Ambigusitas dan Kesubversifan Kartini

*Donny Danardono – www.konde.co

Kartini mulai menulis surat ke teman-teman Belanda dan Pemerintah Hindia-Belanda―yang kemudian disunting dan dibukukan oleh H.J. Abendanon sebagai Door Duisternis tot Licht―di usia ke-20, empat tahun setelah ia bebas dari pingitan.

Bila gadis priyayi Jawa dipingit di sekitar usia ke-12, saat pertama kali datang bulan, dan baru bebas saat diperistri pria yang belum mereka kenal, Kartini ‘hanya’ dipingit sampai usia 16 tahun. Dan bila dalam pemingitan itu mereka harus belajar tata krama perempuan dan istri priyayi, Kartini justru membaca buku, majalah, koran, jurnal ilmiah, bersurat-suratan dengan teman-temannya di Europese Lagere School (ELS), melukis, dan bergaul dengan para pejabat Belanda tamu ayahnya (surat ke Stella Zeehandelaar, 25 Mei 1899 dan 6 November 1899).

Adalah ayahnya, R.M Adipati Ario Sosroningrat, seorang Bupati Jepara yang memungkinkan itu. Ia adalah seorang dari empat bupati Jawa yang berpendidikan Eropa. Lumrah, ia kirim ke-11 anaknya ke sekolah Eropa. Ayahnya juga pernah menyurati Pemerintah tentang perlunya pendidikan pribumi (surat ke Stella Zeehandelaar, 12 Januari 1900).

Sebagai priyayi, ayahnya berpoligami. Kartini adalah anak selirnya: Ngasirah. Kartini tak pernah secara langsung menceritakan ibu kandungnya itu di surat-suratnya. Tetapi ia tahu penderitaannya sebagai selir: “Tetapi hal ini tidak berarti bahwa mereka tidak sangat menderita karenanya. Hampir tiap perempuan yang saya kenal di sini mengutuk hak laki-laki itu” (surat ke Stella Zeehandelaar, 23 Agustus 1900).

Maka, bagi Kartini, ayahnya adalah representasi tradisionalisme Jawa yang ia tentang. Tetapi ayahnya juga merupakan representasi modernitas Barat yang ia dambakan, yang memberinya ilmu, ide kesetaraan manusia dan skalar untuk menakar tradisionalisme Jawa itu.

Liberalisme dan Politik Etis

Bila saya tak salah hitung, sejak tahun 1899, di usianya yang ke-20, sampai wafatnya di tahun 1904, Kartini telah menulis 149 surat. Surat-surat yang jarang pendek dan berbahasa Belanda itu bertutur tentang berbagai buku, jurnal ilmiah, koran dan majalah yang ia baca, nasib pribumi dan perempuan pribumi, kisah “Tiga Serangkai” (Kartini, Roekmini dan Kardinah), modernitas dan kesetaraan manusia Barat.

Di usia ke-16 ia mulai menulis untuk koran De Locomotief (Semarang), majalah De Gids, De Echo, dan majalah perempuan De Hollandsche Lelie yang terbit di Belanda. Tulisan-tulisannya merentang dari sejarah batik Hindia-Belanda, perlunya sekolah bagi perempuan pribumi sampai emansipasi perempuan.

Iapun membaca sastra, sejarah, feminisme dan tata pemerintahan. Kisah Joan of Arc, wanita yang membebaskan Prancis dari Inggris, membuatnya berpikir mengapa banyak pejuang mati muda; Max Havelaar, karya Multatuli, membuatnya tahu bagaimana pejabat kolonial dan pribumi menindas rakyat pribumi; Hilda van Suylenburg dan Moderne Vrouwen―tentang emansipasi wanita Barat―memperkenalkannya pada istilah emansipasi wanita. Bahkan Pramoedya Ananta Toer memperkirakan Kartini, seperti remaja feodal lain kala itu, juga membaca Centhini, Wulangreh, hikayat wayang dan hikayat panji (Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, 1997: 74).

Bacaan dan pergaulannya yang luas dan kemampuannya menulis mencerminkan kecerdasannya. Semua itu tak lepas dari peran ayahnya, para liberalis (Ovink-Soer, suami-istri Abendanon, dan van Kol) dan Politik Etis.

