Kelembagaan Partai Politik tak Direformasi, Sebab dari Buruknya Pemerintahan Hasil Pemilu dan Pilkada

Pemilihan Kepala daerah (Pilkada) serentak akan dilakukan pada 27 Juni 2018. Rumah Pemilu dan Perludem mempunyai sejumlah catatan penting tentang Partai Politik (Parpol) dan demokrasi di Indonesia yang berakibat pada Pilkada dan Pemilu di Indonesia

*Amalia Salabi- www.Konde.co

Reformasi politik 1998 dilakukan tanpa perubahan berarti terhadap institusi partai politik. Indonesia telah melakukan 4 kali perubahan terhadap Undang-Undang Partai Politik, namun kondisi ini tidak menyelesaikan permasalahan yang sebenarnya, hal ini terbukti dengan tidak adanya mekanisme akuntabilitas keuangan partai politik dan tidak adanya demokrasi di internal partai.

“Dua hal itu adalah jantung dari partai politik yang menjadi pilar demokrasi. Tapi dua ini justru tidak pernah dibenahi,” kata Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, pada diskusi “20 Tahun Reformasi Pemilu” di Sultan Agung, Jakarta Selatan (29/5/ 2018).

Tak adanya pembenahan secara serius terhadap partai politik menyebabkan demokrasi berjalan di tempat. Utak-atik sistem Pemilu menjadi kesia-siaan, sebab partai politik, sebagai pencipta dan hasil dari sistem pemilu, masih tetap mempunyai ciri khas sentralistik dan non demokratis Orde Baru.

Usep Hasan Sadikin, peneliti Perludem menjelaskan lebih lanjut. Ia menggelitik ingatan publik dengan pernyataan, “Dari 6 nama yang dianugerahi Bung Hatta Anticorruption Award, tak ada satu pun yang berasal dari partai politik.”

Menurutnya, partai politik merupakan lembaga demokrasi yang semakin buruk pasca reformasi.  Hal ini dibuktikan oleh salah satunya, pengetatan syarat pembentukan partai politik oleh partai-partai parlemen.  Jika pada awal masa reformasi syarat pembentukan partai politik mudah, syarat ini diperketat secara berangsur. Partai politik menyebabkan praktek oligarki menggurita dan demokrasi semakin eksklusif.

“Syaratnya kan berat, harus punya kantor tetap dan keanggotaan tetap di 100 persen provinsi, 75 persen kabupaten/ kota, dan 50 persen kecamatan. Ini membuat hanya orang yang punya uang banyak yang bisa bikin partai,” jelas Usep.

Kesalahan fatal dalam pengaturan soal partai politik tertuang di dalam definisi partai politik di UU Partai Politik. Partai politik dipaksa untuk menjadi institusi yang bersifat nasional, sehingga hanya identitas mayoritas yang dapat bertahan dalam sistem politik pasar.

“Ada identitas-identitas lokal, seperti misal partai buruh dan partai kristen. Mereka gak bisa menang, bahkan ikut Pemilu, karena identitas mereka tidak banyak untuk dipaksa menjadi nasional,” terang Usep.

Adapun Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, menambahkan bahwa belum ada keterhubungan antara sistem kepartaian dengan sistem pemerintahan dan sistem pemilu. Partai politik parlemen mencampur-adukkan syarat pendirian partai politik dengan syarat kepesertaan pemilu yang sejatinya merupakan dua hal berbeda.

“Partai politik adalah refleksi kebebasan berserikat. Sedangkan partai politik peserta Pemilu, partai memang harus menjadi institusi yang teruji. Ketika syaratnya disamakan, ini kekeliruan dari partai-partai parlemen yang memandang bahwa partai politik secara otomatis akan jadi peserta pemilu,” urai Titi.

Titi menyayangkan kesalahan paradigma partai-partai parlemen terhadap syarat pendirian partai politik. Jika pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hendak mengefektifkan sistem kepartaian, melimitasi kebebasan berserikat adalah obat yang salah.

Pendapat Titi senada dengan pendapat Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI periode 2012-2017, Hadar Nafs Gumay. Hadar menyebut partai politik, dalam perjalanannya, telah mendistorsi semangat perubahan yang dibawa oleh Reformasi 1998. Salah satu hal yang disinggung yakni, pengaturan keuangan partai politik yang tak berangkat dari kebutuhan.

“Yang diperlukan sesungguhnya adalah menata laporan keuangan partai agar transparan dan akuntabel. Tapi, partai politik malah memperbesar sumbangan dana kepada partai. Itu tidak diperlukan. Yang kita perlukan adalah partai melaporkan keuangannya,” tegas Hadar.

Perludem dan Hadar bersepakat bahwa perlu ada UU tentang keuangan partai politik yang mengintegrasikan antara keuangan partai politik dengan dana kampanye. Selama partai tak dapat mempertanggungjawabkan keuangannya, masyarakat sulit berharap akan adanya demokrasi yang substansial dan berkeadilan.



(Tulisan ini atas kerjasama rumah Pemilu, www.Konde.co dan Perludem. Tulisan pernah dimuat di www.rumahpemilu.org)

(Foto/ Ilustrasi)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!