Aceh Pasca Perjanjian Helsinki, Kontrol atas Tubuh Perempuan dan Kebijakan yang Tak Berpihak

*Luviana- www.Konde.co

Jakarta, Konde.co- Bagaimana kondisi perempuan di Aceh pasca 13 tahun perjanjian Helsinki? Sejumlah kebijakan yang mengontrol tubuh perempuan merupakan catatan yang paling mengemuka terhadap kondisi perempuan disana.

Sejak ditandatanganinya perjanjian perdamaian antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka yang kita kenal dengan Perjanjian Helsinki, kondisi perempuan Aceh masih hidup dalam rasa tidak aman.

Solidaritas Perempuan mempunyai sejumlah catatan soal kondisi perempuan Aceh saat ini.

Selama ini, Aceh dikenal sebagai salah satu wilayah yang memiliki banyak cerita sejarah di Indonesia, mulai sejarah konflik berkepanjangan selama 32 tahun, hingga bencana alam tsunami pada Desember tahun 2004 silam yang semakin memporak porandakan Aceh. Tak kurang, 200.000 jiwa meninggal saat terjadinya bencana tersebut.

Upaya penandatanganan nota kesepahaman antara pemerintah RI dan GAM yang dilakukan pada 15 Agustus 2015 untuk menghentikan konflik bersenjata selama 32 tahun di Aceh merupakan awal dan harapan baru bagi masyarakat Aceh khususnya perempuan.

Penandatanganan nota kesepahaman itu telah menghasilkan beberapa pasal-pasal yang menjadi kesepakatan bersama yang harus disetujui salah satunya tentang legislatif Aceh yang akan melakukan penyusunan draft ulang aturan-aturan di dengan dengan menggunakan prinsip HAM universal yang ada dalam konvensi internasional United Nation (UN) tentang hak sipil politik dan juga hak ekonomi, sosial dan budaya.

“The legislature of Aceh will redraft the legal code for Aceh on the universal principles of human rights as contained in the International Covenant of the United Nations on the Rights of Civil and Political Rights and on Economic, Social and Cultural Rights (Paragraf 1.4.2 MoU Helsinki)”

Ketua Solidaritas Perempuan, Puspa Dewy menyatakan bahwa perjanjian ini seharusnya ditaati oleh kedua pihak yang saat itu terlibat dalam perjanjian yang telah disepakati. Sayangnya, hal itu tidak sesuai dengan implementasi pasca terjadinya penandatanganan nota kesepakatan tersebut.

“Pemenuhan hak perempuan pasca konflik dan tsunami juga tidak maksimal terjadi. Kenyataannya masih banyak sekali korban konflik yang masih belum terpenuhi haknya . Perempuan yang kemudian menuntut haknya, justru kembali mendapatkan tindakan kekerasan dan ketidakadilan.”

Meskipun, Konvensi Internasional tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi (CEDAW) telah diratifikasi dan diundangkan melalui UU No. 7/1984. Hal ini tentu merupakan refleksi dari pengakuan negara atas berbagai tindak diskriminasi dan kewajiban serta upaya-upaya untuk penghapusannya.

Dalam prakteknya para perempuan yang menggugat ini kembali mengalami diskriminasi dan ancaman fisik lainnya.

Perda Diskriminatif untuk Perempuan

Penetapan Aceh sebagai daerah Syariat Islam, mendorong pemerintah melahirkan berbagai kebijakan diskriminatif di Aceh.

Kebijakan ini kemudian memicu munculnya kebijakan lain yang banyak menjadikan perempuan sebagai objek dari kebijakan tersebut, seperti aturan perempuan memakai rok, peraturan jam malam bagi perempuan, peraturan perempuan dilarang mengangkang di sepeda motor, hingga menghasilkan hukum jinayat dan hukum acara jinayat di Aceh.

Kebijakan diskriminatif yang berlaku di Aceh pun, telah berdampak kepada perempuan dan kelompok minoritas lainnya. Kebijakan yang dilahirkan telah membatasi akses dan kontrol perempuan terhadap ruang publik dan sumber kehidupannya. Peran-peran perempuan kemudian dikembalikan ke ruang domestik.

Tak hanya itu, menurut Puspa Dewy, perempuan juga masih minim sekali dilibatkan dalam rapat-rapat pengambilan keputusan dan cenderung hanya dilibatkan dalam urusan domestik atau pengaturan keuangan. Padahal pelibatan perempuan dalam berbagai ruang publik, termasuk dalam pengelolaan pertanian atau pengelolaan hutan juga sangat penting, karena perempuan dan alam sebagai sumber kehidupannya sangat erat kaitannya.

Implementasi kebijakan diskriminatif juga memunculkan persoalan baru. Kebijakan Qanun Jinayat misalnya, dimana Solidaritas Perempuan mencatat pada tahun 2017 terdapat 33 kasus pencambukkan yang terjadai di Aceh, diantaranya persoalan tuduhan khalwat dan zina .

“Beberapa diantaranya kemudian diidentifikasikan sebagai korban salah tangkap dari polisi Syariat di Aceh. Selain itu, kasus persekusi yang terjadi akhir-akhir ini di Aceh juga meningkat. Kasus persekusi terakhir yang terjadi di Aceh, yaitu penangkapan ketua Bapedda Langsa yang ditangkap dan dimandikan dengan air comberan bersama istrinya,” ungkap Puspa Dewy.

Selain itu peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh juga memperlihatkan bahwa kebijakan-kebijakan yang diberlakukan di Aceh selama ini tidak berdampak dalam pengurangan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh.

Pada tahun 2017 Dinas Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) mencatat ada 1.791 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang naik dari tahun sebelumnya 2016 ada sebanyak 1.648 .

Solidaritas Perempuan menyimpulkan bahwa masifnya kebijakan diskriminatif di Aceh menjadikan kondisi perempuan dalam situasi tidak aman. Perempuan terbatasi ruang geraknya dalam beraktivitas maupun menyampaikan pandangannya. Hasil pemantauan perempuan di Aceh menunjukkan bahwa hanya 20% persen dari responden yang mengatakan tidak merasa aman, namun pada grafik tentang pengetahuan tentang pengetahuan dan pemahaman terhadap kebijakan yang berlaku di Aceh, hampir 85% responden mengatakan perlu adanya sosialisasi qanun jnayah dan dianggap sebagai kebijakan yang melindungi perempuan, namun faktanya belum mampu mengurangi angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh.

“Dan pada kenyataannya, setelah 13 perjanjian Helsinki, perempuan semakin tidak mempunyai akses yang luas pada ruang gerak perempuan dan banyaknya kontrol atas tubuh perempuan. Seharusnya perdamaian tidak hanya dimaknai sebagai berakhirnya konflik bersenjata, tetapi juga dimaknai sebagai damai, aman, bebas dari kekerasan,” ujar Puspa Dewy.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay.com)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!