Redefinisi Peran Perempuan Usia Produktif

Fatimah Suganda – www.konde.co

Saat ini
kesempatan dan akses terhadap hak-hak asasi manusia yang wajib dipenuhi oleh
negara bagi laki-laki dan perempuan menunjukan kualitas yang cukup signifikan. Pemerintah
terus berupaya mendorong kesetaraan kesempatan dan akses, misalnya dalam bidang
politik, sipil, ekonomi dan sosial. Di lain pihak, dukungan masyarakat menjadi
faktor penting untuk mendorong meningkatnya kualitas hak asasi manusia karena
masyarakat diantaranya merupakan salah satu elemen pendukung.

Pemerintah atau
negara merupakan aktor yang berada diwilayah strukur, sedangkan masyarakat
merupakan aktor yang berada di wilayah basis. Kolaborasi antara aktor yang
berada di wilayah struktur dan aktor yang berada diwilayah basis merupakan hal
yang utama dalam upaya peningkatan kualitas hak-hak asasi manusia.

Iktikad
pemerintah dalam memperluas akses hak-hak asasi manusia baik bagi laki-laki dan
perempuan memang perlu didukung oleh masyarakat baik dalam lingkup hulu maupun
hilir. Hal ini merupakan tantang karena indonesia merupakan negara yang dalam
beberapa dekade ini tidak sebentar dalam menapaki fase transisi dari negara dengan
masyarakat tradisional menuju masyarakat modern.

Di tengah masa
transisi ini, tentu berbagai problematika muncul, diantaranya yakni makna dari
peran usia produktifitas hidup perempuan yang berhubungan langsung dengan akses
terhadap hak-hak yang diakomodasi dan diupayakan oleh negara bagi perempuan.

Hak yang diakomodasi
oleh negara dalam hal hak asasi manusia diantaranya dalam bidang pendidikan,
baik pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Ketika perempuan usia produktif
menempuh pendidikan tinggi misalnya hingga strata tiga, maupun seorang perempuan
yang mengembangkan karir diusia produktif, masyarakat cenderung memberikan tekanan
pada perempuan dan dianggap sebagai bentuk penyimpangan. Jika tidak diiringi
bahkan diakhiri dengan sebuah pernikahan, tak jarang dilekatkan dengan labelling
yang berdampak psikologis bagi perempuan. Bahkan destinasi hidup perempuan
khususnya di usia produktif, oleh masyarakat pada umumnya didefinisikan untuk
sebuah pernikahan dan mengemban tugas-tugas reproduktif baik tugas reproduktif
biologis maupun ideologis.

Dalam memaknai
peran dalam usia produktif perempuan, pada umumnya lingkungan masyarakat
memberikan seruan-seruan yang tampak diplomatis, misalnya perempuan dapat saja
beraktivitas, berkegiatan dan mengembangkan diri secara produktif diwilayah
publik, asalkan tetap harus mengemban tugas reproduktif di wilayah privat pekerjaan
rumah tangga. Seruan ini tampak diplomatis, namun sesungguhnya, seruan tersebut
secara praksis menimbulkan beban ganda bagi perempuan dan inilah yang kerap
dijumpai dalam masyarakat.

Beban Ganda dan Stigma

Ketika negara
tengah berupaya meningkatkan akses hak asasi manusia, penting bagi negara untuk
melibatkan masyarakat, mengingat masyarakat merupakan agen kontrol sosial dan
pembentuk norma sosial.

Jika negara
sebagai aktor dalam sistem dan masyakat sebagai aktor dalam basis struktur tidak
berjalan beriringan, maka akan terjadi benturan antar kepentingan di dalamnya. Seringkali
perempuan tidak diberi ruang untuk menentukan sendiri arah usia produktifnya yang
pada umumnya telah didefinisikan secara masif oleh aktor-aktor, agen-agen
maupun kelompok-kelompok yang mendaku berwenang dalam mendefinisikan makna usia
produktif bagi seorang perempuan.

Hingga
akhirnya, para perempuan yang menentukan arah baik dalam mengemban tugas-tugas
produktif di ruang publik, reproduktif atau mengemban dua tugas sekaligus  akhirnya rentan menimbulkan beban ganda. Pada
akhirnya tanpa disadari terjadi saling berebut klaim otentisitas diri pada
perempuan. Karena satu sisi akses dan kesempatan ada namun yang memanfaatkan
akses serta kesempatan berbenturan dengan klaim norma umum. Sedangkan satu sisi
ada yang mengikuti kondisi yang didefinisikan oleh masyarakat pada umumnya, dan
belum memanfaatkan akses maupun kesempatan yang terus diupayakan oleh negara.    

Ketika hal ini
terjadi, maka perempuan yang mengalami beban ganda diwilayah publik dan
domestik maupun yang mengalami stigma tetap tidak tertangani. Hal ini dapat
diidentifikasi sebagai kekerasan yakni kekerasan kultural yang selanjutnya
mampu melegitimasi munculnya kekerasan langsung dan membentuk kekerasan
struktural.

