Hollaback! Jakarta, Ruang Bercerita Bagi Korban Kekerasan Seksual

*Aprelia Amanda- www.Konde.co

www.Konde.co- Anindya Restuviani adalah perempun muda, Co Director Hollaback! Jakarta. Selama 3 tahun ini ia membuat Hollaback! Jakarta sebagai ruang bagi perempuan muda untuk bercerita tentang kekerasan seksual yang dialaminya. Dalam perjalanannya, Hollaback kemudian berkampanye untuk menghentikan stop kekerasan terhadap perempuan, mengajak terutama anak-anak muda perempuan bercerita tentang kekerasan yang mereka alami hingga berkampanye bersama perusahaan-perusahaan transportasi untuk stop kekerasan terhadap perempuan di jalan.

Aprelia Amanda dari www.Konde.co berkesempatan mewawancarai Anindya Restuviani untuk berbincang-bincang soal Hollaback! Jakarta dan sepak terjangnya dalam memperjuangkan ruang publik yang aman bagi perempuan.

Kapan Hollaback! didirikan?

Sebetulnya Hollaback ini gerakan global, dimulai di New York, Amerika Serikat tahun 2005. Sedangkan di Jakarta sendiri baru ada tahun 2015, jadi sudah 3 tahun di Jakarta.

Mengapa kamu berinisiatif mendirikan Hollaback! Jakarta?

Alasannya sebenarnya lebih ke personal eksperience ku sih. Aku besar di Semarang, Jawa Tengah. Aku sendiri sebagai perempuan pernah mengelami kekerasan seksual di ruang publik. Saat aku mengalami itu, aku merasa tidak mempunyai ruang aman di ruang publik. Yang kedua, aku tidak punya ruang aman untuk menceritakan pengalamanku saat aku mengalami kekerasan seksual. Disaat aku cerita dengan orang terdekat, kebanyakan mereka malah bertanya ‘memangnya kamu pakai baju apa’ dan segala macamnya. Waktu itu aku berpikir, oh mungkin itu memang salahku karna berpakaian begini. Padahal saat itu masih siang dan aku juga berpakaian selayaknya anak kuliahan.

Sampai akhirnya adikku mengalami kekerasan seksual juga. Saat itu dia pakai hodie yang besar dan mengalami begal payudara di gang dekat rumah. Saat itu aku merasa, loh tapi ini adikku yang sudah pakai baju tertutup pun masih mengalami kekerasan seksual loh, jadi sebetulnya ini bukan salah kita sebagai korban khan?.

Saat aku pindah ke Jakarta aku ketemu dengan teman-teman yang memiliki pengalaman yang sama. Ketika mereka mengalami kekerasan seksual, mereka tidak punya ruang aman untuk bercerita.

Co-Founder kita namanya Angie cerita, ada platform di Amerika yang namanya Hollaback. Di sana kita bisa cerita anonymously tentang kekerasan yang kita alami dan memberi tahu lokasi kejadiannya. Secara visual kita bisa memberi tahu bahwa kekerasan seksual sebanyak ini. Dari situlah aku merasa bahwa kita butuh ruang aman, untuk itu kemudian kita buat Hollaback! Jakarta.

Apa saja kegiatan Hollaback! Jakarta selama ini?

Jadi kita banyak sekali kampanye lewat sosial media. Pertama, kita menyediakan ruang aman melalui website dan mobile aplikasi. Jadi temen-temen bisa cerita di website kita. Kalo temen-temen butuh referensi kita juga memberikan itu. Kita memberikan referensi ke lembaga partner kita yaitu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik dan Yayasan Pulih.

Kedua, kita melakukan kampanye secara online. Kita memberikan informasi dan edukasi ke masyarakat tentang apa sih kekerasan seksual, kenapa itu bisa terjadi, kenapa sih kita tidak boleh membiarkan kekerasan seksual yang bentuknya manner seperti catcalling.

Yang terakhir kita menyediakan pelatihan bystander intervention traning atau intervensi saksi saat mereka melihat kekerasan seksual yang disebut 5D (Direct, Distract, Delegate, Delay, Document). Target kita sebenarnya masyarakat umum, tapi traning ini banyak dilakukan sekolah, komunitas, dan beberapa perusahaan. Kita juga punya parnership dengan perusahaan online Gojek untuk melatih para drivernya.

Kerjasama apa yang dilakukan Hollaback! Jakarta dengan Gojek?

