Bagaimana Keterlibatan Perempuan dalam Gerakan Sosial di Indonesia?

*Kustiah- www.Konde.co

Jakarta, Konde.co- Bagaimana situasi perempuan dalam gerakan sosial di Indonesia? Apakah sudah ada narasi perempuan disana? Demikian benang merah diskusi perempuan dan gerakan sosial di Indonesia yang diadakan Komnas Perempuan untuk memperingati tragedi Mei 1998 lalu, pada awal Mei 2019 lalu di Jakarta.

Ketiga pembicara yang hadir dalam diskusi ini Sri Palupi (peneliti ECOSOC Institute), Ruth Indiah Rahayu (peneliti Inkrispena), dan Iswanti (peneliti) adalah sosok yang terlibat intens sejak menjadi relawan kemanusiaan di berbagai lembaga sejak Mei ‘98 hingga saat ini.

“Dalam diskusi-diskusi tentang reformasi kita jarang menemukan nama-nama perempuan yang menjadi narasumber, dalam ide dan gagasan atau dalam analisis sejarah perubahan, ” ujar Mariana Amiruddin, Komisioner Komnas Perempuan, saat mengantar diskusi.

Diskusi yang menghadirkan tiga pembicara perempuan menurut Mariana, tak lain sebagai upaya untuk mengintegrasikan narasi perempuan di dalam narasi sosial maupun kebangsaan. Juga untuk mengetahui bagaimana peta gerakan sipil yang di dalamnya terdapat gerakan perempuan dalam kerangka HAM dan demokrasi sepanjang 20 tahun reformasi.

Ruth Indiah Rahayu, peneliti Inkrispena membagi gerakan perempuan dalam beberapa fase.

Pertama, dia menyebut akhir dekade 1990 an merupakan awal manis gerakan perempuan. Di tahun-tahun ini konsolidasi gerakan perempuan Indonesia yang bangkit sejak dekade 1980 an dianggap paling solid, secara ideologi semangat yang membuat kebangkitan gerakan perempuan pada masa itu adalah melawan ideologi gender Orde Baru yang terumuskan dalam Panca Dharma Wanita.

“Ideologi ini masuk ke dalam strategi politik nasional guna membungkam radikalisasi perempuan. Itu sebabnya aktivitas berorganisasi bagi perempuan di subordinasikan seturut pekerjaan dan jabatan suami,” ujar Ruth Indiah Rahayu dalam presentasinya.

Secara politik, konsolidasi gerakan perempuan di Indonesia semakin kuat salah satunya adanya legitimasi dari konferensi-konferensi internasional yang diselenggarakan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Dua konferensi yakni Konferensi Internasional Hak Asasi Manusia (HAM) yang diselenggarakan di Wina (Austria) pada 1993, yang menghasilkan Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan. Dan Konferensi Perempuan Internasional di Beijing pada 1995 yang menghasilkan mandat untuk mengentaskan perempuan dari posisi marginal baik akibat pembangunanisme maupun strategi politik nasional.

Fase kedua yang membuat gerakan perempuan makin solid adalah saat terjadi krisis 1996. Krisis mengakibatkan bahan pangan langka dan terjadi kelaparan tersembunyi. Dan muncullah gerakan ibu peduli bangkit di daerah-daerah. Mereka membangun koperasi di kampung-kampung dan berusaha memotong mata rantau distribusi pangan yang panjang dari petani ke konsumen.

“Pada masa pendudukan Dewan Perwakilan Rakyat DPR RI di Senayan oleh gerakan mahasiswa, gerakan ibu peduli mengonsolidasikan ibu-ibu rumah tangga untuk membuka dapur umum dan menyuplai logistik bagi mahasiswa. Gerakan ini menyebar ke sejumlah ibu kota provinsi di Indonesia, ” ujarnya.

Dan yang ketiga adalah agenda politik perempuan yang memperjuangkan kuota 30 persen representasi perempuan dalam lembaga politik formal. Agenda ini merupakan mandat Kongres Perempuan pasca Reformasi di Yogyakarta 22 Desember 1998.

