Siapakah Perempuan Pembela HAM dan Apa Saja Ancaman yang Dihadapi?

Mungkin yang paling familiar terdengar selama ini adalah sebutan sebagai human right defender atau pembela hak asasi manusia. Namun mulai tahun 1960-an sejak terbunuhnya 3 perempuan Mirabal bersaudara, seluruh dunia menyadari rentannya kondisi perjuangan perempuan aktivis. Maka setelah tahun 1984, kemudian dikenal istilah women human right defender atau para perempuan pembela hak asasi manusia. Siapa sajakah mereka?

Jakarta, Konde.co- Kamu pernah dengar istilah women human right defender atau perempuan pembela hak asasi manusia?

Siapakah Women Human Right Defender (WHRD)?

Women Human Right Defender (WHRD) adalah para perempuan pembela HAM dan pembela hak perempuan yang berkaitan dengan gender dan seksualitas.

Lalu siapa sajakah women human right defender ini?

Mereka adalah kita semua, para perempuan yang melakukan pembelaan pada hak-hak perempuan dan hak-hak yang berkaitan dengan gender dan seksualitas.

Kapan istilah ini muncul?

Deklarasi tentang pembela hak asasi manusia sendiri dimulai pada tahun 1984 dan disyahkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1998 pada kesempatan ulang tahun kelimapuluh dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Namun kesadaran tentang pentingnya perempuan pembela HAM sebenarnya sudah terjadi ketika ada peristiwa meninggalnya Mirabal bersaudara  yaitu Patria, Minerva, dan Maria Teresa di tahun 1960 akibat pembunuhan keji yang dilakukan kaki tangan penguasa diktator Republik Dominika, Rafael Trujillo.

Mirabal bersaudara merupakan aktivis politik yang tiada henti memperjuangkan demokrasi dan keadilan, menjadi simbol perlawanan terhadap kediktatoran penguasa pada waktu itu. Sebelum pembunuhan, berkali-kali mereka mendapat tekanan dan penganiayaan dari penguasa. Kematian ketiganya menjadi momentum peringatan hari anti kekerasan terhadap perempuan. Mirabal bersaudara adalah women human right defender atau para perempuan pembela HAM.

Di Indonesia banyak perempuan pembela HAM yang sudah meninggal seperti Marsinah yang meninggal dibunuh karena perjuangannya sebagai buruh.

Den Upa Lambe Rayuh, Yanti Muchtar, Luki Paramita, Yusan Yeblon, Lily Purba dan sejumlah perempuan aktivis lainnya juga telah meninggal, hingga akhir hidupnya para perempuan ini melakukan kerja-kerja pembelaan terhadap hak asasi perempuan.

Hingga saat ini kita selalu memperingati hari perempuan pembela HAM setiap tanggal 28 November 2019.

Apa Saja yang Menimpa Perempuan Pembela HAM?

Konflik agraria dan kebebasan beragama yang belakangan ini marak terjadi di Indonesia seringkali mengancam perempuan pembela HAM.

Hal ini dikatakan Azriana R. Manulu, Ketua Komnas Perempuan pada saat membuka acara peringatan Hari Perempuan Pembela HAM pada 28 November 2019. Acara yang bertajuk “Mewujudkan Perlindungan bagi Perempuan Pembela HAM dalam Kepemimpinan Baru Indonesia” diselenggarakan atas kerjasama Komnas Perempuan dan Koalisi Pembela HAM.

Dalam sambutannya Azriana menggarisbawahi masalah kekerasan berbasis gender yang dialami perempuan pembela HAM.

“Bagi perempuan pembela HAM teror yang terjadi akan dilekatkan pada ketubuhan, seksualitas, dan peran-peran gendernya sebagai peremuan. Pelecehan, stigma, intimidasi seksual, dan pendiskreditan peran sebagai ibu atau istri, menjadi kekerasan yang paling dominan yang dialami perempuan Pembela HAM”, ujar Azriana.

Menurut Azriana semua kekerasan berbasis gender bertujuan agar perempuan pembela HAM tidak lagi mendampingi korban dan menyuarakan ketidakadilan yang dialami. Padahal kebebasan berbicara adalah hak semua orang termasuk perempuan pembela HAM, namun sampai sekarang belum ada skema yang mendukung terlindunginya hak mereka. Kondisi ini akhirnya membuat perempuan pembela HAM terus berjuang dalam kerentanan.

Pada 2018 Wakil Ketua Komnas perempuan, Yunianti Chuzaifah terlibat dalam perumusan Marakech Declaration di Maroko. Tema utama dalam pembahasan Marakech Declaration ini yaitu semakin menyempitnya ruang bagi para pembela HAM karena demokrasi yang semakin buruk, militerisme yang semakin kuat, dan serangan kepada pembela HAM. Marakech Declaration bertujuan untuk membangun iklim yang kondusif bagi pekerja pembela HAM.

