Pemberitaan Kekerasan Seksual: Antara Sensasionalisme dan Kritik-Otokritik

Pemberitaan kasus Reynhard Sinaga di media-media Inggris menjadi pelajaran penting bagi media Indonesia. Berita kekerasan seksual yang dibingkai dengan sensasional oleh media Indonesia akan berdampak terhadap hilangnya arti penting fakta sebuah peristiwa.

*Meera Malik-www.Konde.co

Jakarta, Konde.co- Awal Januari 2020, wajah Reynhard Sinaga, laki-laki asal Indonesia yang mengambil studi doktoral di Inggris, terpampang jelas di halaman depan berbagai media massa di Inggris. Kala itu, Pengadilan Manchester baru saja menjatuhkan hukuman seumur hidup pada Reynhard Sinaga atas kasus perkosaan terhadap lebih dari 190 orang laki-laki selama rentang waktu dua setengah tahun sejak Januari 2015 hingga Juni 2017. Para penegak hukum di Inggris bahkan menyebut Reynhard sebagai pemerkosa berantai terbesar sepanjang sejarah hukum Inggris.

Menariknya, meski kasus Reynhard mulai bergulir sejak 2017 dan melalui empat sidang terpisah dari Juni 2018 hingga Desember 2019, media massa di Inggris baru memberitakannya setelah pembacaan vonis hukuman Reynhard pada 6 Januari 2020. Media-media di Inggris patuh terhadap ketentuan sistem hukum Inggris yang melarang pemberitaan proses persidangan untuk memperkecil potensi trial by the press. 

Di Indonesia, potensi ini tak luput terwujud karena media massa kerap mendramatisir beberapa kasus dan kemudian membangun opini publik. Seringnya, opini yang terbentuk justru jauh dari substansi persoalan dan abai terhadap fakta-fakta hukum yang ada sehingga menghilangkan hak atas pengadilan yang adil bagi pelaku, korban, saksi dan pihak terkait lainnya.

Setelah pemberitaan mengenai Reynhard ramai di Inggris, media-media di Indonesia pun ikut memberitakan kasus Reynhard. Namun, alih-alih fokus membahas skala kejahatan kasus (substansial dan kontekstual) seperti dilakukan Manchester Evening News, BBC, The Guardian, media di Indonesia justru mengangkat hal-hal yang faktanya sama sekali tidak relevan dengan kasus kriminal Reynhard. Seperti identitas orientasi seksual, kemewahan rumah, kehidupan keluarga, almamater, gawai yang ia gunakan, gaya selfie, dan sebagainya. Dampak buruknya, narasi mengenai kekejian dan kebiadaban tindakan pemerkosaan yang dilakukan Reynhard bergeser jauh menjadi narasi receh yang sekadar jadi bahan olok-olok di ruang publik.

Jelas saja, dalam hal ini, clickbait menjadi pertimbangan utama media-media di Indonesia membuat berita sensasional tersebut. Tujuannya, mendulang klik dari pembaca, atau dengan kata lain, demi mendapat untung sebanyak-banyaknya. 

Luviana, Pemimpin Redaksi Konde.co menyebut bahwa perspektif pasar yang sensasional dan menciptakan stigma dan diskriminasi masih mendominasi media-media arus utama-terkhusus media daring di Indonesia. Akibatnya, keuntungan menjadi  acuan yang mendominasi cara media dalam membingkai suatu peristiwa. 

“Ini karena media berebut remah-remah kue iklan. Sekarang, semua orang bisa memproduksi informasi dan pers cuma salah satu pemain di situ. Jadi, media mengakalinya dengan cara itu,” paparnya dalam sebuah diskusi bertajuk “Menggugat Pembingkaian Media Terhadap Pemberitaan Kekerasan Seksual” yang diadakan AJI Jakarta, Minggu (12/1/2020).

Penjelasan serupa diutarakan Firman Imanuddin, peneliti dan aktivis literasi media Remotivi, sebuah lembaga pemantau media di Indonesia. 

“Pemberitaan di media-media Indonesia lebih banyak seputar sensasionalisme. Padahal, ini kesempatan besar untuk membahas lagi RUU-PKS (Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual),” katanya.