Sejak Pemilu 1999, gerakan afirmatif untuk kuota 30 persen mengonsolidasi gerakan perempuan secara nasional. Hasilnya, UU Pemilu memastikan kuota 30 persen bagi representasi perempuan.

Namun, di balik gemilang torehan gerakan perempuan, Rahayu mengingatkan tantangan bagi gerakan perempuan itu sendiri. Pasalnya, kini muncul kekuatan baru yang mengatasnamakan agama untuk melancarkan wacana pro poligami, anti feminis, kesetaraan gender yang syariah, gerakan perkawinan muda ‘Yes’, gerakan membalikkan RUU PKS (RUU penghapusan kekerasan seksual) yang mereka kampanyekan sebagai RUU yang pro perzinahan dan masih banyak lagi. Upaya gerakan yang demikian menurut Rahayu sebagai bagian modus politik otoritarian.

“Jika perempuan terjinakkan, dirinya dengan mudah dapat dimobilisasi ke dalam berbagai kepentingan merawat dan men-generasi massa, ” katanya

Sementara di isu Demokrasi dan HAM, peneliti Ecosoc Right, Sri Palupi menilai Indonesia mengalami perubahan signifikan sejak pergantian rezim tahun 1998 dari pemerintahan otoriter menjadi pemerintahan yang lebih demokratis. Sayangnya, menurut Sri, perubahan itu tak membuat kualitas demokrasi dan pelaksanaan HAM menjadi lebih baik.

“Instrumen yang dibutuhkan untuk melaksanakan HAM secara normatif sudah memadai, namun penerapannya masih sangat lambat bahkan mengalami kemunduran,” ujar Sri Palupi dalam presentasinya.

Hal itu bisa dilihat dari beberapa indikasi yakni di antaranya, pertama dalam RANHAM masih ditekankan pertimbangan nilai-nilai agama, budaya, adat istiadat. Kedua, rancangan HAM dibuat bukan mengacu pada norma dan standar HAM melainkan pada UU Nomor 39/1999 tentang HAM yang memuat 10 hal dasar. Ketiga, kegiatan RANHAM dibuat tidak didasarkan pada persoalan HAM yang riil dihadapi. Keempat, pelanggaran HAM terus terjadi dan impunity terhadap pelaku pelanggaran HAM terus berulang dan masih ada beberapa indikasi lainnya.

“Pemerintah masih meragukan universitalitas HAM dan masih memahami dan menerima HAM setengah hati, ” kata Sri.

Ke depan, Sri memperkirakan pelaksanaan HAM termasuk hak ekonomi, sosial, budaya tidak akan banyak berubah mengingat orientasi kebijakan ekonomi dan pembangunan serta indikatornya juga tak berubah. Yakni basisnya pada uang dan bukan HAM.

Lalu, bagaimana kondisi masyarakat sipil? Menurut Sri sepanjang 5-10 tahun terakhir sektor NGO mengalami banyak perubahan. Ada fenomena pergeseran peran. Jika pada masa reformasi pertumbuhan jumlah keragaman National Government Organisation atau NGO membuat NGO menjadi salah satu alternatif lapangan pekerjaan bagi kami muda, maka pasca reformasi NGO malah menjadi lahan perekrutan kader-kader politik dan pintu masuk ke dalam ruang-ruang politik kekuasaan.

“Sektor NGO yang menjadi jantung masyarakat sipil kian bergeser menjadi ruang ‘abu-abu’, ” ujarnya.

Sri menyimpulkan, secara umum kondisi NGO mengalami pelemahan yang dipengaruhi kondisi internal dan eksternal NGO.

Ke depan menurut Sri penting bagi NGO untuk mewujudkan ruang refleksi dan konsolidasi bersama, maredefinisikan posisi NGO di hadapan pemerintah dan korporasi, dan melakukan penguatan kapasitas sumber daya manusia dan organisasi ke arah kemandirian.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

*Kustiah, setelah menjadi jurnalis di sejumlah media di Indonesia seperti Detik.com, Jurnal Parlemen dan Harian Nasional, kini Kustiah menjadi pengelola www.Konde.co

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!