Seberapa Penting Identitas bagi Perempuan?

*Alea Pratiwi- www.Konde.co

Seberapa penting mempertanyakan identitas seseorang? Identitas perempuan?

Saya agak risih ketika ditanya tentang: apa agamamu? Mengapa agamamu berbeda dengan agama saudaramu?

Padahal buat saya, ini semua adalah pilihan personal. Soal agama, keyakinan dan pilihan hidup.

Dan tak jarang, dalam pertanyaan soal identitas, kadang juga disematkan stigma dan diskriminasi.

Pernah saya ditanya seseorang dalam perjalanan saya pulan. Ia bertanya tentang mengapa saya lahir di daerah konflik? Jika saya bercerita banyak hal, pasti ia akan mengidentifikasi saya sebagai orang yang emosional, suka perang dan mengalami persoalan psikologi. Padahal identifikasi ini tidaklah tepat.

Jika saya bilang bahwa saya adalah seorang pemusik, maka orang yang saya temui akan mengidentifikasi saya sebagai seniman, sulit mencari uang, hidup antah berantah. Padahal saya tak begitu. Dan tentu tak semua pemusik begitu. Banyak orang lain mengalaminya diluar pemusik.

Jika saya bilang bahwa wajah saya tak mirip satu sama lain dengan saudara saya yang lain, pasti ada yang bertanya: mengapa kami tidak mirip? Apa yang terjadi?

Padahal kadang kita tidak tahu mengapa bisa terjadi seperti ini? Siapa yang ingin tinggal di daerah konflik? Siapa yang tidak ingin wajahnya mirip satu sama lain? Siapa yang tidak ingin selalu sama-sama dalam keluarga? Banyak hal yang terjadi yang kita tidak bisa cerita kepada orang yang baru kita jumpai.

Namun dari sini saya belajar menelusuri mengapa identitas menjadi begitu penting bagi orang lain. Untuk naik pesawat saja, kita harus menunjukkan KTP, menggunakan nomor ponsel, kita harus mempunyai identitas.

Betapa identitas sudah menjadi rutinitas kita tiap harinya. Jika ada salah satu tanda identitas kita yang hilang, seolah tamatlah riwayat hidup kita.

Namun boleh saja khan jika kita merasa tidak nyaman dengan stigma yang dilekatkan pada identitas ini?

Saya jadi teringat dengan bacaan saya waktu sekolah menengah tentang Amin Maalouf, seorang jurnalis dan penulis yang menuliskan tentang buku “In the Name if Identity.”

Amin Maalouf lahir di Beirut, Lebanon. Ketika ia ke luar negeri dan ia menyatakan bahwa ia berasal dari Lebanon, semua orang lalu mengidentifikasi Maalouf sebagai orang yang senang berperang dan senang konflik.

Amin Maalouf membicarakan ulang akan arti dan makna dari identitas, yang selalu menuai teror, konflik, dan peperangan. Identitas yang disematkan, seolah-olah kita semua tahu, bahwa identitas adalah total, terberi, tak pernah berubah, mati, membeku, dan seolah ada dengan sendirinya tanpa perlu dipertanyakan.

Dalam identitas inilah justru banyak orang yang merasa sama menjadi satu dan kemudian malah menjauhkan orang lain yang punya pilihan berbeda. Disinilah kemudian banyak timbul konflik.

Padahal tentu saya tak mau menjadi seperti ini. Boleh tidak jika ada orang bertanya, maka saya tidak mau menyebutkan jika saya dulu lahir di daerah konflik? Karena saya sendiri ketika itu tidak pernah tahu mengapa konflik selalu terjadi.

Salah satu feminis dan penyair, Audre Lorde pernah menuliskan tentang tentang identitas personal itu bisa ditemukan dalam hubungan antara bagian-bagian hidup yang berbeda. Lorde juga menuliskan bahwa identitas personal sering dikaitkan dengan aspek visual dari seseorang, bahwa ketika identitas dipilih hanya untuk apa yang orang lihat, beberapa orang, bahkan dalam kelompok minoritas bisa menjadi tak terlihat. Ini penting karena identitas adalah lebih dari sekadar apa yang orang lihat atau pikirkan karena berkaitan dengan sesuatu yang harus diartikan oleh masing-masing individu.

Lalu bolehkah jika ada orang lain yang tanya, saya hanya akan bilang: saya terlahir sebagai perempuan, berasal dari daerah konflik namun saya anti pada kekerasan?

Jangan identifikasi saya macam-macam lagi. Itu saja. Karena saya tak mau ada stigma lagi. Stigma ini bisa jadi merupakan hal berat yang harus disandang seseorang, hanya karena identitasnya berbeda dengan orang yang ada di sekitarnya.

Ada banyak orang yang harus berjuang dengan identitasnya yang dilekatkan secara buruk. Tak semua orang bisa melawan ini. Ada banyak identitas yang membuat orang tak bisa keluar dari stigma yang dilekatkan.

Jangan identifikasi saya macam-macam lagi. Itu saja

(Referensi: http://catatanmerahnaga.blogspot.co.id/2017/07/amin-maalouf-in-name-of-identity.html)

(Foto/Ilustrasi: Pixabay)

*Alea Pratiwi,Blogger

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!