Tak Harus Menjadi Putih untuk Bisa Menikmati Hidup

Penilaian atas kulit putih yang dianggap lebih tinggi statusnya dibandingkan kulit hitam atau kulit coklat, sudah menjadi perbincangan sekaligus kritik sejak zaman dulu. Lihat saja penilaian yang menyatakan bahwa perempuan cantik adalah perempuan yang berkulit putih dan berambut panjang. Kulit putih seperti menempati supremasi tertinggi dalam penilaian-penilaian fisik dimanapun.

*Vioranda Felani- www.Konde.co

Konde.co- Di kalangan pekerja di Amerika, pekerja kulit hitam sering mendapatkan diskriminasi dibanding pekerja kulit putih yang lebih banyak mendapat keistimewaan.

Di kalangan pegiat mode dan fashion, orang yang berkulit putih lebih banyak mendapat porsi dibanding model kulit hitam. Maka tak heran jika mempunyai kulit putih kemudian sering menjadi cita-cita banyak perempuan dan berbagai kalangan di dunia.

Industri kecantikan juga menyulap banyak perempuan menjadi putih dan kondisi ini tumbuh subur dimana-mana, dari suntik untuk menjadi putih hingga menyulap wajah dengan make up menggunakan whitening. Padahal kondisi inilah yang sering tak dimaui perempuan, yaitu harus tampil sebagaimana yang diinginkan oleh orang lain, oleh mode, fashion dan penilaian-penilaian yang diberikan orang lain.

Tak harus menjadi putih untuk bisa menikmati hidupmu, kampanye ini banyak didengungkan oleh para feminis agar perempuan merasakan nyaman dengan kulit dan fisik yang dipunya.

Jadi jika ada mitos-mitos seperti ini, kamu harus waspada:

1. Kulit Putih adalah Cerminan dari Kulit yang Indah

Pandangan inilah yang sampai sekarang masih dipegang oleh masyarakat Indonesia. Tentu kita sadar bahwa kulit putih merupakan warna kulit yang dimiliki oleh orang Belanda dan pandangan ini sudah ada sejak Belanda menguasai Indonesia. Anggapan ini kemudian diambil oleh para produsen kosmetik sebagai bahan marketing mereka. Terbukti dengan diproduksinya produk whitening, ini turut andil dalam menyebarkan dan membuat anggapan ini ada hingga sekarang. Jadi orang yang memiliki kulit lebih gelap akan dipandang tidak menarik. Hal inilah yang kemudian memunculkan ujaran rasisme pada masyarakat yang memiliki warna kulit lebih gelap.

2. Kulit Putih Dipandang Lebih Berpendidikan

Pandangan ini juga masih ada hingga saat ini. Masyarakat Indonesia lagi-lagi telah menghadapi kesenjangan dari masa kolonial hingga di masa postkolonial. Kondisi dimana saat itu penduduk Indonesia tidak semuanya bisa mengenyam bangku pendidikan sedangkan masyarakat Belanda memiliki akses lebih untuk mendapatkan pendidikan.

4. Memenuhi Standar Kecantikan

Orang yang berkulit putih secara otomatis akan dicap oleh masyarakat Indonesia sebagai orang yang memiliki keindahan bentuk fisik. Tentu ini dipengaruhi oleh standar kecantikan yang beredar.

Dari beberapa poin diatas menunjukkan bahwa masyarakat di dunia termasuk Indonesia hingga saat ini masih memberikan orang-orang kulit putih untuk mempunyai hak istimewa.

Lalu apa hubungan White Supremacy dengan White Privilege?

White Supremacy ini sendiri menempatkan orang kulit putih pada kasta tertinggi struktur masyarakat (inferioritas orang kulit putih). Dengan kata lain, apa yang dimiliki oleh orang kulit putih pasti akan membawa dampak positif bagi seluruh dunia.

White Supremacy sendiri telah melahirkan budaya yang akhirnya dijadikan sebuah dasar dan dipegang teguh oleh masyarakat khususnya negara dengan mayoritas orang kulit putih. Hingga saat ini masih banyak kasus penyerangan yang dilakukan atas dasar ras karena rasisme sendiri merupakan produk dari White Supremacy.

White Privilege adalah produk yang dihasilkan oleh White Supremacy. Jadi ketika orang kulit putih menempati posisi tertinggi pada struktur masyarakat secara otomatis mereka akan mendapatkan keistimewaan.

White Privilege ini merupakan hak istimewa yang didapatkan oleh orang kulit putih. Dengan keistemewaan yang didapatkan, maka mereka tidak harus mengeluarkan effort lebih jika ingin mendapatkan sesuatu. Contohnya pada era perbudakan, orang kulit putih yang miskin pun masih bisa merasakan bersekolah daripada orang kulit hitam yang hanya dijadikan budak.

White Privilege sendiri tidak hanya ditemukan di negara-negara dengan mayoritas penduduk kulit putih, seperti Amerika Serikat, Selandia Baru atau Jerman saja melainkan juga masih diterapkan oleh masyarakat Asia dan Afrika bahkan Amerika Latin.

Karena saling terkoneksi secara ekonomi dan politik, maka secara tidak sadar, masyarakat dari negara-negara di kawasan tersebut juga menerapkan White Privilege ini. Mungkin memang tidak terlalu ekstrem seperti yang terjadi di Selandia Baru, tetapi White Privilege juga berdampak negatif bagi orang-orang bukan kulit putih dan disisi lain masyarakat Asia, Afrika dan beberapa negara Amerika Latin bukan mayoritas kulit putih.

Apa yang Harus Dilakukan?

Penilaian atas kulit secara fisik ini tak hanya menyebabkan diskriminasi, namun juga mimpi yang tak berkesudahan.

Kulit putih seolah menjadi cita-cita, padahal tak harus menjadi putih untuk bisa menikmati hidupmu. Banyak sekali hal yang bisa kita lakukan, salah satunya: yuk, mulai tak memperlakukan orang secara berbeda hanya karena kulitnya yang berbeda. Menghargai orang bukan secara fisik, tetapi karena apa adanya dia. Juga memberikan porsi yang setara yang tak berdasarkan warna kulit dan fisiknya.

Yuk, kita mulai dari sekarang.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

*Vioranda Felani, aktivis dan penulis, tinggal di Surabaya

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!