Clickbait, Sebuah Tipuan atau Taktik dalam Bermedia?

Tak sedikit clickbait di media yang menjadikan perempuan sebagai korban, contohnya adalah berita yang menuliskan secara sensasional tentang tubuh perempuan. Lalu, apakah clickbait digunakan oleh media sebagai tipuan atau justru sebagai taktik dalam bermedia?

*Tika Adriana- www.Konde.co

Jakarta, Konde.co- Ada yang berubah di tengah melesatnya industri digital: arus informasi yang kian deras.

Jika di tahun 90-an radio, TV, dan koran jadi primadona untuk mendapatkan kabar terbaru, di zaman sekarang, dengan teknologi yang kian berkembang, ragam peristiwa pun bisa kita ketahui hanya dalam hitungan detik.

Saluran berita di jagat maya makin berwarna. Kalau dulu kita hanya mengenal satu-dua sumber informasi, kini ribuan kanal tersaji, berebut hati warganet. Konsekuensinya, tak sedikit media yang menggunakan strategi clickbait utuk meraih perhatian pembaca.

Dan tak sedikit clickbait yang kemudian menjadikan perempuan sebagai korban, contohnya adalah berita-berita sensasional tentang tubuh yang menjadikan perempuan sebagai korban.

Yang baru-baru ini terjadi adalah berita penangkapan artis Lucinta Luna yang diduga menggunakan narkoba. Namun sejumlah media lebih memilih menuliskan tentang identitas dan pilihan seksualnya, padahal ini tidak ada hubungannya dengan penggunaan narkoba.

Berita lainnya yaitu dari kasus Renyhard Sinaga, Warga Indonesia yang melakukan perkosaan terhadap lebih dari 100 orang di Inggris. Sejumlah media di Indonesia kemudian mengangkat hal-hal yang faktanya sama sekali tidak relevan dengan kasus kriminal Reynhard. Seperti menuliskan identitas orientasi seksual, kemewahan rumah, kehidupan keluarga, almamater, gawai yang ia gunakan, gaya selfie, dan sebagainya. Dampak buruknya, narasi mengenai kekejian dan kebiadaban tindakan pemerkosaan yang dilakukan Reynhard bergeser jauh menjadi narasi receh yang sekadar jadi bahan olok-olok di ruang publik.

Atau sejumlah kasus lainnya, ini merupakan strategi clickbait yang kerap dilakukan media untuk meraih pembaca. Jika pembacanya banyak, maka asumsinya akan banyak pemasukan iklan untuk media tersebut.

Apa itu clickbait?

Pertanyaan tentang apakah clickbait adalah sebuah tipuan atau taktik dalam bermedia itulah yang saya lempar kepada empat narasumber ketika dipercaya menjadi moderator dalam seminar “Clickbait: Tipuan atau Taktik Bermedia” di rangkaian kegiatan Commpress yang dilakukan program studi jurnalistik, Universitas Multimedia Nusantara atau UMN.

Mereka yakni Domu Ambarita General Manager Content Tribun Network; Joni Aswira, Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia; Wisnu Nugroho, Editor in Chief Kompas.com; dan Ardyan M. Erlangga, Managing Editor Vice Indonesia.

Keempat narasumber saya sepakat bahwa clickbait merupakan sebuah strategi yang kerap digunakan oleh redaksi media untuk menarik minat para pembacanya, namun dengan cara yang tidak sesuai dengan etika jurnalistik.

Domu Ambarita pun meluruskan percakapan di masyarakat yang kerap menuduh medianya menggunakan strategi clickbait. Dia menyebut bahwa Tribun Network selama ini memilih untuk menggunakan judul menarik yang ramah dengan mesin pencarian.

“Kalau selama ini orang bilang Tribun menggunakan clickbait, itu tidak benar, karena kami sendiri menolak untuk melakukan hal tersebut. Kami hanya menggunakan judul yang menarik untuk berita-berita kami,” ujar Domu di UMN, Rabu (5/2/2020).

Domu menyebut, redaksi Tribun juga terus melakukan perubahan agar tak melulu distigma masyarakat, salah satunya dengan memberikan peringatan tegas kepada editor yang menggunakan judul tipu-tipu dan mengecewakan pembaca.

Di situ, Domu juga mengakui bahwa kemampuan dan sensitivitas para pekerja di jaringan Tribun berbeda-beda, sebab mereka memiliki lebih dari 20 media yang tersebar di daerah.

Namun, untuk mengatasinya, dia menyampaikan bahwa dapur beritanya telah berbenah, salah satunya dengan mengadakan pelatihan bersama untuk para editor Tribun di seluruh Indonesia. Dengan melakukan pelatihan pada para redakturnya, maka harapannya ini akan mengurangi clickbait.

Pada tahun 2015, BBC pernah mengulas tentang “Clickbait: The changing face of online journalism” yang menyebut bahwa kini media-media berlomba untuk menyusun judul yang menggoda pembaca menekan tautan berita mereka. Sayangnya, judul itu hanya jebakan untuk menggambarkan tajuk berita yang sensasional atau menyesatkan, ini bisa dilihat dari judul dan isi beritanya yang berbeda. Inilah yang kemudian disebut sebagai berita yang menyesatkan.

