Kampanye Anti Asusila, Sumbu Pendek di Sosial Media

Poedjiati Tan – www.konde.co

Belum lagi usai ramainya orang memperbincangkan soal sebuah video yang memperlihatkan dua laki-laki yang sedang berboncengan motor dan berpelukan, kemudian diunggah dan disebarkan oleh seorang pengguna sosial media. Yang kemudian ramai diperbincangkan di sosial media dalam kasus ini adalah ketika pengguna tersebut menuliskan bahwa mereka (2 laki-laki yang ada dalam video ini) dituliskan sebagai pasangan gay yang sedang bermesraan diatas motor sambil menunggu kereta lewat. Padahal sebenarnya mereka adalah kakak adik yang lama tak berjumpa. Keduanya memang orang Timur Tengah yang budayanya tidak menabukan keakraban fisik antar lelaki, semisal berciuman pipi, hidung, bibir, atau dahi.

Selain kasus itu, pada 27 Desember 2017 kemarin, ada lagi kampanye di media sosial yang mendorong pesertanya untuk memotret pasangan yang sedang bermesraan di ruang publik kemudian mengunggah dan melaporkannya menjadi viral setelah dibahas di media sosial. Akun @cekrek,lapor.upload di Instagram dalam kampanye tersebut menyatakan bahwa “kampanye anti asusila” lewat sosial media ini ingin mengajak semua orang untuk memotret siapa saja yang tengah berduaan. Jika tengah berduaan, maka anda berhak untuk dipotret dan diupload dan dianggap anti susila.

Ada beberapa akun Instagram dan Facebook lain yang juga ikut menyebarkan hal ini, yaitu meminta masyarakat ikut aktif dan melaporkan kepada mereka bila mengetahui ada perbuatan asusila.

Tindakan ini tidak hanya memancing persekusi, mengajak masyarakat yang main hakim sendiri, namun juga mengajak masyarakat supaya menjadi polisi moral buat orang lain, dengan standart pemikirannya sendiri tanpa berusaha mencari atau tidak mau tahu kebenarannya. Mereka hanya menggunakan asumsi dan sumbu pendek mereka, apalagi bila itu menyangkut menyangkut hak seksualitas seseorang, juga hak para Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT).

Kita sudah sering mendengar hal seperti ini, penggrebekan di tempat kos atau sweeping tempat kost. Dua orang beda jenis kelamin atau bisa sama jenis kelamin dalam satu ruangan juga akan diduga sedang melakukan hubungan seks.

Mengungkapkan kasih sayang atau perasaan cinta menjadi sesuatu yang tabu, tetapi mengungkapkan kebencian malah menjadi sesuatu yang dianggap heroik dan membanggakan. Padahal menyebarkan hal yang tidak diklarifikasi, diverifikasi terlebih dahulu ini sama saja dengan mengajak masyarakat yang penuh curiga dan memasang mata awas terhadap perilaku orang lain. Mungkin setelah ini bila kita hendak keluar rumah atau kemana saja, kita harus membawa fotocopy kartu keluarga, buku nikah, akte perkawinan dan juga mungkin akte kelahiran karena semua hak seksualitas kita berada dalam pengawasan.

Ini tentu bisa menimpa siapa saja. Siapa tahu seorang ayah akan disangka pedofilia atau suka kepada anaknya sendiri karena menunjukkan rasa sayangnya ketika sedang di jalan.

Kita jadi seperti orang yang kekurangan kasih sayang atau mungkin tidak pernah mengekspresikan kasih sayang sehingga bila melihat orang bersikap mesra jadi terkaget-kaget dan langsung berpikir kotor. Menjadikan prasangka sebagai alat pembenaran pelanggaran privasi orang lain. Menggunakan dalil untuk menjaga moral tanpa melihat bahwa yang dilakukan itu melanggar hak privasi orang lain.

Media sosial hanyalah sebuat alat, sama seperti pisau yang bisa menjadi alat memasak atau dijadikan alat untuk membunuh. Memviralkan suatu kejadian dengan narasi kebencian dan membuat tuduhan yang tidak betul bisa dikatakan sebagai pembunuhan karakter seseorang.

Apakah benar sosial media menjadikan masyarakat yang paranoid, pembenci orang lain? Sudah banyak contoh orang, kelompok yang gegabah menyebarkan kebencian. Mereka seperti menjadi Tuhan kecil atau perwakilan Tuhan di Bumi yang mempunyai hak mengadili dan menghukum orang lain.

Kejadian ini seperti tak pernah memperhitungkan hak asasi orang lain.

Referensi:

http://www.bbc.com/indonesia/trensosial-42482776

http://www.bbc.com/indonesia/trensosial-42491078

(Foto: Pixabay.com)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!