Masyarakat Meninggalkan Makanan Tradisional. Apa Kontribusi Perempuan?

Masyarakat sudah lama meninggalkan makanan tradisional dan beralih mengonsumsi beras. Dahulu masyarakat Wonogiri mengonsumsi tiwul sebagai makanan pokoknya sehari-hari. Saat ini tiwul semakin jarang ditemui di dapur masyarakat. Mengapa hal itu bisa terjadi? Reporter Konde.co, Aprelia Amanda menyusuri hal ini dengan mendatangi beberapa tempat di Wonogiri, Jawa Tengah dan menemui beberapa perempuan disana.

Wonogiri, Konde.co- Menelusuri jalan selama 12 jam dari Jakarta ke Wonogiri. Gapura besar berwarna merah dan kuning seolah menyambut kedatangan saya di Dusun Bokuning, Desa Tempurharjo, Wonogiri.

Sepanjang jalan terlihat rumah-rumah beratap segitiga yang tumpul dipuncaknya. Mayoritas masyarakat di desa ini masih menggunakan arsitektur gaya tradisional Jawa untuk membangun rumahnya.

Udara siang itu sangat panas, sudah tujuh bulan tidak turun hujan di desa ini. Semua pohon jati menggugurkan daunnya. Pohon-pohon yang lain pun ikut menguning. Air semakin sulit didapat. Sumur-sumur warga kering. Kali yang menjadi tempat mandi dan mencuci warga juga kering. Beberapa rumah masih mendapatkan air melalui pipa-pipa yang dipasang menuju sumber air yang letaknya jauh.

Saya tinggal di rumah Suli, perempuan berusia 50-an. Rumahnya sama dengan rumah warga yang lain, rumah khas Jawa atau bisa disebut rumah joglo. Ia dan suaminya punya dua sapi di rumah dan empat kambing di kebun. Mereka berprofesi sebagai petani dan peternak, namun karena kemarau panjang mereka tidak bisa menanam apa-apa.

Dua karung besar yang hanya terisi setengan bersandar di pojok belakang rumah Suli. Kedua karung itu berisi tepung singkong yang akan dibuat Tiwul. Tiwul adalah makanan pokok masyarakat jawa yang terbuat dari singkong yang dikeringkan (gaplek) kemudian ditumbuk menjadi tepung. Suli punya dua karung tiwul tapi ia dan keluarganya lebih suka makan nasi.

Pukul 5 pagi Suli sudah bangun. Ia segera membuat teh hangat dan menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Tidak ada kompor gas ataupun kompor minyak. Suli masih menggunakan tungku dan kayu bakar untuk memasak. Ada ranting, potongan kayu, juga pelepah kelapa kering yang dibakar untuk menghasilkan api.

Kuali besar diletakkan diatas tungku. Jangan bayangkan kuali itu seperti panci-panci mengkilap di restoran. Kuali Suli penuh angus yang hitam legam menutupinya.

Sudah 20 menit kuali itu di atas tungku. Suli membuka tutup kualinya dan mengaduk-aduk nasi buatannya. Uap nasi dan asap pembakaran kayu membuat dapur sangat panas. Terlalu lama di dekatnya juga membuat mata perih. Tapi Suli sudah terbiasa dengan panas itu.

Menu pagi ini adalah nasi dan jangan lombok. Jangan berarti sayur. Selain jangan lombok ia juga sering memasak sayur-mayur seperti kangkung, jangan seger, dan urap. Sesekali ia juga memasak ayam namun itu jarang sekali.

Lantai dapur Suli masih terbuat dari tanah berpasir. Di pojoknya terdapat beberapa karung. Dua karung besar berisi tepung tiwul yang dibuatnya sendiri. Suli punya banyak persediaan tepung tiwul namun ia sudah jarang masaknya. Sehari-hari Suli dan keluarganya makan nasi, hanya sesekali suli memasak tiwul.

“Bosan kalo makan tiwul terus”, ujarnya.

Suli Juga menunjukkan sekarung penuh intil buatannya. Intil adalah nasi tiwul yang dijemur sampai kering kemudian digoreng sebagai cemilan. Intil bisa dijual tapi harganya murah, daripada diijual, Suli memilih untuk menyimpannya di rumah.