Untuk publik transportation provider sebenarnya sudah ada dua yang kita ajak kerja sama, ada Jakarta Metro Mass Rapid Transit (MRT) dan Gojek. Untuk MRT kita melatih station master dan station manager untuk menangani kasus. Jadi ketika ada yang melapor mereka tidak salah menanganinya. Karena kebanyakan ketika dilaporkan yang disalahkan justru korban. Takutnya mereka tidak bisa mengakomodir kebutuhan korban dan justru membiarkan pelakunya lari.

Sedangkan kalau di Gojek kita lebih fokus dengan memberi edukasi bentuk-bentuk kekerasan dan by stander intervention traning dengan 5D tadi. Kalo kita liat di ruang publik paling banyak jaket hijau kan. Daripada mereka menjadi korban atau pelaku lebih baik mereka bisa membantu kalau ada kekerasan yang sedang terjadi.

Mengapa bisa terpikirkan untuk bekerjasama dengan penyedia transportasi publik?

Karena Holaback! memang dari awal kerjanya memang berokus di ruang publik. Ruang publik itu kan ada jalan dan transportasi umum. Otomatis banyak laporan-laporan kepada kita terjadi kekerasan di kereta dan ojek online. Nah Gojek ini proaktif, mereka mau melakukan pelatihan seperti ini. Sebenarnya pelatihannya lebih ke pencegahan. Harapannya agar para penyedia transportasi umum lainnya mau melakukan pelatihan karena semua orang punya hak untuk merasa aman di ruang publik.

Apakah sudah ada hasil dari kerjasama dengan penyedia transportasi publik?

Sebetulnya pertanyaan itu lebih cocok kalau ditanyakan ke mereka (MRT dan Gojek) karena kita kan hanya memberi pelatihan. Kalau dengan Gojek kita bener-bener baru selesai bulan Juli 2019 lalu di 8 kota. Kalau dengan MRT sepertinya mereka sudah lebih tahu karena sudah ada standar operasional dan prosedurnya bagaimana mereka menangani kasus.

Orang bilang kalo laporannya tambah banyak berarti tidak aman. Tapi menurutku sebaliknya, tingginya laporan berarti mereka mulai percaya dengan melaporkannya ke petugas MRT begitu juga dengan teman-teman di layanan transportasi publik lainnya.

Menurut kamu apa kebijakan yang harus dibuat agar perempuan aman di ruang publik?

Kita harus segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) karena belajar dari temen-temen penyedia layanan transportasi publik, mereka sering curhat ada yang melapor ke mereka tapi mereka tidak tahu harus bagaimana karena setiap lapor ke polisi susah untuk diproses karena tidak ada pasal yang melindungi kekerasan seksual yang dialami penumpang.

Yang kedua, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) harus direvisi, karena seperti kasus yang menimpa Baiq Nuril kemarin, ini akan terus terjadi yaitu korban yang mengadu, malah dia yang kemudian dipenjara. Harusnya melindungi tapi justru berbalik mengkriminalisasi. Karena Hollaback! ngomongin kekerasan di ruang publik maka kita juga ngomongin kekerasan seksual di ranah digital. Seperti beberapa korban perempuan yang di sextortion misalnya revenge porn, mereka takut melapor karena takut terjerat pasal-pasal karet.

Tapi yang paling penting sekarang kita harus mengesahkan RUU PKS karena di undang-undang lain banyak kekerasan yang masih dianggap normal oleh orang Indonesia. Kita harus berhenti menormalisasi kekerasan-kekerasan yang dialami perempuan.

Apa program atau kegiatan terbaru yang akan dilakukan Hollaback! Jakarta?

Deket ini kita mau ulang tahun ketiga. Kita mau ada kaya open mic gitu. Sebenarnya ini semacam ruang aman untuk temen-temen mencurahkan perasannya tentang apa aja sih, tapi aku yakin pasti kebanyakan akan bicara soal kekerasan seksual.

Apa harapanmu sebagai perempuan?

Kita baru merayakan hari merdeka kan. Orang bilang merdeka tapi aku sebagai perempuan gak merasa merdeka. Kita masih benar-benar terkungkung. Kita di ruang publik masih gak merasa aman, nyaman, merdeka, sentosa, dan lain-lain. Aku berharap di hari ulang tahun ke 74 ini kita bisa bebas. Bebas dari kekerasan dan pelecehan seksual.

*Aprelia Amanda, biasa dipanggil Manda. Menyelesaikan studi Ilmu Politik di IISIP Jakarta tahun 2019. Pernah aktif menjadi penulis di Majalah Anak (Malfora) dan kabarburuh.com. Suka membaca dan minum kopi, Manda kini menjadi penulis dan pengelola www.Konde.co

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!