Kekerasan Berbasis Teknologi, Fakta Baru Kekerasan Terhadap Perempuan

Poedjiati Tan dan Luviana- www.Konde.co

Jakarta, Konde.co- Kekerasan dengan penggunaan teknologi merupakan fakta-fakta baru yang dicatat oleh Komnas Perempuan. Hal ini menguat dalam paparan Catatan Tahunan Komnas Perempuan yang diadakan di Jakarta, 6 Maret 2019 lalu.

Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin menyatakan bahwa penggunaan teknologi untuk menyebarkan konten-konten misalnya dirasakan telah merusak reputasi korban (malicious distribution). Kekerasan berbasis cyber ini juga merupakan yang dominan yang terjadi di sepanjang tahun 2018. Kekerasan ini ditujukan untuk mengintimidasi atau meneror korban, dan sebagian besar dilakukan oleh mantan pasangan baik mantan suami maupun pacar.

“Pola yang digunakan yaitu korban diancam dengan menyebarkan foto atau video korban yang bernuansa seksual di media social. Jika korban menolak berhubungan seksual dengan pelaku atau korban tidak mau kembali berhubungan dengan pelaku, maka korban akan mendapatkan kekerasan.”

Kekerasan berbasis cyber meningkat setiap setiap tahunnya, dan tidak sepenuhnya dikenali oleh korban. Di sisi lain, layanan bagi korban kekerasan berbasis cyber belum sepenuhnya terbangun dan bisa diakses korban secara mudah, baik mekanisme pelaporan, maupun pendampingan korban.

Sementara hukum yang kerap digunakan untuk penanganan kasus-kasus seperti ini adalah UU Pornografi dan UU ITE, yang dalam penerapannya justru dapat mengkriminalkan korban.

“Maka dalam kasus-kasus seperti ini, perempuan korban mengalami ketidaksetaraan di depan hukum, karena hukum yang tersedia lebih berpotensi menjerat korban dan mengimpunitas pelaku kekerasan,” kata Mariana.

Fakta-fakta Baru Kekerasan Terhadap Perempuan

Fakta fakta baru lain juga menunjukkan bahwa marital rape atau perkosaan dalam perkawinan juga banyak terjadi, lalu kekerasan seksual terhadap disable dan kekerasan dalam pacaran. Kekerasan dalam pacaran terjadi seperti korban diancam yang bernuansa kekerasan seksual atau ingkar janji perkawinan.

Yang lainnya ada Incest yang menjadikan anak-anak perempuan menjadi korban. Dan pelaku yang paling banyak melakukan adalah ayah tiri dan paman. Jadi yang paling banyak terjadi adalah kekerasan dalam pacaran dan kekerasan dalam rumah tangga atau kekerasan di ranah-ranah personal.

“Ini misalnya terjadi ketika korban mengalami pemaksaan ketika sedang haid dan dipaksa untuk melakukan hubungan seksual, melakukan sodomi hingga korban mengalami pendarahan.”

Komnas Perempuan juga mencatat bahwa jumlah kekerasan mengalami kenaikan hampir 14 persen di tahun 2018. Keberanian pelaporan kasus perkosaan dlm perkawinan adalah keberanian perempuan.

Anggota DPR, Rahayu Saraswati dalam kesempatan yang sama menyatakan bahwa banyaknya kekerasan terhadap perempuan menandakan pekerjaan rumah yang tidak mudah. Ia mencatat bahwa banyak kalangan termasuk pemerintah maupun anggota DPR belum memahami makna ini. Mendengar kata gender saja seringkali mereka tidak paham dan masih saja ada yang mengkaitkan dengan agama. Maka penting sekali untuk menggunakan kata-kata dan makna-makna yang penegak hukum bisa memahami ini.

“Kadang-kadang mendengar kalimat kekerasan dan gender saja masih kebingungan, masih banyak yang mengkaitkan dengan isu agama, maka penting untuk menggunakan istilah agar menjadi strategi yang bisa masuk di kalangan penegak hukum.”

Catatan tahunan ini dikeluarkan setiap tanggal 8 Maret sebagai bentuk solidaritas internasional agar perempuan di seluruh dunia terbebas dari diskriminasi dan kekerasan.

Setiap tahun Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memperingati Hari Perempuan Internasional salah satunya dengan meluncurkan Catatan Tahunan (CATAHU) Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia.

Tahun 2019 ini, Komnas Perempuan meluncurkan CATAHU dengan judul “Korban Bersuara, Data Bicara Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai Wujud Komitmen Negara” yang merupakan pendokumentasian berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani oleh lembaga pengadalayanan, baik yang diselenggarakan pemerintah maupun organisasi masyarakat, serta pengaduan yang langsung datang ke Komnas Perempuan.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!