Komnas Perempuan sudah menemui kerentanan perempuan pembela HAM sejak 2007 yang menyerang ranah personal seperti integritas tubuh, identitas, pelibatan keluarga dan komunitas, dan kerja-kerjanya. Dalam periode 2010-2019 kerentanan yang dialami perempuan pembela HAM relatif masih sama, namun ada satu jenis kekerasan baru yaitu kekerasan berbasis cyber.

“Sekarang kasusnya diviralkan. Ada perempuan pembela HAM dibilang selingkuh dengan suami orang lain, padahal tidak. Yang diserang adalah integritasnya dengan menggunakan cyber”, ujar Yunianti.

Konflik sumber daya alam juga semakin menguat dengan pelibatan preman dan aparat yang banyak menyerang perempuan.

“Menurut teman-teman di komunitas, polisi dan militer terlibat namun seolah-olah tidak terlihat. Yang muncul menyerang adalah preman-premannya. Jika ingin mendapatkan perlindungan harus lapor polisi padahal tidak jarang pelakunya adalah polisi itu sendiri”, tutur Yunianti.

Sejak lahirnya Deklarasi Pembela HAM tahun 1998 sampai 2017 di seluruh dunia, sudah terjadi 3500 pembunuhan pembela HAM. Militerisme, kapitalisme, dan fundamentalisme melalui politik populisme menjadi ancaman kerja para perempuan pembela HAM di dunia.

Di Indonesia, berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan sejak tahun 2006 hingga 2010 perempuan pembela HAM di Fatumnasi-Nusa Tenggara Timur, Serdang Bedage-Sumatera Utara, Luwuk Bangai-Sulawesi Tengah, Papua, Bengkulu, dan Riau untuk pembelaan hak-hak masyarakat adat maupun konflik sumber daya alam mengalami berbagai bentuk kekerasan dan kriminalisasi. Kekerasan berbasis gender yang dialami mereka terus berlangsung.

Selain itu juga terjadi pelemahan pada lembaga-lembaga yang bergerak di isu HAM. Menurut Yunianti ada politisasi dana untuk memperlemah kerja perempuan pembela HAM seperti yang terjadi di Filipina dan Afrika.

“Di Filipina lembaga WHRD (Women Human Right Defender) hanya dikasih beberapa dolar agar  kerjanya berhenti karena mereka pernah menemukan sel tikus di penjara. Lalu di Afrika, negara bilang mereka bangkrut padahal itu hanya alasan untuk menghentikan lembaga HAM-nya”, tutur Yunianti.

Rekomendasi setelah lahirnya Deklarasi Marakech adalah membagun iklim yang kondusif dan sistem perlindungan yang inklusif dan aksesible. Negara harus memberikan perlindungan hukum dan dukungan kepada perempuan pembela HAM, membuka penyadaran dan narasi positif tentang pentingnya pembala HAM. Serta memperkuat jaringan nasional, regional, sampai internasional untuk mendorong dijalankannya rekomendasi dalam Deklarasi Marakech.

Wakil Ketua Komnas HAM, Hairansyah menyatakan sebenarnya sudah banyak instrumen HAM dari mulai UUD 1945 sampai UU turunannya. Menurutnya isu pembela HAM apalagi perempuan pembela HAM merupakan isu yang masih baru. Namun konteks fungsi kerja pembela HAM sebenarnya sudah ada sejak negara Indonesia berdiri.

Hairansyah turut mempertanyakan, “Kalau insutrumen penegakan HAM sudah banyak, tapi mengapa masih banyak kasus pelanggaran HAM?”

Dalam catatan Komnas HAM setiap tahun pasti ada kasus pelanggaran HAM yang tidak dapat diselesaikan terutama kasus pelanggaran HAM berat. Masalah yang paling utama mengapa masalah HAM sulit diselesaikan karena tidak adanya political will.

“Kalau saya melihat dalam penegakan HAM di Indonesia apalagi kalo kita berbicara soal Women Human Right Defender (WHRD) adalah soal kemauan politik. Seluruh institusi yang ada harus mewujudkan itu”, ujar Hairansyah.

Menurut Hairansyah kasus-kasus kekerasan yang dialami pembela HAM sebenarnya terjadi karena belum adanya pengakuan. Perlu aturan hukum yang kuat untuk mengatur dan melindungi kerja pembela HAM. Peraturan ini harus segera dibuat karena kegentingan melihat banyaknya kasus kekerasan yang terjadi dalam kerja pembela HAM.

Aprelia Amanda

Biasa dipanggil Manda. Menyelesaikan studi Ilmu Politik di IISIP Jakarta tahun 2019. Pernah aktif menjadi penulis di Majalah Anak (Malfora) dan kabarburuh.com. Suka membaca dan minum kopi, Manda kini menjadi penulis dan pengelola www.Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!