Sambil menyantap sarapan Suli dan suaminya bercerita, saat masih anak-anak dulu mereka tidak makan nasi. Mereka makan tiwul karena nasi susah didapat.

“Dulu panen raya setahun sekali, jadi mau makan nasi susah. Harus nunggu panen dulu. Sejak padi bisa dipanen setahun tiga kali baru orang-orang mulai biasa makan nasi”, tuturnya.

Keluarganya tidak memiliki sawah sehingga ia harus membeli beras di warung atau pasar seharga 11.000/beruk. Beruk adalah batok kelapa yang dijadikan takaran untuk membeli beras di sana. Suli hanya memiliki kebun yang biasanya ditanam jagung, singkong, dan kacang tanah. Namun saat ini kebunnya tidak ditanam apa-apa karena tidak ada air.

Karena kekeringan, Suli hanya mengandalkan bahan-bahan makanan yang bisa dibelinnya di pasar desa yang buka setiap wage dan pahing. Mayarakat di sana terbiasa menggunakan tanggalan Jawa untuk menentukan waktu buka pasar.

Saya tiba di rumah Supi ketika ia sedang yang sedang memasak. Berbeda dengan Suli yang lebih sering memasak nasi untuk keluarganya, Supi memasak nasi dan tiwul setiap hari. Namun tiwul yang dimasak sebenarnya untuk makan anjing-anjingnya.

Sekitar tahun 80-an ketika ia masih anak-anak, orang tuanya harus pergi ke pasar yang cukup jauh dari desa untuk membeli tiwul. Meskipun punya kebun singkong sendiri, namun jumlah yang dipanen tidak banyak. Menurut Supi mungkin karena saat itu tidak ada pupuk yang bagus untuk membuat panen singkong lebih banyak.

Saat ini ia punya beberapa karung tiwul yang dipanen sendiri untuk makan anjing-anjingnya. Ia juga punya sawah namun tidak terlalu luas sehingga ia tetap harus membeli beras untuk makan keluarganya sehari-hari.

Untuk masalah gizi, Supi tidak terlalu mengerti masalah itu. Ia sering memasak jangan lombok, sama seperti warga desa yang lain. Ia juga memasak ikan kembung yang dibelinya di pasar. Di belakang rumahnya ia memiliki kolam kecil untuk memelihara ikan lele untuk dimasak sehari-hari.

Saya kembali mengelilingi desa untuk melihat apa yang ada di dapur warga Dusun Bokuning. Hampir semuanya memasak nasi dan hanya satu orang yang memasak tiwul. Mul memilih memasak nasi karena ia sering sakit perut jika makan tiwul. Sedangkan Larni malas memasak tiwul karena ribet dan Misni lebih menyukai rasa nasi daripada tiwul. Hanya Surati yang memasak tiwul, itu pun hanya kebetulan karena biasanya ia masak nasi.

Tiwul adalah produk olahan dari gaplek. Gaplek ditumbuk menjadi tepung gaplek kemudian diolah menjadi tiwul. Tiwul banyak dikonsumsi masyarakat Gunung Kidul sampai Pacitan.

(Data Statistik Konsumsi Pangan Tahun 2018, Kementerian Pertanian)

Dari grafik diatas terlihat jelas jumlah konsumsi gaplek sangat rendah dibandingkan pangan pokok yang lain. Gaplek dan berbagai olahannya seperti tiwul kini juga semakin ditinggalkan. Ada berbagai alasan masyarakat meninggalkan tiwul, terutama karena rasa yang tidak lebih enak dibandingkan nasi dan cara memasaknya yang merepotkan. Dari unsur gizi pun gaplek tidak lebih baik daripada nasi. Perlu pemahaman yang cukup baik untuk memenuhi gizi dalam sepiring tiwul bersama lauk pauk yang tepat.

Menurut ahli gisi ITB Prof.Dr.Ir. Ali Khomsan, MS, singkong, ubi, kentang dan sagu hanya tinggi kalori namun sangat rendah protein apabila dibanding dengan jagung, gandum, padi. Untuk dapat memenuhi gizinya maka makanan pendamping tiwul harus berasal dari protein hewani yang tinggi protein seperti ikan dan daging. Masalahnya masyarakat yang mengkonsumsi tiwul biasanya menyandingkan tiwul dengan makanan yang berasal dari protein nabati seperti tahu dan tempe.

