Perempuan mulai bergabung dengan gerakan lingkungan, tapi pelecehan dan ketidakadilan gender menghambat mereka

Apakah semuanya terlibat?

Rawpixel.com/Shutterstock

Megan Jones, Colorado State University dan Jennifer Solomon, Colorado State University

Gerakan #MeToo membawa perubahan besar pada banyak organisasi di Amerika Serikat dalam dua tahun terakhir. Walau begitu, gerakan ini masih meninggalkan banyak pertanyaan yang belum terjawab tentang bagaimana tempat kerja dapat lebih inklusif dan adil bagi perempuan dan kelompok lainnya.

Beberapa bulan lalu, sejumlah petinggi dari The Nature Conservancy memutuskan untuk keluar dari organisasi konservasi terbesar di Amerika Serikat. Mereka keluar setelah terbongkarnya kasus pelecehan seksual dan pelanggaran tempat kerja setelah adanya investigasi.

Kenyataan ini menegaskan bahwa budaya organisasi atau tempat kerja “menghambat perempuan untuk berkembang.”

Kami telah melakukan studi tentang perempuan di pucuk pimpinan lembaga yang melindungi lingkungan selama beberapa tahun terakhir. Penelitian kami berhasil menunjukkan bahwa pelecehan merupakan salah satu dari banyak tantangan yang harus dihadapi oleh para perempuan saat menjadi pimpinan. Hasil ini, sayangnya, tidak mengejutkan bagi kami.

Kehadiran perempuan dalam konservasi

Selama lebih dari 30 tahun, lembaga lingkungan hidup di Amerika Serikat mendapatkan kritikan karena kerap dipimpin oleh orang kulit putih dari golongan ekonomi kaya, dan berjenis kelamin laki-laki.

Lembaga konservasi melakukan perbaikan dengan merekrut lebih banyak staf dari latar belakang yang beragam dan bermitra lebih erat dengan pejuang keadilan lingkungan.

Hasilnya, para perempuan semakin terlibat dalam organisasi konservasi. Pada tahun 2017, 41% dari staf penuh waktu adalah perempuan. Namun, sampai saat ini belum banyak penelitian yang mendokumentasikan pengalaman mereka.

The Nature Conservancy bukanlah organisasi pertama di mana perempuan mengeluhkan iklim kerja yang menyulitkan.

Sejak tahun 2016, skandal pelecehan seksual telah ditemukan di kelompok nirlaba lainnya, seperti Conservation International dan US National Park Service.

Penelitian telah mengidentifikasi banyaknya hambatan di tempat kerja yang menyulitkan kemajuan perempuan dalam profesinya.

Hal itu meliputi adanya tantangan terhadap kompetensi mereka, perbedaan gaji dan promosi, dan pelecehan seksual.

Tantangan-tantangan ini disebut sebagai sebuah “labirin” yang menghambat perempuan untuk menduduki jabatan kepemimpinan senior.

Meski pelestarian lingkungan adalah bidang yang cenderung progresif dengan para pendukungnya menganggap mereka berjuang untuk “berbuat baik,” namun dalam sebuah studi terbaru kami menemukan bahwa para ilmuwan perempuan yang memimpin upaya konservasi menghadapi banyak dari hambatan ini.

Tantangan terkait gender di organisasi lingkungan

Kami mewawancarai 56 perempuan yang menjabat posisi kepemimpinan di organisasi konservasi non-pemerintah, lembaga federal dan negara bagian, dan organisasi lainnya di 19 negara bagian di Amerika Serikat.

Usia mereka antara 26 hingga 64 tahun dan memiliki latar belakang ilmu pengetahuan alam dan sosial yang beragam.

Dalam percakapan kami, mereka mendeskripsikan enam kategori tantangan terkait gender–ketidaksetaraan gaji dan kesulitan menegosiasikan tingkat gaji, perekrutan dan promosi yang tidak setara, dikecualikan secara informal, pelecehan seksual dan tanggapan organisasi yang tidak memadai, dan adanya asumsi bahwa mereka tidak memenuhi syarat untuk melakukan pekerjaan mereka atau tidak layak menjadi pemimpin.

Perempuan mengungkapkan tantangan-tantangan sudah ada sejak awal karier mereka, baik dalam bentuk pelecehan di lokasi-lokasi lapangan yang terpencil atau dalam bentuk anggapan bahwa ilmuwan yang sejati seharusnya tidak mengenakan sepatu hak tinggi atau riasan.

Bagi banyak perempuan, pelecehan-pelecehan tersebut berlangsung bahkan hingga mereka menjadi pemimpin senior.

Perempuan dari semua latar belakang mengatakan bahwa mereka mengalami hambatan yang sama. Sebagian besar menyatakan setidaknya ada empat tantangan yang mereka harus hadapi.

Banyak yang melaporkan mengalami pelecehan seksual, mulai dari komentar hingga kontak fisik yang tidak diinginkan. Beberapa menggambarkan atasan laki-laki atau kolega berperilaku mengancam secara verbal atau fisik.

