Kapolri, Ucapan yang Seksis dan Menyalahkan Korban Perkosaan

Luviana- www.Konde.co

Jakarta, Konde.co – Dalam percakapan dan wawancara BBC Indonesia yang diturunkan dalam sebuah pemberitaan pada 19 Oktober 2017 berjudul ‘Tito Karnavian: Korban perkosaan bisa ditanya ‘apakah nyaman’ selama perkosaan? nampak jelas jajaran kepolisian mulai dari struktur paling atas tidak mempunyai keseriusan dalam upaya menghapuskan kekerasan seksual.

Perkosaan terhadap siapapun, merupakan kejahatan yang telah jelas-jelas memberikan dampak berlapis, secara fisik, psikologis, bahkan ekonomi kepada korbannya.

Alih-alih berupaya memberikan keamanan dan keadilan bagi korban perkosaan, pernyataan Tito membuktikan bahwa selama ini Polisi justru lebih banyak berpihak pada pelaku, dengan asumsi yang menuduh korban berbohong, bahkan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang justru akan membuat korban merasa disalahkan dan akan menambah trauma mendalam pada korban.

Gerakan Masyarakat untuk Demokrasi (Gedor) yang merupakan jaringan puluhan organisasi di Indonesia yang berjuang untuk demokrasi di Indonesia dimana www.Konde.co terlibat di dalamnya, pada pernyataan sikapnya menyatakan bahwa pemberitaan tersebut adalah hasil dari wawancara yang dilakukan untuk meminta tanggapan Kapolri tentang beberapa persoalan, di antaranya terkait sikap dan tindakan aparat kepolisian yang menarget kelompok minoritas gender dan seksual pada Lesbian, Gay, Biseksual & transgender (LGBT) dengan penangkapan atas tuduhan melanggar UU poronografi, serta persoalan yang saat ini mendera lembaga pemberantasan korupsi; Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK).

Penangkapan terhadap kelompok LGBT tidak hanya dlakukkan di ranah publik tapi juga di wilayah privat seperti tempat tinggal, salah satunya adalah penangkapan di sebuah sauna dengan tuduhan melanggar UU Pornografi. Meski terdapat banyak tempat sauna, gym dan tempat sejenisnya namun justeru tempat-tempat tersebut yang menjadi sasaran target kepolisian atas tuduhan aktifitas LGBT melanggar UU Pornografi.

Selain itu perlu dicatat, UU pornografi bukan UU anti LGBT tapi mengapa mereka yang menjadi kelompok sasaran.

Sangat menyesalkan dan menyesakkan dalam wawancara tersebut justru Tito mengeluarkan sebuah pernyataan berisi analogi yang hendak menegaskan sikapnya yang seksis dan tidak ramah korban perkosaan. Ia menggunakan analogi bahwa di dalam peristiwa pidana penyidik juga harus menggunakan trik untuk mencari jawaban yang pasti dari pihak korban salah satunya adalah korban perkosaan. Maka pertanyaan ‘apakah merasa nyaman’ saat mengalami perkosaan adalah pertanyaan yang dianggap wajar oleh kapolri.

Analogi tersebut menunjukkan bahwa institusi penegak hukum mulai dari hirarki paling tinggi memang tidak ramah dan tidak berpihak pada korban. Berdasarkan berbagai pengalaman gerakan perempuan dan aktivis perempuan yang mendampingi dan berjuang bersama korban perkosaan, langkah hukum yang ditempuh dengan melaporkan kasus perkosaan ke Kepolisian merupakan satu langkah perjuangan berani, di tengah aparat penegak hukum yang masih terus menyalahkan korban. Pernyataan jenderal Polisi seperti ini akan semakin membungkam korban dan menjauhkan keadilan bagi masyarakat terutama perempuan dan korban perkosaan.

Lini Zurlia, Nisaa Yura dan Dhyta Caturani yang mewakili Gedor menyatakan bahwa Gedor menggugat analogi Tito Karnavian yang tidak ramah pada korban.

Kami yang terdiri dari berbagai elemen; perempuan, aktivis, pegiat HAM dan elemen masyarakat lain menggugat analogi tersebut yang semakin menegaskan sikap bahwa intitusi penegak hukum tidak ramah dan tidak berpihak pada korban kekerasan seksual, pantas saja jika banyak kasus kekerasan seksual jarang dilaporkan oleh korbannya atau bahkan korban yang melapor justeru disalahkan. Artinya, kepolisian sebagai institusi penegak hukum berkontribusi dalam mencederai rasa keadilan.

