Sutradara Film: Referensi Sejarah Perempuan di Indonesia Masih Minim

Poedjiati Tan- www.Konde.co

Jakarta, Konde.co- Sutradara film dokumenter, Ani Ema Susanti merasa kesulitan ketika ingin membuat film tentang tokoh perempuan Indonesia di masa kolonial. Di tahun 2013 itu, ia lalu mencoba pergi ke perpustakaan-perpustakaan untuk mencari tulisan-tulisan sejarah perempuan. Namun ternyata ini sangat tak mudah. Ia tak mendapatkan tulisan sejarah perjuangan perempuan Indonesia yang ia cari.

Ani Ema Susanti, kala itu mencari buku yang memuat tulisan tentang kehidupan dan pemikiran aktivis perempuan, S.K. Trimurti. Padahal S.K. Trimurti adalah aktivis perempuan yang pernah menjadi menteri perburuhan pertama di Indonesia. Ia juga seorang jurnalis yang sangat aktif menulis.

S.K. Trimurti merupakan jurnalis yang tulisannya sangat disukai Presiden pertama Indonesia, Soekarno. Soerastri Karma Trimurti atau S.K. Trimurti lahir di Boyolali, 11 Mei 1912. Trimurti pernah memimpin majalah Api Kartini, Majalah Pikiran Rakyat, Mardi Utama dan beberapa media lainnya. Selain di Mardi Wanita,. SK Trimurti juga membangun Barisan Perempuan Wanita yang banyak memperjuangkan nasib para buruh perempuan. Setelah itu ia juga aktif di Gerwis (Gerakan Wanita Sedar). Di sinilah ia kemudian banyak menulis tentang nasib perempuan di Indonesia. SK Trimurti banyak menulis di majalah Api Kartini, Berita Gerwani dan menulis kolom khusus untuk perempuan setiap kamis di Koran Harian Rakyat. Di media-media inilah kita bisa melihat bagaimana SK Trimurti kemudian memperjuangkan nasib para perempuan di Indonesia, tulisannya soal buruh perempuan, kesehatan reproduksi perempuan, pendidikan kaum perempuan, kemiskinan bisa dibaca di dalam setiap tulisannya.

Pada usia 25 tahun, Trimurti dipenjara untuk pertamakalinya. Pasalnya, Trimurti menyebarkan pamflet anti-imperialisme dan anti-kapitalisme yang berisi informasi tentang ketidakadilan Belanda. Selama sembilan bulan, dia mendekam di Penjara Bulu, Semarang.Tulisannya tentang perempuan dan perjuangan buruh menjadi salah satu landasan tentang gerakan feminisme di Indonesia sampai ia menjadi menteri perburuhan pertama di Indonesia. Tulisan S.K. Trimurti ini tersebar dimana-mana dan tak banyak perpustakaan yang menyimpannya.

Karena kesulitan, Ani Ema kemudian mencoba mencari tulisan-tulisan yang ditulis SK Trimurti dengan menghubungi beberapa universitas. Namun ia tak juga mendapatkan tulisan yang menulis S.K. Trimurti.

“Beberapa kolega dan teman saya kemudian menyarankan agar saya mencarinya di perpustakaan di Leiden, Belanda yang menyimpan sejarah lengkap tentang Indonesia.”

Luviana, pengelola www.Konde.co kala itu pernah melakukan penelitian tentang sejarah media perempuan di Indonesia, maka bertemulah Ani Ema Susanti dan Luviana. Ani kemudian bisa mendapatkan tulisan-tulisan tentang SK Trimurti.

Tak mudah bagi Luviana untuk mendapatkan tulisan SK Trimurti. Ia harus bertemu SK Trimurti secara langsung untuk mendapatkan tulisan Trimurti. Tulisan Trimurti ini berserak di kamarnya, sejak semakin menua, Trimurti hanya menaruh tulisan-tulisannya di kamarnya. Tulisan lain didapatkan Luviana dengan berkeliling ke sejumlah perpustakaan di Indonesia.

Begitulah sepenggal film yang berjudul “S.K. Trimurti” yang disutradari Ani Ema Susanti dengan produser Lola Amaria. Film tersebut akhirnya diluncurkan pada tahun 2015 lalu. Film ini kemudian diputar pada acara Perempuan-Perempuan Menggugat yang diadakan SEA Junction bersama Galeri Cemara pada Rabu, 28 Agustus 2019 lalu di Jakarta. Setelah pemutaran film diadakanlah diskusi tentang film sejarah perempuan. Ani Ema menuturkan soal sulitnya mencari referensi tentang sejarah perempuan Indonesia di masa lalu.

Sulitnya mencari tulisan atau referensi tentang sejarah perempuan ini juga diakui beberapa aktivis perempuan lainnya. Maka pertemuan seperti ini sangat penting sebagai pengingat untuk menuliskan sejarah perempuan. Acara Perempuan-Perempuan Menggugat ini tak hanya menampilkan karya rupa namun juga meluncurkan buku tentang apa yang dilakukan sejumlah aktivis perempuan di zamannya. Karya rupa ini dihasilkan Seruni Bodjawati. Ia melukiskan kiprah 29 tokoh sejarah perempuan yang hidup di tahun 833 sampai tahun 2019 yaitu pada masa pra-kolonial, VOC, Hindia Belanda, Jepang ,Masa Perang Kemerdekaan, Liberal, Demokrasi terpimpin/orde lama, Orde Baru dan Reformasi.

Artis film, Christine Hakim hadir dalam diskusi film tentang sejarah perempuan tersebut. Christine Hakim bercerita tentang bagaimana film menjadi kunci penting bagi masyarakat untuk mengetahui sejarah di masa lalu.

Christine Hakim pernah bermain dalam film yang mengupas kesejarahan di masa lalu seperti ia bermain dalam film Tjoet Nya Dhien, menjadi ibu dari Kartini dan juga menjadi istri Hasyim Ashari dalam Film Hos Tjokroaminoto. Ia juga mengalami bagaimana ia harus mencari referensi yang agak sulit didapatkannya.

“Kebanyakan tulisannya berbahasa Belanda,” ujar Christine Hakim.

Bagi Christine Hakim dengan memerankan sebagai tokoh perempuan seperti Tjoet Nya Dhien ia kemudian semakin tahu bagaimana peran perempuan kala itu. Baginya dengan film ia belajar banyak tentang kesejarahan di masa lampau dan bagaimana perempuan Indonesia berpikir tentang bangsanya, berpikir tentang kemerdekaan untuk bangsa yang dicintainya.

“Ada 33 perempuan yang pernah memerintah di kasultanan Aceh. Saya selalu menangis kalau menceritakan tentang perjuangan Tjut Nya Dhien. 3 tahun setelah bermain film saya masih menangis mengingat perjuangan Tjoet Nya Dhien, kepedihannya dalam memperjuangkan kemerdekaan.”

Banyak yang mendukung jika film menjadi salah satu ruang untuk belajar tentang sejarah perempuan. Dengan film maka akan semakin banyak masyarakat dan anak muda yang akan melihat sejarah perempuan di Indonesia.

(Foto: Film S.K. Trimurti karya Ani Ema Susanti)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!