Didiskriminasi dan Dipersekusi, Adakah Tempat untuk LGBT?

Ada 45 Peraturan Daerah (Perda) diskriminatif terhadap LGBT. Selain itu ada 17 kali perlakuan persekusi yang menimpa mereka. Selebihnya adalah tindakan sensasionalisme dan stigmatisasi yang dilakukan media terhadap LGBT.

Jakarta, Konde.co- Mengenakan baju hitam putih di atas panggung, Riska Carolina aktivis Arus Pelangi memaparkan sejumlah peraturan di Indonesia yang menolak Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT).

Selama ini ada 45 Peraturan Daerah (Perda) diskriminatif yang menyasar LGBT. Juga ada 17 kali perlakuan persekusi yang menimpa LGBT di tahun 2019. Selebihnya, adalah yang dilakukan media, yaitu melakukan sensasionalisme dan stigmatisasi oleh media terhadap LGBT.

Tiga hal ini yang dikemukakan Riska Carolina dalam seminar hak asasi manusia, kemerdekaan pers dan perlindungan keselamatan jurnalis yang diadakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), MediaLink, Sejuk, Tempo Institute, Lembaga Pers Dr.Soetomo dalam acara memperingati hari Hak Asasi Manusia (HAM) di Erasmuh Huis, Jakarta 10 Desember 2019

“Pokoknya kami dianggap bukan manusia, di sosial media kami menjadi bulan-bulanan. Padahal jika tidak setuju dengan LGBT, tidak apa-apa, tapi tolong hormati kami sebagai manusia. Jangan menyebabkan kami semakin menderita.”

Perkataan Riska ini disambut tepuk tangan massa yang datang dalam diskusi tersebut. Bagaimana tidak, LGBT adalah kelompok yang selama ini seolah tidak dianggap sebagai warga negara. Sejak kecil mereka sering dibully di sekolah, setelah dewasa tak mendapatkan pekerjaan. Rata-rata pekerja LGBT bekerja di salon dan di jalanan sebagai pengamen, tak ada kantor yang mau menerima LGBT sebagai pekerja.

Riska juga berharap bahwa media tidak melakukan kekerasan terhadap LGBT dengan tulisannya. Tulisan inilah yang selama ini menambah stigma terhadap LGBT.

‘Kami pernah ditulis macam-macam oleh media, dituduh ini, dianggap ini, padahal kami hanya ingin diterima, sama dengan manusia yang lain.”

Selama ini memang sejumlah media menuliskan LGBT dari perspektif agama dan moralitas, seperti LGBT tidak diterima karena tidak sesuai dengan agama, tidak sesuai dengan budaya Indonesia. LGBT tak dihargai sebagai manusia seperti layaknya manusia lainnya.

Choirul Anam, anggota Komnas HAM menyatakan bahwa tindakan persekusi melalui tulisan merupakan tindakan yang berbahaya, apalagi ini banyak dilakukan terhadap kelompok minoritas seperti LGBT atau pada agama dan kepercayaan tertentu seperti Ahmadiyah, Syiah, dll.

Yang sering terjadi, persekusi atau tindakan mengajak orang lain untuk membenci orang lain melalui tulisan atau di sosial media bisa menyebabkan orang lain mendapatkan kekerasan.

“Persekusi akan memobilisasi massa untuk membenci orang berdasarkan opini sepihak, ini yang sangat berbahaya.”

Beberapa hari lalu, Komnas HAM mengirimkan surat kepada Kejaksaaan Agung untuk membatalkan lowongan kerja di Kejagung. Lowongan kerja tersebut berbunyi bahwa LGBT tidak boleh mendaftar sebagai pegawai. Pelarangan ini menurut Komnas HAM merupakan tindakan diskriminatif.

“Padahal tidak boleh ada pembatasan ruang pada setiap manusia, karena semua punya hak yang sama. Yang harus dilakukan adalah membangun kesadaran baru tentang kelompok minoritas. Media atau siapapun bisa mengajak masyarakat untuk membangun kesadaran soal penghormatan terhadap kelompok minoritas,” kata Choirul Anam.

Ketua AJI Indonesia, Abdul Manan mengatakan jika media menggunakan prinsip memberikan ruang pada yang lemah, maka media seharusnya bekerja untuk memberikan suara pada kelompok minoritas.

Ade Berry, fotografer dari Kantor Berita AFP mengatakan tentang multiple side. Dulu ia hanya mengenal cover both side, maka sekarang seharusnya media bisa melakukan cover multiple side.

“Meliput peristiwa HAM sangat tidak mudah karena kita harus melakukan wawancara pada semua kelompok yang berkonflik. Kita tidak bisa melakukan wawancara hanya pada 1 kelompok saja karena semua kelompok harus diberikan ruang agar bisa bersuara.”

Abdul Manan menambahkan bahwa di tahun 2019 ini ada banyak jurnalis yang mendapatkan kekerasan dari aparat terutama polisi yaitu ketika mereka sedang melakukan peliputan Pemilu juga dalam aksi menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP. Kebanyakan para jurnalis diintimidasi dan diambil alat kerjanya. Hal ini juga merupakan kekerasan yang dilakukan aparat negara terhadap wartawan.

Maka hari HAM seharusnya memberikan refleksi bagaimana semua pihak memberikan kontribusi untuk tidak lagi melakukan kekerasan dan diskriminasi kepada yang lain. Choirul Anam menambahkan bahwa tidak ada cara lain selain membangun kesadaran dalam penerimaan.

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!