Lucinta Luna dan Sorotan atas Identitas Personalnya

Empat hari lalu, sejumlah aktivis memprotes tulisan media yang beredar di sosial media. Tulisan di media itu menggambarkan bagaimana Lucinta Luna yang sedang mengalami depresi. Penangkapan artis Lucinta Luna kemudian mengundang pemberitaan sejumlah media secara sensasional dan mengusik privasi. Identitas dan pilihan seksualnya kemudian menjadi komoditas.

*Meera Malik dan Luviana- www.Konde.co

Konde.co- Setelah ditangkap karena diduga menggunakan narkoba pada 11 Februari 2020, Lucinta Luna ditulis mengalami depresi berat, dan ini justru digambarkan secara terbuka oleh beberapa media.

Penggambaran ini jelas tidak menunjukkan empati pada siapapun yang sedang terkena depresi, atau dalam bahasa umumnya: orang yang sudah kena depresipun, tetap saja diberitakan.

Ini jelas bukan situasi yang menyenangkan ketika seseorang tak lagi mendapatkan hak privasi. Malah saya sering mendapatkan jawaban klise seperti ini:

“Karena Lucinta Luna khan seorang artis, jadi ia adalah milik publik dan layak diberitakan.”

Atas nama kelayakan ini, maka seseorang menjadi tidak punya privasi. Padahal sedih, sakit, depresi merupakan hal yang lumrah yang bisa terjadi pada siapa saja, dan orang tentu bisa menolak jika ia tak mau ditulis dalam kondisi ini. Namun media kemudian tetap memberitakannya.

Pertanyaan selanjutnya adalah: apakah seseorang tak boleh punya privasi? Karena soal privasi dan personalitas sejatinya adalah milik seseorang, apalagi jika orang tersebut tak mau membaginya ke publik.

Feminis Catharine Mac Kinnon menyatakan bahwa personalitas adalah situasi politik dalam hal ini situasi politik perempuan. Apapun yang dilakukan seseorang adalah politis. Namun bukan berarti yang politis ini harus semuanya diurus oleh publik. Seharusnya ada yang bertanya: nyamankah jika dalam situasi demikian, rahasia seseorang diketahui publik?

Selain menuliskan personalitas Lucinta Luna, sejumlah media kemudian juga menuliskan secara sensasional tentang identitas Lucinta Luna. Kira-kira begini judul-judul beritanya:

1. 7 Nama Lucinta Luna

2. Nama Lucinta Luna yang Berubah

3. KTP Lucinta Luna Perempuan, Paspornya Laki-Laki

Sejumlah pemberitaan media tentang Lucinta Luna yang terkait dengan identitas pilihan seksualnya inilah yang kemudian menjadi komoditas.

Lucinta Luna sendiri, berdasarkan pengakuannya, menggunakan zat psikotropika itu untuk menghilangkan depresi dan mengontrol emosi. Apalagi, ada indikasi bahwa Lucinta Luna berkali-kali mencoba bunuh diri. Ini merupakan sebuah kondisi kesehatan jiwa yang tidak dapat dianggap remeh.

LBH Masyarakat membenarkan bahwa penangkapan Lucinta Luna mengundang pemberitaan media yang sensasional dan mengusik privasi yang bersangkutan. Dalam pernyataan persnya, LBH Masyarakat meminta kepada media untuk menghentikan reportase yang bombastis terkait kasus Lucinta Luna dan mengedukasi publik melalui pemberitaan yang proporsional dan objektif

Polres Jakarta Barat yang melakukan penangkapan terhadap Lucinta Luna juga dipandang LBH Masyarakat semakin merunyamkan situasi dengan membeberkan fakta yang sama sekali tidak berkaitan dengan pokok perkara, seperti identitas pasangan Lucinta Luna.

Frasa-frasa yang media gunakan juga semakin mengaburkan pokok permasalahan di kasus Lucinta Luna. Pemberitaan-pemberitaan media yang bersifat menggemparkan pun kian memojokkan identitas perempuan yang dipilih oleh Lucinta Luna, sehingga malah menambah perundungan atau bullying kepada kelompok transgender yang sudah terstigma di masyarakat.

Direktur LBH Masyarakat, Ricky Gunawan melihat bahwa beberan fakta yang dilakukan polisi kepada media menunjukkan bahwa pendekatan pidana yang kepolisian gunakan hanya memperkeruh stigma terhadap pengguna narkotika, orang yang memiliki masalah kejiwaan, dan kelompok transgender.

Polisi telah memukul rata para pengguna narkotika yang sebenarnya memiliki beragam latar belakang menjadi hanya satu identitas, yakni sebagai penjahat.

“LBH Masyarakat mendesak Polres Jakbar untuk mengubah pendekatan hukum pidana dalam kasus Lucinta Luna dan tersangka-tersangka lain yang memiliki permasalahan serupa menjadi pendekatan kesehatan,” kata Ricky Gunawan.

Sudah waktunya kepolisian menghentikan penggunaan cara-cara yang punitif dalam mengatasi permasalahan pemakaian narkotika, dan mengedepankan pendekatan kesehatan yang humanis.

Penangkapan atau penahanan terhadap pemakai narkotika hanya akan membuat mereka enggan mengakses layanan kesehatan yang mungkin mereka butuhkan. Energi dan sumber daya kepolisian sepatutnya diarahkan untuk membongkar sindikat peredaran gelap narkotika, daripada mengincar pemakai narkotika.

Dengan latar belakang pemakaian narkotika/ psikotropika dan riwayat kondisi kejiwaannya, Lucinta Luna seharusnya disediakan dukungan kesehatan dan psikososial, bukan penanganan yang punitif. Penangkapan/ penahanan terhadap Lucinta Luna juga bersifat eksesif.

Ricky Gunawan menilai bahwa sejak awal, Polres Jakbar harusnya dapat melibatkan tenaga kesehatan, seperti psikiater atau psikolog; dan segera mendiversi Lucinta Luna ke fasilitas layanan kesehatan.

Pengalihan jalur dari pidana ke kesehatan ini bertujuan agar Lucinta Luna tetap dapat melanjutkan akses kesehatannya, baik untuk perkara pemakaian narkotikanya maupun kesehatan jiwanya.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

*Luviana, setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar ilmu komunikasi di sejumlah universitas di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas.


*Meera Malik, jurnalis televisi yang murtad dan kini mualaf di Konde.co sebagai managing editor. Pengagum paradoks semesta, gemar membeli buku tapi lupa membaca.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!