Untuk itu dalam surat terbuka berupa gugatan ini kami menuntut dan meminta kepada Jenderal Kapolri Tito Karnavian meminta maaf kepada publik atas pernyataan tersebut.

Kami juga menuntut agar Intitusi pengegak hukum termasuk Kepolisian, agar membenahi cara berpikir dalam memandang korban kejahatan yang seharusnya dilindungi, bukan malah menyalahkan korban. Institusi penegak hukum harus berpihak pada korban perkosaan, menciptakan rasa aman, melindungi dan mencegah tindakan kekerasan seksual termasuk perkosaan dan mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat.

Kepolisian Republik Indonesia harus konsisten menjalankan beberapa peraturan yang telah dibuat untuk meningkatkan kerja-kerja kepolisian dalam melindungi masyarakat & mewujudkan pemenuhan hak asasi manusia serta perlindungan kelompok rentan lain. peraturan tersebut antara lain; Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelengaraan Tugas Polri, Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (“SE Hate Speech”) dan serta pembentukan Unit Pengaduan Perempuan & Anak (UPPA) adalah salah satu upaya kepolisian dalam menangani kasus-kasus perkosaan dan semestinya berpihak pada korban.

Organisasi:

1. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia

2. Aliansi Mahasiswa Papua (AMP)

3. Asosiasi Pelajar Indonesia

4. Arus Pelangi

5. Belok Kiri Festival

6. Bhinneka Region Bandung

7. Desantara

8. Federasi SEDAR

9. Federasi Mahasiswa Kerakyatan (FMK)

10. Forum Solidaritas Yogyakarta Damai (FSYD)

11. Garda Papua

12. Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI)

13. Gereja Komunitas Anugrah (GKA) Salemba

14. Gusdurian

15. Institute for Criminal Justice Reform (IJCR)

16. Imparsial

17. Indonesian Legal Roundtable (ILR)

18. INFID

19. Institut Titian Perdamaian (ITP)

20. Integritas Sumatera Barat

21. International People Tribunal (IPT) ‘65

22. Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK) Indonesia

23. Koalisi Seni Indonesia

24. Koalisi Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI)

25. Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI)

26. KPO-PRP

27. komunalstensil

28. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)

29. Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Berekspresi (KPJKB) Makassar

30. Komunitas Buruh Migran (KOBUMI)

31. Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI)

32. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)

33. LBH Pers

34. LBH Pers Ambon

35. LBH Pers Padang

36. LBH Pers Makassar

37. LBH Jakarta

38. LBH Bandung

39. LBH Makassar

40. LBH Padang

41. LBH Pekanbaru

42. LBH Yogya

43. LBH Semarang

44. Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS)

45. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam)

46. Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP)

47. Marjinal

48. Papua Itu Kita

49. Partai Pembebasan Rakyat (PPR)

50. Partai Rakyat Pekerja (PRP)

51. PEMBEBASAN

52. Perempuan Mahardhika

53. Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI)

54. Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI)

55. Perjuangan Mahasiswa untuk Demokrasi (PM-D)

56. Perpustakaan Nemu Buku – Palu

57. Pergerakan Indonesia

58. Politik Rakyat

59. Pusat Perjuangan Rakyat Indonesia (PPRI)

60. PULIH Area Aceh

61. PurpleCode Collective

62. Remotivi

63. RedFlag

64. Sanggar Bumi Tarung

65. Satjipto Rahardjo Institut (SRI)

66. Serikat Jurnalis Untuk Keragaman (SEJUK)

67. Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI)

68. Simponi Band

69. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)

70. Sentral Gerakan Mahasiswa Kerakyatan (SGMK)

71. Sentral Gerakan Buruh Nasional (SGBN)

72. Sloka Institute

73. Suara Bhinneka (Surbin) Medan

74. Serikat Kebudayaan Masyarakat Indonesia (SeBUMI)

75. Serikat Buruh Bumi Manusia-Nanbu (SEBUMI-NANBU)

76. Komunitas Solidaritas Net

77. Taman Baca Kesiman

78. Ultimus

79. Yayasan Bhinneka Nusantara

80. Yayasan Satu Keadilan

81. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)

82. Yayasan Manikaya Kauci

83. YouthProactive

84. www.konde.co

(Foto/Ilustrai: Pixabay)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!