Dalam kekerasan
langsung, dampak dapat diidentifikasi dengan mudah, sedangkan dalam kekerasan
tidak langsung, dampak tidak terlihat secara kasat mata namun memiliki efek
jangka panjang.

Stigma masyarakat
wilayah semi-urban terhadap perempuan yang memilih dan memutuskan di ruang
publik masih kerap terjadi, khususunya ketika seorang perempuan memutuskan usia
produktifnya untuk berkonsentrasi pada pendidikan, kemandirian finansial, pengembangan
bakat, talenta dan minatnya yang didukung dengan upaya negara dalam melindungi
dan mengupayakan akses tersebut.

Satu sisi, bagi
perempuan yang berdamai dengan lingkungan sosial yang secara diplomatis menyerukan
atau menghendaki peran perempuan di usia produktif untuk mengemban tugas
produktif sebagai pilihan dan tugas reproduktif domestik rumah tangga sebagai
sebuah kewajiban, memunculkan problematika berupa beban ganda bagi perempuan
tersebut.

Sangat disayangkan
lagi jika beban ganda dianggap sebagai sebuah konsekuensi bagi perempuan yang
memilih tugas dan peran diwilayah publik karena anggapan bahwa sesungguhnya
tugas utama perempuan dianggap cukup pada wilayah privat, reproduktif serta
domestik semata.

Redefinisi Esensi Usia Produktif
Perempuan: Upaya Merebut Ruang Publik

Mamandang
eksistensi dan kebernilaian perempuan berasal dari fungsi dan tugas reproduktif
masih sangat kental dijumpai di dalam lingkungan masyarakat, padahal tidak
terdapat perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan yang mengakibatkan
laki-laki dan perempuan secara absolut mempengaruhi fungsi gender dalam
masyarakat karena dari waktu ke waktu gender terus mengalami pergeseran bahkan
perubahan.

Namun, apakah
secara pasif kita menunggu pergeseran gender secara evolusionis? Saya fikir,
tidak. Lalu apa yang dapat kita lakukan? Yang dapat kita lakukan salah satunya
adalah mengambil peran dalam skala atau lingkup apa saja baik dalam skala kita
sebagai individu kepada individu lain, individu kepada kelompok, hingga level lanjut
yang mampu mempengaruhi lingkungan karena kontestasi nilai ada ditengah-tengah
masyarakat kita sendiri. Mengapa kita? Karena kita melihat, merasakan, akan
merasakan atau telah melawati fase-fase usia produktif bagi seorang perempuan
yang rentan terhadap beban ganda atau stigma.

Kita perlu
untuk mengambil peran dalam upaya redefnisi makna dan hakikat seorang perempuan
sesuai dengan esensi dan kebernilaian kita yang unik dan beragam secara
partikular sebagai seorang perempuan yang berada ditengah-tengah masyarakat
karena setiap fenomena sosial yang dialami individu sangat beragam.

Hal ini sebagai
bagian dari upaya kita sebagai masyarakat sipil yang ikut memantau dan
mendorong usaha pemerintah dalam mewujudkan akses hak asasi manusia dan
menghapus bentuk-bentuk kekerasan, salah satunya kekerasan tidak langsung dalam
bentuk stigma dan beban ganda yang rentan dihadapi oleh perempuan di usia
produktif.

Peran kita
sangat berarti mengingat jika kekerasan tidak langsung tidak ditangani, dapat
menimbulkan gejala dan dampaknya kekerasan yang tidak kasat mata di tengah-tengah
lingkungan sosial namun dengan efeknya cukup destruktif dalam mempengaruhi
psikologi masing-masing bagian dalam masyarakat itu sendiri.

Melakukan
definisi kembali makna dan esensi peran perempuan dalam fase usia produktif
adalah tugas kita sebagai individu yang berada di tengah masyarakat untuk
mengakhiri kekerasan tidak langsung berupa stigma dan beban ganda yang rentan dialami
oleh perempuan.

Kita dapat
memulai untuk melakukan atau berani melakukan bahkan mengutarakan definisi atau
secara dekonstruktif melakukan redefinisi terkait keputusan serta
proses-prosesnya tentang peran kita sebagai perempuan dalam fase usia
produktif. Definisi-definisi yang siap dipertukarkan secara intersubjektif
dalam ruang publik masyarakat untuk saling mempengaruhi dan menjadi sebuah
pertimbangan bagi redefinsi usia produktif perempuan yang diupayakan beragam
ditengah masyarakat, sebagai salah satu langkah untuk mengakhiri kekerasan
kultural tidak kasat mata yang disebut stigma serta dampaknya berupa beban
ganda tersebut.

*Fatimah Suganda : Duta bagi program “Community
Empowerment for Raising Inclusivity and Trust Trough Technology Application

The Habibie Center. Saat ini tinggal di Kota Malang dan dapat dijumpai dihttp://www.fatimahsuganda.web.id 

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!