Jakarta, Badai Hidup Saya Terjadi Ketika Ia Meninggalkan Kami Semua

Bekerja sebagai buruh pabrik, Ariani (bukan nama sebenarnya) mempunyai 4 anak dan hidup tanpa suami. Berikut penuturannya.

Tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Kota dimana saya hidup, menjadi tak terkendali. Saya seperti terbunuh dengan cita-cita saya yang besar di kota ini. Jakarta. Inilah kisah saya:

Badai dalam hidup saya terjadi ketika suami saya pergi kira-kira 7 tahun yang lalu untuk bekerja di luar kota. Saya tak pernah mengira bahwa ia tiba-tiba melupakan kami dan tak mengirimi kami uang lagi. Padahal sebelum pergi, ia berjanji akan mengirim uang untuk membayar kontrakan rumah dan melunasi hutang-hutang kami. Namun ini hanya dilakukannya selama beberapa bulan, setelah itu, ia melupakan kami.

Saat itu tiap hari saya hanya bisa berpikir, bisakah saya mengurus dan menyekolahkan anak tanpa suami?. Begitu banyak peristiwa yang harus saya alami dengan anak-anak yang masih sangat kecil.

Saya bekerja sebagai buruh pabrik serta melakukan apa saja yang bisa saya kerjakan untuk makan anak-anak. Bertahun-tahun saya menunggu kabar dari suami saya, tapi tidak kunjung datang. Sudah sering saya menghubungi handphone-nya, tapi dia selalu mengatakan jika ia sedang sakit. Selalu begitu.

Dari sana saya yakin jika ia sudah mempunyai pacar baru di kota itu. Hanya berpikir secepat itu dia menghianati saya yang di sini benar benar berjuang untuk kebutuhan anaknya yang harusnya juga menjadi tanggungannya.

Sakit hati dan setiap hari saya selalu ingin teriak dan berkata: Tuhan, ini sangat tidak adil untuk saya, di saat saya berjuang untuk anak-anak saya dan masih setia mengharap dia kembali malah dia berhubungan dengan perempuan lain.

Sudah bisa diduga, setelah itu suami saya menghubungi saya lagi untuk meminta izin menikah dengan perempuan di kota itu. Ia sempat meminta maaf bahwa ia melakukan ini karena terdesak melakukannya.

Teriakan saya untuk mencegah dia menikah demi anak-anakpun tak lagi didengarnya. Saat itulah saya merasa benar-benar merasa bodoh dan sendiri. Setiap sebelum tidur saya selalu melihat anak-anak saya yang pulas, walau di hati saya yang lain saya selalu merasa tidak adil mengapa ayahnya bisa pergi begitu saja tanpa ingat anak-anaknya?

Tak mudah hidup di kota ini. Apalagi pekerjaan saya sebagai buruh pabrik dengan gaji pas-pasan.Tak cukup dengan gaji itu hidup di kota seperti Jakarta. Keluargalah yang menolong saya. Di hari libur kemudian berjualan makanan dibantu keluarga.Seperti inilah hidup saya di masa-masa selanjutnya.

Namun kejadian buruk itu ternyata terulang kembali. Kejadian yang membuat saya semakin menangisi nasib saya. 3 tahun setelah suami saya menikah, tanpa sengaja saya bertemu dia di Jakarta lagi. Pertemuan ini tanpa sepengetahuan anak dan keluarga saya, karena sebelumnya dia bilang hanya sebentar ke Jakarta ada urusan dan ingin bertemu.

Singkat cerita saya bertemu dan meminta surat cerai, tapi dia menolak dengan alasan suatu saat akan kembali ke Jakarta dan kalau boleh akan berkumpul kembali dengan kami.

Entah kenapa saya tidak bisa marah ketika bertemu dengannya, dan malah sebaliknya saya malah pasrah ketika ia mulai merayu saya. Karena terlalu sayang dan terbuai dengan kata manisnya, saya beberapakali bertemu dia lagi. Dan dari pertemuan itu kami melakukan hubungan seksual dan saya hamil lagi. Saya seolah tidak pernah bisa mengerti mengapa saya selemah ini?