Mengapa clikbait banyak diperbincangkan? Sebab, semakin banyak klik yang didapat oleh sebuah media, maka iklan pun akan mengalir ke kantong media.

Salah satu penelitian populer yang mereka sertakan yakni dari Columbia Journalism Review. Dalam artikel itu, mereka menyoroti sebuah strategi yang digunakan oleh Slant. Media itu memberi bayaran kepada para penulisnya sebesar $100 per bulan. Namun, mereka akan memberikan bonus sebesar $5 untuk setiap 500 klik kepada si penulis artikel. Akhirnya, strategi clickbait lah yang digunakan oleh para jurnalisnya dalam menulis.

Ardyan M. Erlangga, Managing Editor Vice Indonesia, mengamini bahwa clickbait tak hanya dilakukan oleh media di Indonesia, tapi juga oleh media daring di negara-negara lain. Tujuannya sama: berebut pembaca.

“Makanya di Vice, kita tidak memainkan berita harian, karena kita tahu itu sudah banyak dimainkan oleh media lain di sini. Maka kita memilih untuk membuat tulisan-tulisan panjang seperti feature atau kisah-kisah menarik lain, ini tak lain agar terlihat khas di mata pembaca,” ujar Ardyan.

Menilik dari artikel yang pernah ditulis oleh Made Supriatma dalam Amatan di Remotivi (http://www.remotivi.or.id/amatan/367/Hoax,-Kapitalisme-Digital,-dan-Hilangnya-Nalar-Kritis-(Bagian-I)), tanpa disadari, pilihan dan kemerdekaan manusia telah diambil alih oleh mesin pencari akibat adanya kapitalisme digital.

Jika di zaman media tradisional seperti televisi, radio, dan koran, masyarakat tak punya pilihan kecuali menerima seluruh isi dari pemberitaan yang tersaji. Di era sekarang: manusia bisa memilih hal yang ingin mereka sukai dan tidak disukai.

Wisnu Nugroho, Editor in Chief Kompas.com dalam diskusi tersebut mengatakan bahwa mesin pencarilah yang membuat media arus utama menyajikan semua berita yang jadi kegelisahan masyarakat, salah satunya suara masyarakat di sosial media. Namun Wisnu mengatakan, medianya tetap berkomitmen menyajikan informasi yang mendalam, dengan kualitas jurnalistik yang baik.

“Selain berita-berita harian, kami juga menyajikan berita yang mendalam di kanal VIK (Visual Interaktif Kompas). Di kanal VIK tersebut kami menyajikan karya jurnalistik dengan kualitas terbaik kami,” ujar Wisnu.

Metode semacam Kompas.com memang kerap digunakan oleh media untuk menyiasati mahalnya harga jurnalisme yang berkualitas dan untuk memenuhi kebutuhan perusahaan yang menjadi ladang nafkah bagi ratusan pekerja. Sebab masyarakat Indonesia belum memiliki kesadaran untuk melakukan donasi secara bersama-sama demi mendapatkan produk jurnalistik yang berkualitas.

“Saya memang tidak pernah tahu berapa pendapatan dari klik pembaca ke berita-berita kami, karena urusan kami hanya memproduksi konten berita. Soal penghasilan itu urusan dari marketing, tapi sebagai gambaran, Kompas.com itu berdiri tahun 1995 dan kami baru memperoleh untuk pada tahun 2008. Butuh waktu 13 tahun,” tambah Wisnu.

Wisnu mengatakan bahwa tantangan lain yang saat ini dihadapi media sebenarnya berasal dari perusahaan-perusahaan komunikasi seperti Google, Youtube. Selama ini perusahaan inilah yang banyak di klik oleh pembaca. Maka perusahaan media harus bersaing keras dengan Google, Youtube dll untuk meraih pembaca, dan ini tentu bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan.

Media di Indonesia seperti media online selama ini harus berebut iklan yang jumlahnya tak banyak. Berbeda dengan iklan di televisi yang jumlahnya hampir 70% dari pendapatan iklan di media, sedangkan 30% jumlah iklan sisanya diperebutkan oleh media cetak, media online dan radio.

Namun bukan berarti media bisa melakukan clickbait begitu saja atas nama peruntungan. Tak hanya mencari iklan, tapi media punya banyak fungsi yang lain seperti: menuliskan suara masyarakat dan kritis terhadap pemerintah

Joni Aswira dari Divisi Advokasi AJI Indonesia pun mengingatkan kepada pemilik media untuk memerangi clickbait yang menjadi tantangan jurnalisme masa sekarang.

“Kita harus ingat bahwa dalam Undang-Undang Pers nomor 40 tahun 1999, media memiliki fungsi edukasi, sehingga kita harus menyajikan berita yang sesuai dengan etika jurnalistik,” tutupnya.

Selama ini sejumlah berita yang banyak mendapatkan protes karena melanggar kode etik adalah media yang judul dan kontennya tidak sesuai. Sering juga kita mendapati berita yang melakukan sensasionalisme untuk mendapatkan klik dari pembaca.

Media-media seperti ini umumnya melanggar kode etik karena melakukan sensasionalisme di media.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

*Tika Adriana, jurnalis perempuan yang sedang berjuang. Saat ini managing editor Konde.co

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!