I am Single and Happy

*N. Irnawati- www.Konde.co

Benarkah semua perempuan harus menikah? Apakah keluarga harus menentukan kapan perempuan menikah? Karena buat saya, menjadi single adalah sebuah jalan menuju  alternatif itu sendiri.

Walau ketika memutuskan menjadi single, memang tak semudah bayangan. Cuma mengatakannya saja, kadang sudah ditentang. Walaupun hidup kita happy ketika menjadi single, namun untuk mengatakannya ketika memutuskan menjadi single, akan ada banyak yang menentang. Seolah bahaya besar telah mengintai kita.

Bagi yang memilih single dan tak segera menikah, bersiaplah mendapat ancaman label sebagai perawan tua. Konstruksi sosial mengenai stigma negatif sebagai perawan tua kerap menjadi hal yang mengerikan bagi perempuan lajang yang tak segera menikah. Entah itu karena alasan ingin meniti karir, alasan kuliah, ingin menikmati masa lajang ataupun alasan belum menemukan jodoh yang tepat. Bahkan kerap kali perempuan dihadapkan pada kenyataan bahwa perawaan tua dianggap tidak laku.

Stigmatisasi perawan tua seharusnya tidak perlu disikapi sebagai hal yang mengerikan. Memangnya dengan menjadi perawan tua atau memilih untuk melajang lalu dirimu menjadi tidak bahagia? Pintu kebahagiaan terbuka lebar dari segala penjuru. Seseorang dinilai pantas atau siap untuk menikah juga bukan dilihat dari berapa usianya.

Ketika masih lajang perempuan dicerca berbagai pertanyaan,”Pacarnya mana?”

Atau, “Kapan menikah?.”

Saat datang ke acara pernikahan pun akan dikejar pertanyaan, “Kapan nyusul?”.

Kalau sudah menikah dia tetap akan dikejar dengan pertanyaan “Kapan punya anak?.”

Perempuan dinilai kurang sempurna hidupnya atau tidak bahagia jika tidak segera menunaikan dua kewajiban untuk: menikah dan melahirkan anak.

Lucunya lagi, setelah menikah dan langsung hamil pasti orang-orang juga akan mendadak jadi ahli matematika semua, mereka akan cepat sekali melakukan kalkulasi hitung mundur tanggal pernikahan. Sungguh hal seperti ini membuat saya merasa prihatin dengan perempuan yang selalu menjadi sasaran empuk pelabelan dan komentar negatif seputar pernikahannya.

Dalam tradisi masyarakat Jawa, setelah menikah nasib perempuan lebih banyak ditentukan oleh perannya sebagai istri. Perempuan seringkali didefinisikan sebagai “kanca wingking”atau teman di belakang sebagai pendamping suami. Konsep seperti ini akhirnya justru digunakan sebagai pembenaran bahwa posisi perempuan dalam rumah tangga memang sebagai pihak yang tersubordinasi.

Ditambah lagi, kami para perempuan Jawa dari kecil dididik oleh keluarga untuk “ngajeni wong lanang” atau menghormati laki-laki. Saya sering bertanya apakah tidak ada penghormatan terhadap perempuan (istri)?

Kerana sejak kecil saya tidak pernah mendengar kakak laki-laki saya mendapat wejangan atau nasehat dari Ibu saya untuk ngajeni perempuan (istri) seperti yang ditanamkan di kepala saya untuk menaruh hormat pada laki-laki.

Tiba-tiba saya teringat dengan nasehat teman saya yang sudah menikah mengatakan bahwa, “Jangan pernah berpikir bahwa pernikahan adalah gerbang menuju kebahagiaan”.

Sebagian besar berpikir bahwa ia bisa mendapatkan kebahagiaan dan hidupnya sempurna kalau dirinya menikah. Menakar kebahagiaan dari  himbauan menikah tentu tak serta merta dapat dijadikan  pembenaran untuk  mendesak orang lain segera menikah.

Alih-alih mendapatkan kebahagiaan, menikah kadangkala justru merampas kehidupan perempuan itu sendiri, walaupun di banyak kasus perempuan menjadi bahagia setelah menikah tentu juga banyak terjadi.

Berbicara mengenai capaian kebahagiaan pasca pernikahan, ada fakta yang cukup menarik tentang data indeks kebahagiaan dan status pernikahan tersebut.

Menurut survey terbaru yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Agustus 2017 lalu. Data Indeks Kebahagiaan Indonesia 2017 menunjukkan bahwa orang yang belum menikah atau berstatus single justru memiliki angka indeks kebahagiaan tertinggi sebesar 71,53 bila dibandingkan dengan status perkawinan lainnya, yaitu indeks kebahagiaan dengan status menikah 71,09, cerai hidup 67, 83 dan status cerai mati sebesar 68,37.

Mengutip pernyataan Kepala BPS Suhariyanto (15/8) di portal berita CNN Indonesia “Kalau single paling happy, setelah itu dia menikah indeks kebahagiannya turun sedikit, lalu ketika cerai maka indeks kebahagiaannya turun drastis.”

Ini artinya urusan menikah sedikit banyak memang punya andil dalam menurunkan tingkat kebahagiaan seseorang.

Menjadi perempuan lajang dengan usia matang di Indonesia bukanlah perkara mudah, desakan menikah dari keluarga dan lingkungan sosial sulit untuk dihindari.

Menjadi single adalah pilihan, sebelum akhirnya nanti dirimu berkomitmen memutuskan untuk menikah atau tidak.

Hey ladies…kalian perempuan yang masih single, bahagiakan dirimu terlebih dahulu sebelum menikah, setelah menikah maka berbagilah kebahagiaan tersebut dengan pasanganmu. Jangan tinggalkan teman-temanmu, karena mereka adalah orang yang selalu ada di setiap hidupmu, ketika kamu single dan happy, menikah atau turun drastis kebahagiaanmu akibat perceraian (Selesai)

*N. Irnawati


Lahir di Sukoharjo pada tanggal 15 juli 1985 dengan zodiak cancer adalah alumni Pascasarjana UGM yang mengambil jurusan Sosiologi. Saat masih dibangku SMA ia aktif mengikuti latihan bela diri karate di sekolahan. Setelah lulus SMA ia melanjutkan kuliah di UNS Surakarta dengan mengambil jurusan FKIP Program Studi Pendidikan Sosiologi dan Antropologi. Skripsi yang pernah ia tulis ialah mengenai perilaku komunitas anak punk di kota Solo.


Selesai selesai menempuh pendidikan sarjana kemudian dia melanjutkan studi S2 di UGM dan berhasil menulis thesis tentang remitan migran sirkuler yang bekerja pada sektor informal di kota Yogyakarta. Ia pernah bekerja sebagai asisten riset membantu dosen yang sedang menyelesaikan disertasi dengan lokasi penelitian di kabupaten Gunungkidul. Sebagai asisten riset, ia bertugas terjun ke lapangan mengumpulkan data lapangan baik data primer maupun sekunder melalui interview dan obervasi.


Perempuan yang dibesarkan dalam keluarga tradisional Jawa ini selain menyukai karate, ia adalah pecinta kuliner, tertarik pada issue-issue seputar perempuan dan tidak suka jika tubuhnya didekte. Tubuhnya, sepenuhnya adalah otoritas miliknya sendiri.

(Foto/Ilustrasi: Manga Comic/ Pixabay.com)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!