Kemenangan kelompok Liberal di Belanda pada 1860-an turut mengubah pola penjajahan Hindia-Belanda. Cultuurstelsel bertahap dihapuskan, dan kolonialisme dijalankan oleh para kapitalis swasta bersama pemerintah. Berbagai perkebunan dan pabrik dibuka. Sawah-sawah dialihfungsikan menjadi perkebunan tebu dan tanaman ekspor lainnya selama 75 tahun (Agrarische Wet 1870). Hutan-hutan dijadikan perkebunan teh, kopi dan kawasan jati. Para petani dan pribumi dijadikan buruh perkebunan dan pabrik. Kelas feodal dijadikan pegawai negeri, yang di antaranya adalah kakek dan ayah Kartini. Itu sebabnya Kartini sekeluarga akrab dengan para pejabat Belanda, sekolah di sekolah Eropa, dan memperoleh jalan ke bacaan-bacaan berbahasa Belanda. Maka, Politik Etis―yang dimulai pada 1901 saat Ratu Wilhelmina berpidato di Parlemen tentang ‘kewajiban moral’ pemerintah menyejahterakan pribumi―hanya meluaskan aksesnya ke modernisme.

Kadipaten Jepara sebagai Heterotopia: Ambiguitas dan Kesubversifan Kartini

Saya memetakan surat-surat Kartini sebagai surat-surat yang membahas tradisionalisme Jawa dan modernisme Barat. Ia memuji batik, gamelan dan ukiran Jepara. Bahkan bersama Abendanon―Direktur Kementerian “Pengajaran, Ibadah dan Kerajinan” itu―ia memasarkan ukiran itu ke Eropa. Namun, ia juga mengidentikkan tradisionalisme Jawa itu dengan poligami, pemingitan wanita dan unggah-ungguh hirarkis.

Ia tak pernah secara langsung membahas poligami ayahnya. Tetapi ia melawannya: “Satu-satunya yang boleh kami mimpikan ialah: hari ini atau besok menjadi isteri yang kesekian bagi salah seorang laki-laki. Saya menantang mereka yang dapat menunjukkan ketidakbenaran hal ini” (surat ke Stella Zeehandelaar, 23 Agustus 1900).

Baginya pemingitan adalah pengurungan dalam kotak dan pemutusan dari dunia luar: “Pada umur 12 tahun saya harus tinggal di rumah. Saya harus masuk ‘kotak’ … Empat tahun yang berlangsung sangat lama itu saya habiskan di antara empat dinding tebal, tanpa pernah melihat sesuatu pun dari dunia luar” (surat ke Stella Zeehandelaar, 25 Mei 1899). Namun, ia tak sungguh terasing. Ia jadikan berbagai bacaan Belandanya sebagai jalan ke dunia luar.

Kartini pun sebal pada unggah-ungguh Jawa: “Sungguh keterlaluan adat sopan-santun pada kami .. Adik saya baik laki-laki atau perempuan tidak boleh beraku-engkau kepada saya dan hanya dalam bahasa Jawa kromo mereka boleh menegur saya; dan setelah kalimat selesai mereka ucapkan, mereka harus menyembah kepada saya” (surat ke Stella Zeehandelaar, 18 Agustus 1899).

Kartini menyadari keburukan kolonialisme. Tetapi, baginya, pengetahuan dan modernitas Barat yang dibawa oleh Kolonialis Belanda itulah yang bisa menghapuskan tradisionalisme Jawa dan membebaskan wanita Jawa: “Orang menganggap penuh ‘omong-kosong’ terhadap buku-buku yang datang dari Barat .. Pendapat orang tadi tidak seluruhnya betul. Bukan hanya buku-buku yang membuat anak gadis itu .. benci akan keadaan yang sejak zaman dahulu kala telah ada dan merupakan azab bagi semua kaum yang bernama perempuan. Keinginan terhadap kebebasan, berdiri sendiri dan kemerdekaan, bukan baru-baru saja .. Keadaan dalam lingkungan yang langsung dan tidak langsunglah yang menumbuhkannya” (surat ke ny. Abendanon, Agustus 1900).

Maka, Kartini menghidupi dua ruang. Dalam banyak waktu, rumahnya, Kadipaten itu, adalah ruang dengan relasi-relasi kuasa tradisional Jawa (unggah-ungguh hirarkis dan poligami). Kedua hal itu, setidaknya, telah mendisiplinkan pikiran, tuturan dan tindakannya. Tetapi, beranda dan ruang makan, saat ayahnya menerima dan menjamu para pejabat Belanda, berubah menjadi ruang yang kritis terhadap tradisionalisme Jawa. Sebab saat itu ia bisa bertukar pikir dengan mereka. Bahkan kamar tidurnya yang sempit juga merupakan ruang yang kritis. Di situ ia bisa membaca berbagai buku atau majalah Barat, dan juga menulis surat-surat yang mempersoalkan tradisionalisme priyayi Jawa sambil sekaligus memuji modernitas Barat.

