A Feminist Manifesto: Mengenal Feminisme dalam 60 Menit

Meera Malik- www.Konde.co

Konde.co- Saat ini, setidaknya bagi saya, sulit menemukan buku bagus yang menjabarkan sebuah konsep “yang dianggap” rumit dengan cara sederhana dan bisa diselesaikan dalam waktu singkat pula.

Namun, sekitar dua bulan lalu, saya mampir ke toko buku Post Santa di Pasar Santa, Jakarta Selatan.

Di antara buku yang berjejer rapi, saya melihat sebuah buku berjudul “A Feminist Manifesto: Kita Semua Harus Menjadi Feminis” yang ditulis oleh Chimamanda Ngozi Adichie. Saya membelinya, sudah membacanya dan ingin merekomendasikannya pada Anda.

Untuk diketahui, Chimamanda Ngozi Adichie adalah seorang penulis Nigeria. Adichie, nama sapaannya, menghasilkan berbagai karya berupa novel, cerita pendek, dan esai. Karya-karyanya ini telah diterjemahkan ke dalam tiga puluh bahasa dan diterbitkan di berbagai media seperti The New Yorker, Granta, The O. Henry Prize Stories, dan Financial TImes.

Buku “A Feminist Manifesto: Kita Semua Harus Menjadi Feminis” ini merupakan penggabungan dua buku kumpulan esai Adichie: We Should All Be Feminists yang terbit pada tahun 2014 dan Dear Ijeawele, or a Feminist Manifesto in Fifteen Suggestions yang terbit pada tahun 2017. Buku ini dialihbahasakan ke bahasa Indonesia dan diterbitkan sebuah penerbit di Yogyakarta, Odyssee Publishing.

Buku berisi 79 halaman, cetak pertama sekali pada Agustus 2019. Desainnya menarik dengan sampul berwarna merah muda dan ilustrasi lima orang perempuan yang menggambarkan keberagaman identitas perempuan.

Dalam buku ini, Adichie piawai menarasikan konsep feminisme dengan kalimat yang mudah dimengerti pembaca. Dengan bahasa lugas, ia menuturkan pengalaman personalnya sejak kanak-kanak hingga dewasa dalam mengenal dan memahami konsep feminisme.

Pengalaman itu pula yang membuat Adichie mampu mendefenisi konsep feminisme yang ia butuhkan untuk dirinya. Ia menerima, menyerap dan mengimplementasikan nilai tersebut sesuai tahapan prosesnya. Dalam titik tertentu, ia sekaligus menawarkan interpretasi unik tentang feminisme yang relevan pada masa sekarang.

Ia juga menyinggung pengamatannya tentang bagaimana pandangan umum feminis secara sosial. Menurutnya, kata feminis menjadi begitu berat dan berjarak karena dipenuhi dengan stereotipe negatif di masyarakat.

Pernah suatu ketika, seorang jurnalis yang berjumpa dengan Adichie dalam acara peluncuran bukunya menyarankan agar ia tidak menyebut diri sebagai seorang feminis. Alasannya, karena feminis adalah termasuk perempuan tidak bahagia yang sulit menemukan suami.

Dengan santai, Adichie berkata bahwa sejak itu ia memutuskan untuk menjadi feminis bahagia.

Ada banyak stigma-stigma lain yang ia dengar tentang feminis sehingga, jika disingkat, begini kira-kira proses keputusan Adichie:

Feminis Bahagia —> Feminis Afrika yang Bahagia —> Feminis Afrika Bahagia yang Tidak Membenci Laki-Laki—> Feminis Afrika Bahagia yang Tidak Membenci Laki-Laki dan yang Suka Memakai Lip Gloss dan Sepatu Hak Tinggi untuk Dirinya Sendiri dan Bukan untuk Mengesankan Laki-Laki.

Skema di atas sebetulnya hanya bentuk respon santai Adichie terhadap semua stigma yang melekat pada feminis.

Buku ini tidak hanya menyoroti stigma tetapi juga diskriminasi mula yang sudah mengakar kuat di masyarakat kita.

Dalam satu bagian, Adichie bercerita mengenai pengalamannya saat memasuki sebuah restoran di Nigeria. Para pelayan di restoran itu menyambut laki-laki yang bersamanya dan mengabaikan dirinya. Adichie tidak menyalahkan laki-laki yang bersamanya. Ia berkata bahwa para pelayan itu adalah produk dari masyarakat yang telah mengajarkan mereka bahwa laki-laki lebih penting daripada perempuan.

Persis inilah masalah diskriminasi gender yang menjadi perhatian Adichie. Menurutnya, masalah gender terletak pada  penentuan bagaimana kita seharusnya, bukan mengakui siapa kita sebenarnya. Ia membayangkan betapa bebas diri kita sebenarnya, jika kita tidak memiliki beban ekspektasi gender.

Basis argumen Adichie jelas. Manusia, layak mendapat pengakuan yang sama.

“Sesekali kita boleh marah. Gender sebagaimana fungsinya hari ini merupakan ketidakadilan yang serius. Kita semua harus marah. Kemarahan memiliki sejarah panjang dalam perannya untuk membawa perubahan positif. Tapi saya juga penuh harap, karena saya sangat percaya pada kemampuan manusia untuk mencipta ulang dirinya kembali dalam bentuk yang lebih baik,” tulis Adichie menanggapi pemarjinalan perempuan yang ia alami sendiri di negaranya, Amerika Serikat, dan beberapa negara lain yang pernah ia kunjungi.

Adichie tidak hanya menggarisbawahi mengenai arti penting feminisme masa kini. Ia juga menawarkan beberapa solusi terbaik dalam membesarkan anak-anak kita dengan cara yang tidak melumpuhkan kemanusiaan yang mereka miliki. Tentu tujuannya demi terciptanya kemajuan peradaban yang setara antar manusia.

Kalau anda merasa buku Analisis Gender dan Transformasi Sosial (disebut-sebut sebagai buku babon dalam kajian gender di Indonesia) yang ditulis Mansour Fakih terlalu berat, saya pikir buku “A Feminist Manifesto: Kita Semua Harus Menjadi Feminis” ini bisa menjadi salah satu pilihan buku bacaan yang relevan untuk anda.

Namun, tentu saja, kebijakan pembaca tetap diperlukan dalam memaknai isinya. Satu catatan, Adichie adalah penulis yang berasal dari Nigeria dan ia memaknai feminisme berdasar pengalaman pribadinya, yang dalam titik tertentu, bisa jadi tidak tepat dengan anda dan apa yang terjadi di Indonesia.

Bagi saya, buku ini ringan dan menyenangkan untuk dibaca. Selama kurang lebih 60 menit, buku ini memungkinkan saya untuk mengenal konsep feminisme dengan sederhana.

Selamat membaca!

*Meera Malik, jurnalis televisi yang murtad dan kini mualaf di Konde.co sebagai managing editor. Pengagum paradoks semesta, gemar membeli buku tapi lupa membaca.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!