Tentang Perempuan yang (Memilih) Tinggal Sendiri

*Ruby Astari- www.Konde.co

Mengapa perempuan yang tinggal sendiri selalu menjadi pembicaraan banyak orang? Apa yang salah dengan perempuan yang tinggal sendiri? Mengapa laki-laki yang memilih tinggal sendiri tidak mendapatkan stigma ini? Sedangkan perempuan yang tinggal sendiri selalu mendapat stigma yang buruk.

Singkat cerita, saya pernah bercerita pada seorang rekan kerja lelaki. Saya sudah lama memilih tinggal di kost, meskipun rumah keluarga juga masih berada di kota yang sama.

“Lho, kenapa nggak tinggal bareng keluarga?” tanya lelaki itu heran. Lalu, seringai jahil terbentuk di wajahnya. “Hayooo, pasti mau liar, yaaa?”

Saya tidak ikut tertawa. Saya tahu, teman saya ini pasti bermaksud untuk bercanda. Tapi dari sana pertanyaan saya timbul: memangnya mengapa bila seorang perempuan yang kebetulan masih muda dan lajang memilih untuk tinggal sendiri? Kenapa tidak mau sama keluarganya atau setidaknya menunggu sampai dilamar suami sebelum keluar meninggalkan rumah orang tuanya? Pertanyaan lain yang sering muncul pasti: apakah kamu tidak takut kesepian tinggal sendiri?

Lalu apa artinya stigma liar ini? Saya tidak pernah mengerti stigma ini. Meskipun sudah lama menetap di ibukota, masih saja banyak yang selalu mempertanyakan dan bahkan mengecam pilihan-pilihan perempuan. Perempuan yang masih tinggal bersama keluarganya, baik masih lajang atau saat sudah menikah, cenderung dianggap lebih baik. Lebih baik lagi bila mau ikut keluarga suami dan mengurus keperluan semua orang di rumah.

Bagi saya, tidak ada yang salah dengan semua pilihan tersebut. Namun, sayangnya ada dua kata yang seringkali dimanipulasi masyarakat untuk membuat perempuan merasa bersalah dan ‘patuh’ dengan tuntutan sosial mereka, yaitu: ‘sabar’ dan ‘ikhlas’.

Makanya, banyak perempuan yang sebenarnya diam-diam merasa tertekan tinggal dengan keluarga suami mereka yang ternyata membuat tidak nyaman.

Bila lelaki yang memilih untuk tinggal seorang diri bahkan tidak menikah, tidak banyak yang menghakimi. Mereka selalu dianggap lebih bisa menjaga diri dan mandiri.

Bila lelaki mau berbuat sesuatu selalu ada anggapan: wajar. Bahkan, ada yang menilai mereka sebagai sosok jantan. Bagi saya, paham yang jelas-jelas salah ini sungguh memprihatinkan.

Sementara itu, perempuan yang (memilih) tinggal sendiri dianggap menyimpang dari idealisme ala masyarakat patriarki. Meskipun keluarga biologis si perempuan sudah berpikiran lebih terbuka, perempuan ini masih akan selalu dipandang egois dan tidak sayang keluarga di mata masyarakat. Pasti ada yang salah dengan perempuan ini hingga memilih tinggal sendirian.

Tentu stigma ini juga saya dapatkan ketika saya memilih untuk tinggal sendiri. Stigma sebagai perempuan yang dianggap tidak wajar dan cap sebagai perempuan kurang baik. Padahal stigma ini tidak disematkan pada laki-laki yang tinggal sendiri.

Tentu saja, saya tidak perlu membuktikan apa pun, terutama pada mereka yang merasa sudah mengetahui segalanya tentang saya. Meskipun misalnya saya seperti yang mereka bayangkan, namun buat saya itu bukan urusan mereka.

Saya merasa tidak perlu menjelaskan bahwa pengalaman hidup sendirian bagi seorang perempuan sama pentingnya dengan hal serupa bagi lelaki. Ingin bertahan hidup, manusia harus belajar mandiri. Bukan berarti tidak butuh siapa-siapa, namun belajar tetap berdaya meskipun sedang sendiri.

Pada kenyataannya, terlalu bergantung pada siapa pun bisa berbahaya. Manusia bisa menjadi lemah dan daya nalarnya menurun, kecuali bila relasinya setara. Tidak hanya keinginan satu orang yang selalu dituruti.

Justru, dengan pengalaman tinggal sendiri, perempuan juga belajar bertanggung jawab atas nasibnya sendiri. Jadi, bila saatnya memutuskan untuk berkeluarga dan bahkan mempunyai anak, mereka sudah siap bertanggung jawab untuk orang lain.

Saya malas menjelaskan semua hal itu pada si rekan lelaki. Saya hanya tersenyum geli dan menjawab begini:

“Mengapa selalu ada yang bertanya jika ada perempuan yang tinggal sendiri? Bagaimana dengan laki-laki? Apakah orang lain juga sibuk membicarakan sesibuk mereka membicarakan perempuan?.”

Lelaki itu hanya nyengir. Dia tahu saya benar. Tidak ada lagi yang perlu dibahas.

(Ilustrasi/ Foto: Pixabay)

*Ruby Astari, aktivis sosial dan penulis

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!