Maka, dengan mengutip Michael Foucault, saya menganggap Kadipaten, bagi Kartini, adalah sebuah heterotopia (ruang lain), yakni sebuah ruang yang menghidupi dua narasi yang bertentangan: tradisionalisme Jawa yang menindas perempuan dan modernitas Barat yang menjanjikan emansipasi perempuan dan manusia. Ia rawat narasi-narasi tentang Kadipaten itu dalam surat-suratnya.

Itu sebabnya Kartini senantiasa hidup dalam ambiguitas. Ia ambigu karena di satu sisi ia mengagumi berbagai karya seni adiluhung (seni yang penuh dengan nilai-nilai keutamaan) Jawa (batik, wayang, gamelan dan ukiran), tetapi di sisi lain ia juga geram pada tata krama adiluhung Jawa yang menindas perempuan. Ia pun memandang ayahnya secara ambigu, yaitu sebagai representasi tradisionalisme Jawa yang menindas dan sekaligus sebagai pemberi orientasi pada modernitas dan emansipasi manusia.

Maka dalam suratnya kepada Stella ia menulis, bahwa ia tak akan mampu melawan seandainya ayahnya memintanya untuk menikah: “Kamu selalu mempertentangkan ‘harus’ dengan ‘saya mau’. Terhadap orang lain, saya pasti akan berbuat demikian juga, tetapi terhadap Ayah, saya tidak akan sanggup, lebih-lebih sekarang. Apa yang harus saya lakukan tidak saya pandang sebagai suatu ‘keharusan’, tetapi sebagai sesuatu yang dengan sukarela saya tanggung untuk ‘beliau’. Saya mengarang, melukis dan mengerjakan semuanya, karena Ayah menyenangi hal seperti itu. … Kasih sayang saya pada Ayah tak terkatakan! Saya akan teramat susah, kalau sekiranya Ayah menahan cita-cita saya untuk bebas. Tetapi akan lebih tak terhingga lagi sedih hati saya, jika keinginan saya yang sungguh-sungguh dipenuhi, tetapi saya harus kehilangan cinta kasih Ayah” (surat ke Stella Zeehandelaar, 23 Agustus 1900).

Berbagai bentuk relasi kuasa di ruang-ruang itu mendisiplinkan pikiran dan strateginya saat melawan tradisionalisme Jawa. Perlawanannya menjadi tak konfrontatif, tetapi subversif (merongrong). Ia menerima keberatan ayahnya, lewat Abendanon, untuk membatalkan rencana studinya di Belanda. Ia menerima lamaran Bupati Rembang yang berselir tiga itu. Namun, semuanya dengan syarat ia boleh mendirikan sekolah perempuan, tak melakukan bentuk-bentuk tertentu di upacara pernikahannya, dan suaminya tak akan menikah lagi. Ambiguitas dan kesubversifan ini, saya kira, salah satu sumbangan terbesarnya bagi gerakan perempuan. Pada akhirnya Kartini kalah, tapi ia telah secara radikal dan subversif melawan.

Maka, saya setuju Goenawan Mohamad yang mengajak kita untuk tidak melihat heroisme Kartini. Karena Kartini memang melawan dalam ambiguitasnya. Tapi saya tak setuju dengan Goenawan Mohamad yang cenderung tak mengakui perlawanannya selain kekalahan tragisnya atas berbagai harapan yang ia lontarkan dalam surat-suratnya:

Maka, kisah Kartini jadi penting bukan karena heroismenya, melainkan karena kegagalannya: dialah perempuan yang mencoba menunggang gelombang―khas suara generasi muda―tapi terjebak dalam palung ke-tua-an. Dalam masyarakatnya, panutan adalah ingatan. Yang membentuk adalah pengulangan khasanah yang disusun generasi tua. Tradisi menentukan hampir segalanya. … Pandangan bahwa “tua itu baik” itu bahkan berlanjut sampai hari ini. Dalam nyanyian nasional yang memujanya, Kartini dipanggil “Ibu kita”, bukan “sang pelopor”. Citranya tak lagi sebagai bagian dari sebuah pergerakan progresif, melainkan sebagai pengayom struktur yang konservatif. Tak mengherankan bila Hari Kartini adalah hari ketika para perempuan berpakaian adat, bukan berpakaian pilot atau atlit angkat besi. … Padahal jika kita ingin mengenang Kartini dengan baik, kita harus mengenang tragedinya (Catatan Pinggir, Tempo, Edisi. 44/XXXV/25 – 31 Desember

*Donny Danardono, adalah Dosen di Fakultas Hukum Universitas Katolik Soegijapranata Semarang

*] Tulisan ini pernah disampaikan oleh penulis di seminar “Relevansi Gagasan, Pemikiran dan Perjuangan Kartini” di PSW Unika Soegijapranata pada 19 April 2013.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!