Problem Jurnalis Perempuan: Stigma Malas Ketika Mengambil Cuti Haid Hingga Minimnya Ruang Laktasi

Tak bisa mengambil cuti haid dan tak ada ruang laktasi adalah problem khas maternitas yang dialami banyak jurnalis perempuan hingga saat ini. Bahkan, ketika teman jurnalis saya mengambil cuti haid, dicap sebagai pekerja yang malas. Ada lagi yang mencapnya sebagai perempuan yang membebani kerja jurnalis lainnya ketika tidak masuk sehari karena mengambil cuti haid.

Meera Malik dan Luviana- www.Konde.co

Jakarta, Konde.co- Perempuan yang seharusnya punya hak maternitas malah distigmakan secara buruk. Ini adalah realitas yang dialami perempuan jurnalis.

Padahal tak semua cuti haid ia ambil, ia hanya ambil cuti haid ketika merasakan nyeri dan tak enak badan. Namun, stigma yang dilekatkan sebagai jurnalis malas, membuatnya urung untuk mengambil cuti haid.

Problem lain adalah ketika perempuan jurnalis sedang hamil. Beberapa kali mengalami flek-flek akibat kehamilan, membuat beberapa perempuan jurnalis harus istirahat. Namun, baru istirahat 1 hari, seringnya disuruh masuk karena kekurangan pekerja di kantor. Padahal seharusnya ia istirahat 3 hari menurut surat keterangan dari dokter.

Perempuan jurnalis yang telah melahirkan juga mempunyai persoalan yang tak kalah pelik, misalnya: ia harus berhenti untuk memerah Air Susu Ibu (ASI) karena statusnya sebagai reporter. Ia harus berganti-ganti tempat liputan di mana ia tak bisa memerah ASI nya. Kondisinya sangat sulit, karena perusahaan media tempatnya bekerja tak memberinya kesempatan untuk bekerja di dalam ruangan sehingga ia punya waktu untuk memerah ASI. Jadilah banyak reporter yang kemudian berhenti menyusui karena tak punya waktu dan tempat layak untuk memerah ASI.

Jurnalis yang menyusui di kantor juga mendapatkan problem yang tak jauh beda, yaitu tak ada ruang untuk menyusui. Ini yang menyebabkan banyak perempuan jurnalis kemudian memerah ASI di toilet, di kubikel-kubikel tempat ia menulis, bahkan ada yang di gudang. Mereka juga kesulitan menyimpan ASI-nya karena tidak ada kulkas atau pendingin ASI.

Kebutuhan maternitas adalah kebutuhan dasar yang harus dipenuhi perusahaan pada pekerja perempuan, tetapi herannya sejak zaman dulu hingga sekarang, perempuan pekerja masih mengalami hal yang sama. Bahkan di beberapa perusahaan lain, masih ada pekerja yang tak mendapatkan cuti melahirkan hingga 3 bulan. Maka, jika mengambil cuti melahirkan 3 bulan, mereka akan terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta memetakan problem jurnalis perempuan ini sebagai persoalan yang dialami perempuan jurnalis yang masih terjadi pada tahun 2019. Dalam diskusi upah layak jurnalis yang diadakan AJI Jakarta, jurnalis perempuan juga mengalami pelecehan seksual, stres ketika bencana. Ini merupakan persoalan kesehatan mental yang mereka alami.

AJI Jakarta kemudian memasukkan kebutuhan maternitas dan kebutuhan kesehatan mental perempuan dalam kriteria upak layak jurnalis ini, seperti kebutuhan pembalut, susu, pakaian dalam. Untuk kesehatan mental, ada juga hal lain seperti buku bacaan yang masuk dalam kriteria.

Dalam sejarahnya, upah layak ini dikeluarkan ketika upah minimum tak bisa lagi memberikan dukungan finansial yang cukup bagi pekerja, karena hitungan upah minimum biasanya hanya untuk kepentingan personal pekerja, bukan untuk individu yang telah menikah atau berpasangan.

