sebab perempuan dan laki-laki mempunyai potensi diri yang sama.

Tabik.

*Arvenda Denada Randy Saputra, buruh pabrik di Sukoharjo-Jawa Tengah

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik. Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!