Seperti Suli dan Supi, mereka berdua belum mengerti masalah gizi. Mereka sering memasak jangan lombok atau sayur cabe hijau untuk keluarganya karena keluarganya menyukai itu. Padahal jangan lombok hanya terdiri dari tahu dan tempe di dalamnya. Mereka juga jarang mengonsumsi ikan dan daging. Jika terus-menerus mengonsumsi tiwul maka keluarga Suli dan Supi beresiko besar kekurangan protein.

Prof.Dr.Ir. Ali Khomsan, MS seorang ahli gizi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) mengatakan tentang pergeseran pola konsumsi masyarakat Indonesia. Beras menduduki posisi yang paling tinggi dalam grafik konsumsi pangan pokok masyarakat. Pada tahun 2018 konsumsi beras mencapai 96.326 kg/kapita/tahun sedangkan jagung 1.600, terigu 2.638, ubi kayu 4.738, ubi jalar 3.135, sagu 0.366, dan talas 0.354, dan gaplek hanya 0.110 kg/kapita/tahun.

(Nilai dalam jutaan US$)

(Data Badan Pusat Statistik Sumber: BPS, diolah Pusat Data dan Sistem Informasi, Kementerian Perdagangan)

Tahun 1960-an menjadi masa yang sulit bagi orang-orang untuk bisa makan nasi. Saat itu teknologi pangan belum memadai sehingga masih mengandalkan bibit lokal yang produksinya jauh lebih sedikit dibandingkan saat ini. Dengan terpaksa masyarakat mengonsumsi pangan pokok yang lebih mudah didapat seperti umbi-umbian, jagung, dan sagu. Berangsur-angsur teknologi revolusi hijau semakin berkembang. Kesejahteraan masyarakat juga kian membaik. Sejak itulah secara perlahan namun pasti masyarakat mulai beralih meninggalkan pangan lokalnya dan memilih pangan yang lebih prestisius yaitu nasi.

Pemerintah lewat Kementerian Pertanian selalu menggaungkan konsep ketahanan pangan dan diversifikasi pangan. Menurut Ali Khomsan sejauh ini ketahanan pangan diartikan sebagai upaya negara dalam menyediakan pangan yang cukup bagi warga negaranya.

Ketahanan pangan tidak melihat dari mana sekarung pangan itu berasal, mau itu produksi sendiri ataupun impor semuanya tidak masalah. Berbeda dengan kesembadaan pangan yang diartikan sebagai kemampuan menyediakan pangan dengan usaha sendiri.

Dari pengamatannya sampai saat ini ketahanan pangan Indonesia dari aspek ketersediaan masih dianggap cukup baik. Tidak ada gejolak signifikan yang dapat mengganggu pemerintah dalah memenuhi kebutuhan pangan khususnya beras. Kecuali saat panceklik atau saat gagal panen biasanya pemerintah harus melakukan impor untuk menjaga agar stok pangan selelu tersedia.

Menurut Ali Khomsan melihat kekayaan alam Indonesia keragaman pangan pokok tidak bisa dipandang sebelah mata. Keragaman umbi-umbian dan seralia tiada henti-hentinya digaungkan agar masyarakat tergerak untuk menjalankan diversifikasi dalam menu makan sehari-hari. Namun gaung diversifikasi pangan hanya sebatas himbauan saja.

Diversifikasi pangan tidak bisa dipaksakan. Lagipula tidak ada sesuatu yang mengikat untuk memaksa semua orang melakukan diversifikasi pagan.

Bagi seseorang yang berlatar belakang kesehatan seperti Ali Khomsan, pandangan diversifikasi pangan bisa saja berbeda dengan yang dimaksud pemerintah.

“Bagi kami orang kesehatan melihat diversifikasi tidak melulu mengganti beras menjadi non-beras tetapi menganekaragamkan menu di meja makan supaya bervariasi dengan 4 komposisi, makan pokok, lauk (protein), sayur, dan buah. Jika itu sudah terpenuhi maka jajaran kesehatan akan mengatakan makanan masyarakat sudah bervariasi”, tuturnya.

