Menginisiasi Pertanian Organik, Cara Perempuan Petani Menyelamatkan Lingkungannya

Perempuan petani di Mojokerto merasa senang ketika bisa memanen hasil pertanian organik yang diolahnya. Ada wortel, sawi hijau, selada air, hingga bawang merah yang secara telaten mereka garap di dusun Mojosari, Mojokerto, Jawa Timur. Tanaman organik terbukti sehat, tak menggunakan pupuk kimia. Ini juga membuat air di sekitar menjadi lebih bersih dan sehat.

Mojokerto, Jawa Timur- Oktober 2019 lalu, konde.co mengunjungi dusun Mojosari desa Claket, kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.

Sekelompok perempuan petani di desa tersebut mendirikan Kelompok Wanita Tani (KWT) Pucuk Welirang yang menjadi salah satu pelopor sistem pertanian organik di kabupaten Mojokerto.

“Lebih mudah mengajak perempuan untuk menanam tanaman organik dibanding dengan laki-laki,” ungkap sejumlah warga laki-laki.

Sebelumnya, ada cara menanam secara konvensional yang dilakukan oleh laki-laki selama puluhan tahun, setelah itu mereka seperti sulit beralih mengelola tanaman organik.

Ini juga semakin memperlihatkan bahwa bicara soal perekonomian keluarga tak melulu harus pada figur laki-laki yang diidentikkan sebagai kepala keluarga. Perempuan bisa menopang ekonomi dan menjadi kepala keluarga dengan menjadi petani organik.

Dalam satu dekade ini, banyak kita temukan kelompok perempuan tani di desa-desa, yang tidak cuma berperan dalam membantu perekonomian keluarga, namun mampu mengembangkan sistem pertanian alternatif sekaligus merawat kelestarian sumber daya air dan lingkungan.

Anik Setyawati, salah satu pengurus KWT Pucuk Welirang menuturkan sebelum terbentuknya KWT, aktivitas ibu-ibu di dusun Mojosari hanya diberikan peran domestik saja, yakni memasak, merawat anak, dan terkadang membantu suami bekerja di ladang.

Paska pembentukan KWT di tahun 2016, peran domestik ibu-ibu di dusun Mojosari perlahan mulai berkembang.

Dengan berbekal pengetahuan mengenai cara bertanam organik, perempuan-perempuan di dusun Mojosari secara mandiri mulai membudidayakan aneka komoditas sayuran secara organik. Komoditas sayuran seperti wortel, sawi hijau, selada air, hingga bawang merah secara telaten digarap oleh tangan para ibu-ibu dusun Mojosari.

“Kini dari hasil pertanian organik yang dibudidayakan ibu-ibu Mojosari, sudah mencukupi kebutuhan sehari-harinya,” tutur Anik saat ditemui awak konde.co.

Saat ini, aktifitas produktif ibu-ibu dusun Mojosari tidak sekedar membantu perekonomian dan memenuhi kebutuhan gizi keluarga saja. Para anggota Kelompok Wanita Tani (KWT) Pucuk Welirang juga berkesempatan berbagi ilmu kepada PWT lainnya di Provinsi Jawa Timur berkat inovasi dan keberhasilannya mengembangkan sistem pertanian organik.

Bahkan, KWT Pucuk Welirang secara rutin terlibat dalam Festival Pasar Sehat Surabaya. Pasar Sehat adalah agenda bulanan yang rutin diadakan Komunitas Surabaya Sehat dengan menghadirkan produsen-produsen segmen rumahan yang menjual produk dan kuliner sehat, salah satunya hasil komoditas pertanian organik dari KWT Pucuk Welirang.

Dibalik berkembangnya peran produktif para ibu-ibu dusun Mojosari tersebut, terselip fakta menarik mengenai latar belakang terbentuknya Kelompok Wanita Tani satu ini. Yakni suatu dorongan besar untuk merawat lingkungan dan sumber daya air di salah satu kawasan lereng pegunungan Mojokerto.

Berawal dari Kesadaran Merawat Sumber Air

Beberapa tahun sebelum Kelompok Wanita Tani Pucuk Welirang dibentuk, para warga yang bermukim di lereng Gunung Arjuno-Welirang Kabupaten Mojokerto membentuk kelompok tani Taman Hutan Rakyat atau Tahura.

Kelompok tani tersebut umumnya beranggotakan kepala keluarga yang umumnya adalah laki-laki yang kesehariannya berprofesi sebagai petani. Komoditas pertanian mulai dari ubi jalar hingga sayuran ditanam dengan metode pertanian konvensional.

Muklis, salah satu pelopor sistem pertanian ramah lingkungan sekaligus pengurus kelompok tani Tahura kawasan lereng Arjuno-Welirang, mulai memperkenalkan sistem pertanian organik.

Gagasan yang diusung Muklis berawal dari kesadaran kondisi geografis dusun Mojosari itu sendiri, yang terletak diantara Gunung Arjuno, Gunung Welirang, Gunung Kembar I dan Gunung Kembar II sebagai salah satu sumber mata air hulu di Jawa Timur. Selama ini memang sumber air yang mengalir di dusun Mojosari berasal dari empat pegunungan tersebut.

Berbekal wawasan mengenai sumber daya air, Muklis memahami bahwa dusun Mojosari Kabupaten Mojokerto sebagai salah satu tempat perantara mengalirnya sumber air dari hulu 4 pegunungan hingga ke hilir.

Mojokerto memang menjadi salah satu penghasil sumber air jernih yang melimpah. Salah satu sumber mata air terbesar adalah Djoebel yang terletak di punggung Gunung Welirang.

Direktur PDAM Mojokerto Fayakun dalam acara Coca-Cola Water Project memaparkan bahwa sumber mata air Djoebel selain memiliki kualitas air yang tinggi, juga memiliki kapasitas debit 50-100 meter kubik per detik.

Dengan kapasitas debit air sebesar itu, saat ini sumber mata air Djoebel menjadi suplier air bersih di tiga kota, yaitu Surabaya, Mojokerto hingga ke wilayah Jombang. Oleh karena itu, Pemkab Mojokerto dan instansi terkait terus melakukan sosialisasi mengenai pentingnya menjaga kelestarian sumber daya air, khususnya mata air pegunungan sebagai suplier utama air bersih bagi masyarakat.

Kesadaran itu pula yang melandasi Muklis mempelopori pembentukan Kelompok Wanita Tani Organik.

“Kenapa yang dibentuk Kelompok Wanita Tani? Sebab melalui peran ibu-ibu itulah akan lebih mudah mengedukasi bapak-bapak petani untuk beralih ke sistem pertanian organik. Dari sebelumnya pertanian konvensional yang banyak memakai unsur kimia dan berpotensi mencemari air dan lingkungan,” tutur Muklis.

Saat ini KWT Pucuk Welirang telah beranggotakan sekitar 40-an ibu-ibu dusun Mojosari. KWT Pucuk Welirang tidak hanya menjadi teladan bagi kelompok tani di Jawa Timur dalam menerapkan sistem pertanian organik yang menghasilkan komoditas pertanian sehat.

Para ibu-ibu KWT tersebut juga berperan penting dalam menjaga kualitas sumber air bersih yang menghidupi warga masyarakat di Kota Surabaya, Mojokerto dan Jombang.

Nunu Pradya Lestari

Penulis dan aktif di jaringan nasional perburuhan. Nunu merupakan lulusan Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!