Perkawinan Tanpa Anak, Mengapa Perempuan yang Selalu Disalahkan?

*Kustiah- www.Konde.co

Mengapa perempuan yang telah menikah selalu harus menanggung perasaan bersalah jika tak punya anak? Padahal dalam keluarga tradisional di Indonesia misalnya, yang berkomitmen untuk menikah adalah laki-laki dan perempuan (di luar perkawinan pasangan homoseksual). Namun mengapa beban untuk mempunyai anak selalu menjadi beban perempuan?

Ini adalah cerita tentang seorang perempuan, yang diselingkuhi suaminya, ditinggal pergi lalu diteror soal pembagian harta. Teror lain selalu datang dari suaminya yang sering menyatakan bahwa: suaminya berbuat seperti ini, karena istri tak bisa memberikan keturunan.

Kami memanggilnya Cicik. Perempuan 30 tahun ini selalu berusaha kuat dan tegar saat menghadapi masa-masa sulit ditinggal pergi suaminya.

Selama lima bulan suaminya tak pulang. Tak memberi kabar, juga tak pernah mengatakan apa-apa kepadanya. Dia tahu bahwa suaminya tinggal bersama seorang perempuan lain dari pemilik rumah kontrakan yang disewa suaminya.

Cicik sengaja menghubungi beberapa nomor telepon yang pernah ditulis suaminya di sebuah buku.

Suatu malam, di bulan ketiga lelaki berinisial F, suami cicik pulang ke rumah. Cicik kaget.

F tak menyapa dan seperti merasa tak bersalah mengambil tas yang ada di kamar Cicik dan mengemas pakaiannya. Dia hanya mengetuk kamar Cicik dan say good bye seraya membawa satu koper.

Kata Cicik, tak semua yang dikemasi suaminya dibawa. Karena lama tak bertemu dan tak mengetahui kabar rimbanya Cicik bertanya. Namun, lagi-lagi F tak acuh. Lalu, terlibatlah cekcok mulut. Dan F kembali pergi.

Sejak pertemuan malam itu Cicik terus berusaha menguatkan hati dengan menganggap suaminya telah hanyut ditelan bumi.

“Kalau saya menganggap dia pergi, itu artinya saya masih mengharapkannya pulang. Saya katakan pada diri sendiri, bahwa lelaki itu (F) telah hanyut,” ujarnya kepada saya di suatu malam.

Cicik selalu bercerita dengan apa yang terjadi pada rumah tangganya, perlakuan suaminya. Saya seperti telah mengenalnya lama padahal baru kenal sekitar dua bulanan.

Perkenalan pun sebenarnya bukan karena kesengajaan atau kecocokan. Tapi karena kami bertetangga. Setiap sore hingga malam kedai makan kami letaknya persis di samping ruko (rumah dan toko) nya Cicik. Dan, perkenalan awal adalah karena Cicik memesan nasi uduk kadang es teh manis, kadang jeruk manis, dan kami (saya, adik, dan kakakku) yang berjaga bergantian berjualan nasi uduk lama-lama mengenalnya.

Jika tak memesan apa-apa, kami tetap menyapanya dan lebih sering ngobrol dengan tema apa saja. Tak jarang juga kami bertukar makanan. Jika Cicik memasak masakan istimewa, seperti sup daging, sambal udang, atau apa saja dia akan membagikannya kepada kami.

“Mbak, coba deh. Aku tadi nyoba masak bikim sambal udang,” ujarnya sambil menyerahkan semangkuk sambal.

Entah bagaimana kemudian Cicik dan kami nyambung. Dan mengalirlah cerita tentang kegagalan pernikahannya.

Akhir-akhir ini Encik mengaku sulit tidur. Bukan memikirkan suaminya yang sering dia lihat berboncengan dengan perempuan selingkuhannya yang lewat di depan matanya. Tetapi, karena beberapa kali F mengirim pesan whatsapp yang isinya meminta tanda tangan Cicik. Suaminya meminta rumah dijual dan hasil penjualan separonya dibagikan kepadanya.

Padahal, sejak awal, tiga tahun lebih Ciciklah yang membayar cicilannya. Dan ruko yang ditempati Cicik masih akan lunas tujuh tahun ke depan. Sementara mobil dan motor yang dibeli bersama dibawa lari suaminya.

Tak hanya soal teror permintaan pembagian harta kekayaan. Cicik bercerita bahwa dia sudah biasa disakiti secara verbal.

Dikatai, “Dasar istri yang nggak bisa kasih anak.”

Kalimat ini selalu keluar dari mulut F. Kata-kata ini seperti menampar saya, begitu Cicik selalu berkata. Padahal untuk mempunyai anak adalah atas pilihan keduanya. Namun mengapa perempuan selalu disalahkan?

“Saya sudah berusaha menjadi istri yang baik. Tetapi kata-kata yang dikatakannya selalu bernada menyakiti,” ujarnya.

Suatu kali suaminya melalui pesan whatsapp menyuruh Cicik mengajukan gugatan cerai. Dia, F, tak menggugat cerai katanya katena tak punya uang. Jadi, dia menyarankan istrinya menggugat lebih dulu.

“Nanti saya bayar semua biaya proses perceraian dengan dicicil,” ujar Cicik menirukan suaminya.

Belum lama ini saya mengantarkannya ke lembaga bantuan hukum untuk konsultasi. Cicik sudah mantap untuk mengajukan gugatan cerainya. Kehidupan bersama suaminya yang ia anggap penuh pengorbanan sudah tak bisa dipertahankan lagi. Apalagi perselingkuhan suaminya tak hanya terjadi kali ini saja. Dan beban agar perempuan selalu mempunyai anak. Semua ini harus dilepaskan. Tak semua perkawinan harus mempunyai anak. Jika sedari awal punya komitmen untuk punya anakpun, mengapa perempuan yang selalu terbebani untuk berusaha? Sedangkan laki-laki? Malah sibuk berselingkuh sana-sini? ini adalah perjuangan perempuan. Bagian yang harus dilawan.

“Saya sudah lelah menderita dan makan hati,” kata Cicik.

*Kustiah, Mantan jurnalis Detik.com, kini pengelola www.Konde.co dan pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!