Berani Bicara di Hari Tanpa Diskriminasi

Berani bicara untuk stop diskriminasi adalah hal-hal kecil yang bisa kita lakukan di rumah, di lingkungan kita. Mengapa? Karena seluruh dunia sudah mulai mengkampanyekan stop diskriminasi di hari Zero discrimination setiap tanggal 1 Maret sejak tahun 2013. Kampanye zero discrimination ini penting dilakukan karena masih banyak diskriminasi yang terjadi di sekitar kita. Diskriminasi ini banyak dirasakan LGBT, disable, korban hak asasi manusia, perempuan dan kelompok keyakinan di Indonesia.

*Poedjiati Tan – www.konde.co

Konde.co- Salah satu teman saya tidak jadi diterima bekerja di sebuah perusahaan karena ia adalah seorang Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT). Perusahaan tersebut tak jadi menerimanya bekerja.

Teman-teman LGBT, tersingkir dari dunia kerja karena perlakuan diskriminatif.

Khanzaa Vina, salah satu aktivis LGBT pernah menyatakan, bahwa karena perlakuan ini, banyak LGBT yang tak bisa menikmati dunia kerja sebagaimana umumnya orang lain. Selama ini kebanyakan LGBT akan bekerja di salon atau menjadi pengamen, melakukan kerja apa saja agar tetap bisa bertahan hidup.

Teman yang lain juga tak jadi diterima bekerja karena ia penyandang disable. Padahal ia memenuhi persyaratan yang dikategorikan dalam pekerjaan tersebut.

Tersingkirnya LGBT dan penyandang disable dari dunia kerja ini menunjukkan bahwa masih banyak diskriminasi yang diterima karena identitas dan fisiknya. Padahal seharusnya tak boleh ada diskriminasi pada siapapun di dunia ini.

Seluruh dunia memperingati tanggal 1 Maret sebagai hari Zero Discrimination atau Hari Tanpa Diskriminasi. Hari tanpa diskriminasi ini sudah dicanangkan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa sejak tahun 2013. Sejak itulah setiap tanggal 1 Maret seluruh dunia merayakan acara tahunan untuk mempromosikan keragaman dan mengakui bahwa setiap orang penting.

Di Hari Tanpa Diskriminasi ini kita mempunyai kesempatan untuk bergabung bersama melawan diskriminasi dan merayakan hak setiap orang untuk menjalani kehidupan secara penuh dan produktif dan bermartabat. Jenis kelamin, kebangsaan, usia, disabilitas, etnis, orientasi seksual, agama, bahasa atau status lainnya tidak harus menjadi alasan untuk melakukan diskriminasi.

Apakah itu diskriminasi? diskriminasi adalah praktek selektif tidak adil yang memperlakukan seseorang atau sekelompok orang yang berbeda dari yang lain.

Diskriminasi sendiri memiliki banyak bentuk yang sering menjadikan penyebab diskriminasi seperti agama dan kepercayaan, jenis kelamin, ras, seksualitas, usia dan disabilitas.

Hari Tanpa Diskriminasi pertama kali diperingati bersama-sama di banyak negara pada tahun 2014 dengan tema “Join the Transformation”. Rappler.com pernah menuliskan, sejumlah publik figur di dunia memberi dukungan resmi terhadap peringatan tersebut, mulai dari David Luiz (pesepak bola tim nasional Brasil), Michael Ballack (pesepak bola tim nasional Jerman), Titica (pop star dari Angola), Michelle Yeoh (aktris dan aktivis asal Tiongkok), Loyiso Bala (penyanyi R&B dari Afrika Selatan), Annie Lennox (penyanyi dan aktivis legendaris), hingga Toumani Diabaté (musisi internasional).

Setahun berikutnya, mengambil tema “Open Up, Reach Out”, Hari Tanpa Diskriminasi dimeriahkan dengan berbagai kegiatan. Acara yang diselenggarakan antara lain pameran foto di Tiongkok, pentas tarian di Gabon, konser di Madagaskar, dongeng di Mongolia, pemutaran film di Nepal, hingga seminar dan lokakarya di 20 negara lainnya.

Di Indonesia sendiri Zero Discrimination belum terlalu menunjukkan gaungnya. Hanya beberapa organisasi atau aktivis yang mempromosikan hal ini. Padahal disrkiminasi di Indonesia masih sangat kental dengan kehidupan sehari-hari kta.

Kita masih melihat bagaimana agama dijadikan senjata untuk kepentingan politik sehingga mengakibatkan sejumlah orang tak bisa mendirikan rumah ibadah atau dibatasi ibadahnya. Inilah diskriminasi.

Ini menunjukkan bahwa diskriminasi di Indonesia sejatinya tak hanya diterima dalam akses kerja, namun juga banyak orang masih merasakan diskriminasi karena identitasnya. Karena perempuan, maka ia didiskriminasi. Karena ia menjadi korban 65 atau menjadi korban Hak Asasi Manusia (HAM), maka ia didiskriminasi. Cerita ini banyak kita dengarkan dari korban-korban pelanggaran HAM masa lalu.

Persoalan lain yang masih terjadi misalnya, bagaimana teman-teman Ahmadiyah atau Syiah yang mengalami diskriminasi dan kadang harus terusir dari tempat tinggalnya. Bagaimana agama asli seperti kejawen, Sunda wiwitan yang tidak diakomodir dalam pendidikan agama untuk anak-anak mereka.

Laporan Human Rights Watch mencatat pasang naiknya retorika anti-LGBT pada awal 2016, serta ancaman dan serangan kekerasan terhadap lembaga swadaya masyarakat, aktivis, dan individu LGBT, terutama oleh Islamis militan, selama Januari hingga April 2016. Dalam beberapa kasus, ancaman dan kekerasan tersebut terjadi ditengah-tengah kehadiran, dan sepengetahuan pejabat-pejabat pemerintah atau aparat keamanan.

Setiap orang bisa mengalami diskriminasi tanpa terkecuali, tetapi tanpa disadari orang sering melakukan diskriminasi pada orang lain atau kelompok lain karena perbedaan mereka.

Setiap orang memiliki hak untuk hidup penuh dengan martabat tanpa memandang usia, jenis kelamin, seksualitas, kebangsaan, etnis, warna kulit, tinggi badan, berat badan, disabilitas, profesi, pendidikan, agama dan keyakinan, atau apapun perbedaan mereka.

Pekerjaan besar untuk menjadikan negara Indonesia menjadi negara yang nyaman dan aman bagi semua orang tanpa memandang perbedaan mereka, tetapi dengan melihat bahwa kita semua sama-sama manusia yang hanya menumpang hidup di bumi.

Mari mulai berani bicara untuk stop diskriminasi.

*Poedjiati Tan, psikolog, aktivis perempuan dan manager sosial media www.Konde.co. Pernah menjadi representative ILGA ASIA dan ILGA World Board. Penulis buku “Mengenal Perbedaan Orientasi Seksual Remaja Putri.”

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

Sumber :

http://www.unaids.org/en/resources/presscentre/pressreleaseandstatementarchive/2017/february/20170301_zero-discrimination-day

https://www.hrw.org/id/report/2016/08/10/292707

Berani bersuara pada Hari Tanpa Diskriminasi 2017

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!