“Namun jika ukuran diversifikasi mengganti beras dengan non-beras maka kita bisa mengatakan diversifikasi tidak berhasil, karena yang makan beras masih banyak”, tambahnya.

Proses naiknya beras menjadi pangan pokok yang sangat dominan tidak berlangsung secara tiba-tiba. Sudah lama masyarakat Indonesia mengenal beras. Konsumsi beras tidak lepas dari budaya masyarakat. Selain sudah lama mengenal beras, kelezatan nasi juga tidak diragukan lagi. Beras pun juga mudah dimasak sehingga membuat masyarakat berduyun-duyun memakannya dan enggan untuk berpaling. Semua keunggulan yang ada di dalam beras semakin sulit membuat orang-orang untuk berpindah mengonsumsi pangan lokal non-beras.

Kemunculan Si Gandum

Gandum turut mewarnai ragam diversifikasi pangan di Indonesia. Kemunculan mie instan juga merubah pola konsumsi masyarakat. Berawal pada masa Orde Baru ketika pemerintah ingin mencari alternatif beras yang harga di pasar global sedang tinggi, akhirnya memberi kemudahan bagi industri penggilingan gandum menjadi terigu dengan produknya yang paling populer yaitu mie instan untuk masuk ke Indonesia. Mie instan begitu menarik karena kemudahan cara memasaknya.

Namun masuknya gandum sebagai salah satu pangan pokok tidak terlalu disukai. Gandum tidak bisa tumbuh di Indonesia oleh sebab itu untuk memenuhi kebutuhan gandum dan segala produk turunanannya pemerintah harus impor. Ini akan menjadi beban keuangan negara dan oleh sebab itu gandum tidak menjadi bagian dari ragam pangan yang digagas Kementrian Pertanian melalui Badan Ketahanan Pangan. Pangan lokal selalu menjadi topik utama dan gandum bukan bagian di dalamnya.

Bagi Ali Khomsan yang perlu diperhatikan sebenarnya ada indikasi bahwa kemakmuran suatu bangsa beriringan dengan peningkatan jumalah konsumsi makanan manis seperti kue dan biskuit. Semua makanan itu dibuat dengan terigu dan juga gula yang tinggi.

“Negara-negara makmur bisanya konsumsi cake dan cookiesnya tinggi dan makanan itu disertai dengan gula sehingga permintaannya semakin tinggi. Cemilan seperti jagung, singkong, ubi, dan kacang rebus saat ini hanya dinikmati orang tua,” tuturnya.

Meskipun belum sampai di tahap yang mengkhawatirkan, namun kita perlu waspada dengan meningkatnya konsumsi gandum (terigu) dibarengi dengan gula. Banyak negara maju yang sudah melalui tahap itu dan kita harus belajar dari mereka.

“Ketika negara maju banyak konsumsi cake dan jumlah penderita diabetes meningkat itu pelajaran bagi kita. Jika kita mau menjadi negara maju tapi tidak mau menderita diabetes, kita harus mengatur asupan gula menjadi sesuai kaidah gizi. WHO menetapkan 25g, Kemenkes 50g, sedangkan Eropa dan Amerika konsumsinya sudah sampai 100g. Kita sudah diatas standar WHO meskipun belum setinggi Eropa, namun itu sudah menjadi warning bagi kita”, ujarnya.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

*Aprelia Amanda, biasa dipanggil Manda. Menyelesaikan studi Ilmu Politik di IISIP Jakarta tahun 2019. Pernah aktif menjadi penulis di Majalah Anak (Malfora) dan kabarburuh.com. Suka membaca dan minum kopi, Manda kini menjadi penulis dan pengelola www.Konde.co

Aprelia Amanda

Biasa dipanggil Manda. Menyelesaikan studi Ilmu Politik di IISIP Jakarta tahun 2019. Pernah aktif menjadi penulis di Majalah Anak (Malfora) dan kabarburuh.com. Suka membaca dan minum kopi, Manda kini menjadi penulis dan pengelola www.Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!