Dorceta Taylor, seorang profesor di University of Michigan, Amerika Serikat, mengajarkan kursus tentang topik termasuk sistem pangan, sejarah dan politik lingkungan, keadilan lingkungan, dan teori sosiologis. Dia menulis laporan di tahun 2014 yang menggambarkan gerakan lingkungan Amerika Serikat sebagai gerakan orang dalam yang berkulit putih’

UMSEAS, CC BY

Dalam pandangan mereka, perilaku-perilaku ini sering tidak dilaporkan karena perempuan takut akan adanya tindakan balasan atau mereka tidak berpikir bahwa melapor akan membawa perubahan.

Dan, ketika organisasi benar-benar mengambil tindakan, dalam penelitian kami, mereka menilai bahwa tindakan itu tidak cukup. Seperti yang dijelaskan oleh salah seorang partisipan, “Saya sudah berpikir untuk melaporkan, tapi saya lalu bertanya kepada diri sendiri, kenapa saya harus lapor? Pelaku tidak akan dituntut pertanggungjawaban. Saya yang harus menanggung beban dan biasanya hanya dibalas dengan : ‘jangan terlalu diambil hati’.

Perempuan non-kulit putih menghadapi rintangan yang lebih tinggi dibandingkan rekan-rekan mereka yang berkulit putih.

Partisipan kulit hitam, Hispanik, dan keturunan Asia menggambarkan diri mereka diperlakukan berbeda sebagai pejuang lingkungan satu-satunya dari ras atau etnis tertentu dan membuat rekan-rekan mereka menganggap bukan sebagai pimpinan atau ilmuwan.

Beberapa dari mereka menjelaskan, perempuan kulit putih kesulitan untuk menjadi pimpinan, tapi perempuan non-kulit putih bahkan susah untuk masuk ke dalam gedung.

Dukungan yang bisa diberikan?

Para partisipan mengatakan ada dua jenis dukungan yang telah memperbaiki situasi mereka. Salah satunya dukungan struktural, antara lain adanya kebijakan organisasi tentang pelecehan seksual, ketidakadilan gaji dan masalah lainnya, dan pelatihan tentang kepemimpinan dan keragaman.

Beberapa melaporkan bahwa kebijakan organisasi tentang pelecehan seksual hanya diberlakukan setelah terjadi skandal.

Langkah-langkah lainnya fokus kepada hubungan antar individu, meliputi memberikan peluang kepada perempuan, mempelajari kebutuhan individu perempuan, menawarkan masukan dan bimbingan, menghubungkan perempuan dengan jejaring profesional, memperjuangkan pekerjaan mereka, dan menunjukkan kepercayaan pada mereka.

Sangat penting melihat perilaku-perilaku tersebut diterapkan oleh para pimpinan terlepas dari gender mereka.

Oleh karena itu, keputusan untuk mempekerjakan mantan Sekretaris Dalam Negeri Amerika Serikat Sally Jewell sebagai interim CEO dari The Nature Conservancy tampak menjanjikan. Jewell sendiri telah menyoroti perlunya budaya tempat kerja “di mana karyawan bisa nyaman dengan dirinya sendiri untuk bekerja.”

AP Photo/Joel Bouopda Tatou

Mengapa keragaman penting dalam konservasi ?

Tugas lembaga lingkungan lebih dari melindungi satwa liar dan alam. Upaya ini melibatkan orang-orang yang bekerja untuk mempromosikan gaya hidup dan kebiasaan yang berkelanjutan, sehingga generasi masa depan dapat berkembang.

Dalam sebuah esai tahun 2014, sebanyak 240 ilmuwan lingkungan menyatakan bahwa “masalah gender dan bias budaya” akan menghambat konservasi karena memicu argumen yang memecah belah terkait dengan alasan dan cara melestarikan alam.

“Upaya perlindungan lingkungan tidak jarang akan menjumpai pandangan yang beragam dan nilai yang berbeda di dunia nyata,” jelas mereka dalam esai tersebut. “Untuk menjawab dan memasukkan pandangan dan nilai-nilai ini, kami menyerukan adanya perwakilan yang lebih inklusif dari para ilmuwan dan praktisi dalam memetakan masa depan bidang kami, dan untuk pendekatan konservasi yang lebih inklusif.”

Pergolakan yang terjadi di The Nature Conservancy adalah satu bagian dari seruan lebih luas untuk transformasi gerakan lingkungan Amerika Serikat.

Ada banyak alasan untuk meyakini bahwa gerakan yang lebih beragam akan lebih efektif, bukan hanya dalam merekrut dan memperkerjakan staf yang berkualitas, tetapi juga dalam mengatasi krisis kepunahan yang sedang dihadapi planet Bumi.

Las Asimi Lumban Gaol menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.The Conversation

Megan Jones, Ph.D. Candidate in Human Dimensions of Natural Resources, Colorado State University dan Jennifer Solomon, Assistant Professor, Human Dimensions of Natural Resources, Colorado State University

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!