Media dan Tantangan untuk Melibatkan Perempuan

Luviana – www.Konde.co

Jika berbicara soal media, maka tak cukup bagi kita hanya berbicara soal isi/ content media, namun juga kepemilikan media. Karena siapakah pemilik media tersebut, sedikit banyak akan mempunyai pengaruh pada content media tersebut.

Dalam persepektif ekonomi politik, media merupakan wadah dimana terjadi tarik-menarik antara kepentingan ekonomi (pemilik modal) dan politik (permainan kekuasaan). Pakar komunikasi Golding dan Murdock melihat bahwa produk media merupakan hasil konstruksi yang disesuaikan dengan dinamika ekonomi yang sedang berlangsung dan struktur-struktur dalam institusi yang menyokong berputarnya roda institusi media. Jadi dalam perspektif ekonomi politik, media tak pernah lepas dari kepentingan kekuasaan pemilik, politik dan struktur yang ada.

Di luar itu, pertanyaan lainnya yaitu: apakah media tersebut sudah memberikan porsi bagi para jurnalis atau pekerja media perempuan? Seberapa persen mereka mempekerjakan perempuan?

Pertanyaan lain yang harus dijawab selanjutnya adalah: apakah ada content yang dibuat untuk publik atau kelompok marjinal? Bagaimana media memberikan ruang untuk kelompok marjinal seperti perempuan, buruh, miskin kota, LGBT, disable, korban HAM?

Pelibatan Pekerja Perempuan dan Content Media

Sebuah laporan baru yang dikeluarkan oleh Women’s Media Center (WMC) terhadap media di Amerika menyebutkan bahwa suara perempuan kulit berwarna sering hilang di media di Amerika.

Gloria Steinem, salah satu pendiri The Women’s Media Center dan Ms menuliskan bahwa perempuan kulit berwarna (bukan kulit putih) hanya diwakili sebanyak 7,95 persen staf di ruang berita cetak. Sedangkan hanya 12,6 persen staf berita di TV lokal dan 6,2 persen staf di radio lokal di Amerika.

Laporan tersebut memperluas data yang berasal dari penelitian industri tentang jenis kelamin dan ras oleh industry research on gender and race by the American Society of News Editors and the Radio Television Digital News Association dengan kesaksian dari perempuan kulit berwarna di media berita – termasuk jurnalis dan penulis Dana Canedy, perempuan kulit hitam pertama dan orang termuda yang memimpin organisasi Pulitzer; pakar dan jurnalis siaran seperti Soledad O’Brien, Ann Curry, Maria Hinojosa dan Joy Reid; dan MacArthur pemenang Nikole Hannah-Jones.

Mereka yang diwawancarai karena laporan tersebut terus terang berbicara tentang tantangan yang mereka hadapi tentang menjadi jurnalis dan perempuan yang bukan kulit putih.

Perempuankulit berwarna masih berjuang melawan rasisme sistemik dan seksisme di media berita, dan sangat penting bahwa perempuan kulit hitam, Asia, Hispanik harus terlihat di media. Tanpa kehadiran perempuan, dan terutama perempuan kulit berwarna di ruang berita, akan terjadi masalah krisis dimana media akan diwarnai perspektif kebanyakan laki-laki kulit putih. Itu adalah tantangan di Amerika yang terjadi saat ini.

Media Komunitas

Lalu bagaimana kondisi secara umum di Indonesia? Ketua Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Serikat SINDIKASI), Ellena Ekarahendy menyatakan tentang pentingnya mengajak banyak perempuan yang kritis terhadap media untuk masuk dan bekerja di media agar bisa menjadi penjaga content di media. Apapun kondisi medianya, tetap membutuhkan perempuan yang tak kenal lelah memperjuangkan content dan keberagaman di media, sekaligus perspektif mereka sebagai pekerja media dan media kreatif.

Penelitian tentang content buruh dan media yang dilakukan oleh aktivis buruh, Guruh Riyanto salah satunya menyebutkan bahwa minimnya berita tentang buruh masuk di media mainstream. Jika masuk di media mainstream, maka hanya berita ‘besar’ misalnya soal kasus yang dibicarakan banyak orang atau soal aksi hari buruh. Ini menunjukkan pentingnya organisasi buruh dalam memproduksi sendiri informasi dan jangan menggantungkan diri pada media lain.

Dalam sebuah diskusi yang diadakan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) pada 5 Maret 2018 di Jakarta, ketua KSPI Said Iqbal menyatakan soal pentingnya bagi buruh untuk mengelola medianya sendiri, ini karena sangat minimnya berita tentang buruh masuk di media mainstream. Said Iqbal menyebutkani soal media yang dimiliki pemilik industri media dan menjadikan banyak berita buruh yang kemudian sulit menembus ruang-ruang berita.

Dian Septi pemimpin redaksi media komunitas Marsinah FM menyatakan bahwa selama hampir 6 tahun ini Marsinah FM mengelola radio komunitas secara mandiri. Radio ini kemudian digunakan untuk menyuarakan suara buruh dan di luar itu untuk berkegiatan para buruh perempuan. Mereka memproduksi acara sendiri, merancang acara hingga mempublikasikannya. Hal ini semakin menandaskan soal pentingnya mengelola media sendiri dan tidak mengandalkan media lain dalam memproduksi informasi.

Di Marsinah FM, para buruh perempuan kemudian belajar untuk bersiaran dan merancang acara melalui radio ini. Hal ini menunjukkan tentang pentingnya untuk tidak tergantung pada media mainstream dalam melakukan peliputan dalam kegiatan para buruh. Di luar itu, buruh perempuan kemudian bisa belajar dan memproduksi informasi sendiri. Hal ini penting selain untuk memproduksi content, juga para buruh perempuan diajarkan untuk memperoleh ketrampilan teknis bagaimana cara memproduksi dan kritis terhadap informasi.

Keberadaan media komunitas menjadi sangat penting karena bisa memegang mandat hak masyarakat untuk mengetahui dan memberitakan informasi. Hal ini bisa menjadikan masyarakat perempuan untuk menyuarakan suara mereka dan memecahkan persoalan-persoalan mereka.

“Menyuarakan suara perempuan sebagai bagian dari sebuah gerakan masyarakat untuk ikut dalam proses komunikasi dan pengambilan keputusan di tengah masyarakat. Media komunitas bisa membangun kesadaran sebagai warga negara, untuk mengetahui hak dan kewajiban perempuan sebagai warga negara,” kata Dian Septi.

Yang lebih penting lagi yang harus dilakukan adalah memproduksi content tentang keberagaman informasi. Sehingga informasi tentang masyarakat marjinal bisa masuk ke dalam semua media.

Tantangan pertama adalah bagaimana menciptakan media alternatif dengan pelibatan perempuan, termasuk memasukkan konsep citizen journalism di dalam media mainstream dan media komunitas.

Tak hanya pelibatan perempuan secara lebih meluas di media, namun produksi content sebagai media untuk suara perempuan ini sangat penting agar content marjinal bisa menjadi penyeimbang di media mainstream.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

(Referensi How We’re Doing: The Voices of Women of Color are Missing from U.S. Newsrooms: http://msmagazine.com/blog/2018/03/07/women-of-color-are-still-vastly-underrepresented-in-the/)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!