Hal lain, biasanya hitungannya hanya untuk kebutuhan primer, tidak ada kebutuhan untuk barang-barang seperti pembalut, buku bacaan, dan rekreasi, karena tidak dianggap sebagai kebutuhan yang penting. Hal lain kebutuhan alat kerja seperti handphone, alat perekam.

Pemerintah DKI Jakarta menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2020 sebesar Rp 4.267.349,- dari yang sebelumnya senilai Rp 3.940.973,-. Namun, komponen yang digunakan untuk menentukan UMP yang digunakan oleh pemerintah tersebut tentu tak sesuai dengan kebutuhan jurnalis yang memerlukan beragam sarana penunjang tambahan.

Atas dasar itu, pada November 2019, AJI Jakarta melakukan survei upah jurnalis 2019 dan meluncurkan upah layak 2020. Afwan Purwanto, Sekretaris AJI Jakarta mengatakan bahwa pada tahun ini upah layak jurnalis Rp 8.793.081,-.

“Angka itu mempertimbangkan beberapa komponen hidup layak yang diatur dalam penentuan UMP pemerintah dan kebutuhan tambahan lain jurnalis seperti makan, pakaian, rumah, perangkat elektronik, kebutuhan lain, dan tabungan,” ujar Afwan dalam Diskusi Upah Layak dan Bahaya Omnibus Law bagi Jurnalis di Sekretariat AJI Jakarta, Minggu (26/1/2020).

Ada 144 jurnalis dari 37 media yang mengikuti survei ini. Dalam survei tersebut, AJI Jakarta menemukan ada 28 jurnalis yang mendapatkan upah di bawah atau sama dengan Rp 4.000.000,- dari berbagai jenis media: TV dan online.

Nantinya dengan survei ini, AJI Jakarta akan melakukan pendekatan persuasif, khususnya kepada para pemilik media yang belum memberikan upah sesuai UMP DKI Jakarta.

Upah yang belum memenuhi standar ini tentu akan menjadi petaka jika pemerintah mengesahkan RUU Omnibus Law atau RUU Cilaka (Cipta Lapangan Kerja) yang bisa memengaruhi lebih dari 79 undang-undang, termasuk UU Pers dan UU Ketenagakerjaan.

Ahmad Fathanah, Pengacara LBH Pers, menyampaikan bahwa jurnalis yang masih mendapatkan upah di bawah UMP bisa mengajukan gugatan pidana ke polisi. Selain itu, Ahmad juga menjelaskan bahwa jurnalis memiliki hak atas cuti seperti yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan yakni cuti haid, serta upah lembur jika bekerja lebih dari 40 jam dalam seminggu, dan jaminan kesehatan seperti BPJS Ketenagakerjaan yang dapat digugat jika tak diberikan oleh pengusaha.

“Adanya Omnibus Law itu lalu upah minimumnya gimana? Lalu pekerja dibikin outsourcing, ini justru akan mengaburkan hak-hak mereka,” kata Ahmad.

Dalam diskusi ini, Ahmad juga mempersilakan jurnalis yang upahnya tidak sesuai atau tidak dibayarkan untuk berkonsultasi hukum kepada LBH Pers.

Hal lain yang terdapat dalam survei ini adalah banyaknya media yang tak punya serikat pekerja dan tak banyak jurnalis yang menjadi anggota serikat pekerja.

Wahyu Dhyatmika, Sekretaris Jenderal Asosiasi Media Siber pun menjelaskan bahwa pihaknya kerap mengingatkan kepada media-media baru untuk melaporkan kondisi keuangan mereka kepada karyawan secara transparan. Tak hanya itu, Wahyu pun mengingatkan kepada para pemilik media untuk tak melarang karyawannya mendirikan serikat pekerja.

“Proses mendirikan serikat pekerja di media itu tidak mudah. Seringkali teman jurnalis yang mendirikan serikat diberangus, dimutasi ke bagian lain, bahkan di PHK,” ucap Wahyu.

Ia menambahkan survei ini bisa dijadikan oleh manajemen media dan jurnalis untuk meninjau kelayakan upah bagi jurnalis mereka, sehingga jurnalis pun bisa bekerja dengan profesional.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!