Perempuan Tanpa Laki-Laki



“Kami diajarkan untuk tidak mempercayai diri sendiri, penilaian kami sendiri, tapi kami diminta untuk bersikap bodoh dan menunggu laki-laki membuat keputusan. Sebagai lesbian, ‘perempuan tanpa laki-laki’, kami selalu menjadi yang terendah dari yang terendah” (Walter dalam Gonda)

Poedjiati Tan – www.konde.co

Sudah beberapa kali saya menerima konsultasi teman-teman Lesbian yang ingin menikah. Pernikahan ini akan dilakukan secara berpura-pura.

Rata-rata karena mereka selalu terdesak oleh orang tua. Hal ini terjadi karena orang tuanya sudah mulai curiga jika anak perempuannya adalah seorang lesbian, orangtuanya ingin anak perempuannya cepat menikah, dan tradisi keluarga yang mengharuskan anak perempuan agar cepat-cepat menikah.

Lalu proses yang terjadi selanjutnya, ada yang ingin membahagiakan orang tuanya dengan memenuhi permintaan itu. Ada pula yang mengatakan ibunya sakit dan ingin dia segera menikah. Lalu mereka meminta temannya yang laki-laki dan diajak untuk menikah secara pura-pura.

Para perempuan sejak kecil memang dididik untuk harus menikah, menikah cepat. Selain itu selalu didik harus bisa masak, harus pintar mengurus rumah agar suami senang, harus bisa merawat anak dengan baik. Jika ada pilihan di luar itu, maka perempuan tidak genap hidupnya jika tidak menikah.

Tidak ada pelajaran bahwa perempuan bisa bebas menentukan pilihannya. Bisa bebas menentukan untuk menikah atau tidak, untuk jatuh cinta dengan laki-laki atau perempuan, atau boleh berelasi dengan perempuan.

Kita memang dilahirkan di dunia patriaki yang tidak memiliki banyak pilihan buat perempuan selain menjadi isteri, menjadi ibu dan menurut kepada suami. Dari kecil perempuan nyaris selalu dididik untuk menjadi seperti itu.

Sejak lahir kebebasan perempuan sudah dibatasi dan ditentukan oleh keluarga atau masyarakat. Bahkan untuk memiliki cita-cita yang tinggi saja, para perempuan harus mendahulukan saudara laki-lakinya atau berkompromi dengan ekonomi keluarga. Feminis Simone de Beauvoir Feminis Simone de Beauvoir pernah   membahas
persoalan Ada perempuan (being of woman) secara filosofis, dengan mengajukan
pertanyaan awal ‘apa itu perempuan?’ 
(what  is  a 
woman?). Pertanyaan mendasar muncul dalam jawaban  seseorang 
tidak  dilahirkan sebagai  perempuan 
tetapi  menjadi perempuan (One is
not born a woman but rather becomes a woman), yang dapat ditarik lebih jauh
lagi pada analisa bahasa, makna dan kekuasaan. Melalui  pemikiran 
Simone  de Beauvoir kita dapat
memahami mengapa eksistensi 
perempuan  selama  ini ditempatkan sebagai yang lain (the other),
bahwa perempuan itu bukan dilahirkan, tetapi untuk dididik, dibesarkan dan
dibentuk agar menjadi perempuan yang sesuai dengan standart di masyarakat dan
selalu menjadi the second sex atau menjadi masyarakat kelas dua

Bila perempuan heteroseksual dianggap sebagai the second sex, maka para perempuan lesbian akan lebih terpinggirkan lagi dan mungkin menjadi the third atau fourth sex.

Dalam sistem dunia patriarki yang selalu mengunggulkan kaum laki-laki, perempuan lesbian harus berjuang akan identitas dirinya. Dia tidak hanya harus berjuang akan keberadaannya sebagai perempuan yang hidup di dunia maskulinitas tetapi juga harus menghadapi kelompok heteroseksual yang selalu meminggirkan mereka, yang selalu mencurigai dirinya dan dianggap akan menularkan kepada kelompok heteroseksual.

Apalagi dengan meningkatnya isu moralitas dan keagamaan di Indonesia membuat visibilitas gerakan lesbian atau keberadaan lesbian makin terancam di masyarakat. Penerimaan masyarakat terhadap hal-hal yang beda di luar dirinya menjadi semakin sulit. Isu homoseksual dipakai oleh kelompok politik yang mengatasnamakan moral dan agama sebagai kampanye perolehan suara, isu inilah yang selalu menjadikan homoseksual seperti lesbian menjadi bulan-bulanan politik. Masyarakat selalu diberikan ruang pilihan sulit, untuk berdiri di atas agama, atau berdiri di atas perbedaan. Ini sangat menyedihkan mengingat agama sebenarnya adalah ruang yang mengakui setiap perbedaan.

Dari sini saya lantas berpikir, apakah perempuan harus selalu hidup bersama laki-laki? Kawan saya memutuskan untuk melajang dan hidup sendiri. Kawan saya yang lain setelah ditinggal ayahnya meninggal, ia hidup bersama ibunya. Kawan saya yang lain hidup dengan tante yang merawatnya dari kecil. Tak semua perempuan harus hidup bersama laki-laki. Ada banyak pilihan untuk perempuan.

Reff :

Gonda, Caroline. 2009. “Teori Lesbian” dalam Pengantar Teori-teori Feminis Kontemporer, Stevi Jakson dan Jackie Jones (ed), Jala Sutra. Yogyakarta.

Poerba, Christ. 2013. “Lesbian sebagai Subject in Optima Forma: dalam Mendengar Suara Lesbian Indonesia, Kumpulan buah pikirkan aktivis feminis & pluralis, Ardhanary Institute, Jakarta

Saptandari, Pinky.  2013, Beberapa Pemikiran tentang Perempuan
dalam Tubuh dan Eksistensi, Jurnal BioKultur, Vol.II/No.1/Januari-Juni 2013.

picture : Painting Windows On Iran Iranian Artists Paintings

source : https://www.wcdf-france.com/iranian-artists-paintings/

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik. Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!