Sebagai pengingat, RUU-PKS yang menitikberatkan pada pencegahan, penanganan dan pemulihan korban kekerasan seksual yang sudah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak tahun 2016 masih tertunda hingga saat ini. Padahal, RUU ini begitu mendesak untuk segera disahkan mengingat angka kekerasan seksual terus meningkat karena adanya kekosongan hukum. Dalam artikel Tirto.id berjudul “Jika Kasus Reynhard Sinaga Terjadi di Indonesia”, tergambar bahwa hukum Indonesia masih sangat terbatas dalam memandang perkara kekerasan seksual. 

“Pada era internet ini, pers tidak begitu punya power sebab publik sudah punya pilihan untuk mencari, bahkan memproduksi dan mereproduksi informasi. Karena itu, pers harus punya agenda sendiri,” ujarnya.

Firman juga menambahkan pers semestinya tidak hanya membeo terhadap kepentingan politik pasar. Sebab, di situlah pers menjadi tidak punya suara. Agenda pers yang diusung secara mandiri akan menunjukkan sikap dan posisi pers yang berdaya sembari memberikan ruang pemberitaan representatif yang lebih adil bagi kelompok termarjinalkan. 

Terbuka untuk Kritik-Otokritik

Media-media di Inggris memberikan pelajaran penting tentang bagaimana cara meliput dan memberitakan kasus kekerasan seksual. Inilah kalimat pembuka yang ditulis Wisnu Prasetya Utomo, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gajah Mada dalam sebuah kolom opini berjudul “Kasus Reynhard Sinaga: Bom Waktu Jurnalisme Indonesia” di Tirto.id.

Ia menekankan beberapa catatan menarik dari pemberitaan media-media Inggris mengenai kasus Reynhard Sinaga. Privasi korban benar-benar dilindungi, regulasi yang berpihak kepada korban, tidak ada narasi victim blaming (menyalahkan korban) yang mempertanyakan pakaian, kondisi fisik korban, tetapi justru menampilkan foto dan nama pelaku di halaman pertama, serta yang terpenting memastikan kasus semacam ini tidak terjadi di masa depan. 

Wisnu menutup opininya dengan satu kalimat lugas. “Itu kalau media-media di Indonesia mau belajar.”

Kemauan belajar muncul dari kesadaran untuk melakukan kritik-otokritik secara terbuka. Upaya ini salah satunya pernah dilakukan Tempo dengan menggelar diskusi Ruang Tengah, sebuah wadah bagi publik untuk mengkritik redaksi medianya. 

“Saya sangat senang Tempo punya ruang diskusi untuk itu. Salah satunya yang saya ingat itu diskusi mengenai pemberitaan bom Thamrin, di mana Remotivi diundang untuk memberi masukan. Itu menunjukkan kalau Tempo terbuka dengan masukan-masukan publik,” ujar Luviana.

Kebijaksanaan media dalam melakukan kritik-otokritik sangat diperlukan terlebih pada era derasnya informasi saat ini. Menurut Luviana, suara-suara publik di dunia maya (netizen) juga perlu disikapi dengan serius untuk menjaga keberimbangan berita.

Pernyataan Luvi diamini Erwin Dariyanto, Managing Editor/Section Head Timeless Content Detik.com. Berdasar pengalaman yang terjadi di medianya, Erwin menjelaskan bagaimana media arus utama seperti Detik.com kerap memanfaatkan diskusi-diskusi yang terbentuk di media sosial  sebagai pengingat bagi mereka dalam mengurasi berita.

“Feedback berupa kritik dari netizen itu tetap dipertimbangkan. Media sosial kami jadikan sebagai kontrol,” tuturnya.

Umumnya, dalam upaya menemukan fakta dan mencapai keberimbangan berita, kerja-kerja jurnalistik di media massa tentu tidak lepas dari laku kritik-mengkritik siapa pun. Sejatinya, hal ini berlaku sama pada media massa yang mesti bersedia menerima kritik dari siapa saja.

(Foto: dokumentasi AJI Jakarta)

*Meera Malik, jurnalis televisi yang murtad dan kini mualaf di Konde.co sebagai managing editor. Pengagum paradoks semesta, gemar membeli buku tapi lupa membaca.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!