Saya sangat malu menyadari ketika saya hami. Tapi semua sudah terlambat. Apa kata keluarga, kata teman-teman saya yang selama ini sudah mendukung saya, bertemu beberapakali saja dengan suami yang berulangkali menyakiti, saya bisa hamil lagi.

Akhirnya jujur dengan berat hati dan banyak beban di pikiran saya, saya harus terima kenyataan, saya harus terima dengan kehamilan ini dengan rasa kecewa.

Setelah beberapa bulan kehamilan saya, suami saya tak kunjung menghubungi saya. Malah saya tahu dari sosial media suami ternyata dia sudah punya 2 anak kecil, disitu pula aku berpikir pupus sudah harapan bersatu dengannya kembali.

Karena saya tidak akan tega dengan anak-anaknya yang disana yang juga membutuhkan seorang ayah. Jadi saya tetapkan hati, bagaimanapun saya tidak akan kembali dengan suami karena dia juga sudah punya anak.

Saya merasakan bahwa hidup yang saya jalani sangat tidak adil. Saya sudah bekerja keras, bertanggungjawab pada keluarga, namun mendapat pasangan yang selalu menyakiti. Walapun keluarga besar sangat marah tapi saya terima semuanya karena itu memang saya salah. Saat itu saya hanya memikirkan bagaimana nanti saat saya melahirkan ? Siapa yang akan mengurus semuanya dan mendukung saya?

Saya masih ingat, dulu ketika pertamakali saya meninggalkan kampung, saya punya banyak cita-cita di kota ini. Kota yang akan menjadi perjuangan saya kala itu. Dengan suami yang mencintai saya, maka semua problem hidup bisa kami atasi bersama-sama, begitu cita-cita kami kala itu. Tapi, Jakarta kemudian menjadi kota perjuangan saya yang lain, kota yang mengharuskan saya hidup untuk 4 anak saya.

Menemukan Laki-Laki Baru

Kira-kira sebulan sebelum melahirkan, saya kemudian dikenalkan dengan laki-laki baru. Laki-laki ini adalah teman dari teman saya. Sampai waktu saya melahirkan laki-laki inilah yang menemani saya dan ternyata dia yang mengurus saya dan anak saya.

Mengenal dia baru beberapa bulan tapi dia sudah mau direpotkan seperti itu. Padahal jujur saja hati saya masih kecewa dengan laki laki, dan berpikir semua sama. Walau sampai saat ini hubungan kami masih tetap terjaga walaupun banyak rintangan yang juga harus kami temui.

Saya pun sudah mengenal keluarganya dan dia juga. Kami belum meresmikan hubungan kami, karena saya masih ada rasa trauma dan takut akan kegagalan dalam rumah tangga. Saya juga masih harus sibuk dengan urusan anak. jadi saya masih menomorsatukan anak daripada kepentingan pribadi.

Dengan cerita ini bukan saya ingin dikasihani dan mengeluh tentang hidup, tapi supaya kita tahu diluar sana banyak orang yang mungkin mengalami masalah yang kita tidak pernah tahu.

Sayang saya buat semua anak-anak saya dan maafkan ibumu ini yang belum bisa menjadi ibu yang terbaik, yang belum bisa memberi sosok ayah untuk kalian, dan karena keadaan, kalian sudah mandiri sejak kecil.

Cerita ini kutulis untuk kamu, anak-anakku. Ada banyak perempuaan yang mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga dari suaminya, dan ibumu adalah salah satunya, anakku.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

*Ariani (bukan nama sebenarnya), bekerja sebagai buruh pabrik di Jakarta.

www.Konde.co bersama Feminist Festival 2019, bekerjasama dalam kampanye “Kami Ingin Kamu Tahu” sebagai medium untuk menghapus stigma masyarakat mengenai identitas seseorang terutama bagi teman-teman dari kaum marjinal. Kampanye ini juga bertujuan untuk mengapresiasi keberagaman dan memberi suara bagi mereka yang selama ini pengalamannya kurang terungkap. Tulisan yang akan dipublikasikan hingga akhir November 2019 ini merupakan salah satu bagian dari kampanye tersebut. Feminist Festival 2019 akan dilaksanakan pada 23-24 November 2019, di Wisma PKBI, Kebayoran Baru, Jakarta. Ikuti sosial media @femfestid untuk informasi lebih lanjut.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!